Washington – Bukan perkara mudah mendidik anak berkebutuhan khusus agar memperoleh keterampilan dan keahlian yang dapat disumbangkan pada pembangunan masyarakat. Sekolah belum mampu untuk memenuhi kebutuhan khusus mereka secara inklusif. Aturan dan metode pendidikan yang tepat bagi mereka dirasakan masih kurang. Maka, sebuah yayasan di Amerika Serikat yang peduli pada isu ini, menggagas rancangan undang-undang yang dianggap dapat memenuhi kebutuhan pelajar tunanetra dan tunarungu.
The American Foundation for the Blind (AFB), atau yayasan Amerika untuk Tunanetra, menerbitkan pengantar H.R. 4040 yang diberinama the Alice Cogswell and Anne Sullivan Macy Act, perundangan menyangkut pendidikan bagi pelajar dengan disabilitas penglihatan atau pendengaran yang sejauh ini dianggap paling komprehensif.
“Hingga detik ini, sekolah-sekolah kita tidak dipersiapkan untuk membantu pelajar dengan disabilitas penglihatan atau pendengaran mengembangkan potensi terbaiknya. Maka dari itu, kami berniat untuk mengubahnya,” papar Paul Schroeder, wakil presiden bidang program dan kebijakan AFB. “H.R. 4040 akan menjadi modal yang sangat penting, dan menentukan persyaratan untuk membantu pelajar dengan disabilitas penglihatan dan pendengaran unggul di kelas, rumah, dan masyarakat.”
Rancangan perundangan yang diajukan ini akan menjamin enam hal berikut:
- Tiap anak tunanetra dan tunarungu, tanpa menghiraukan disabilitas lainnya yang dimiliki, akan diperhitungkan dan dilayani secara layak.
- Tiap kebutuhan khusus pelajar akan mendapat penilaian secara pantas.
- Negara akan ikut serta dalam perencanaan strategis agar bersungguh-sungguh untuk memenuhi kebutuhan khusus para pelajar.
- Kementrian Pendidikan Amerika Serikat akan menjalankan tugasnya untuk membina negara bagian dan sekolah agar berperan aktif.
- Pelajar tunarungu akan dilayani oleh petugas berijazah.
- Pelajar tunanetra akan mendapatkan dukungan layanan dan keterampilan terbaik melalui mata pelajaran baru dari prakarsa kolaborasi nasional terkait dengan kebutuhan khusus mereka.
H.R. 4040 diajukan ke Kongres oleh Matt Cartwright (Wakil negara bagian Pennsylvania dari Partai Demokrat), Mark Takano (wakil negara bagian California dari Partai Demokrat, dan Steve Stockman (wakil negara bagian Texas dari Partai Republik). RUU ini menggabungkan dua rancangan naskah undang-undang yang kemudian menjadi H.R. 4040. Anne Sullivan Macy Act, yang namanya diambil dari guru kesayangan Helen Keller, didukung oleh koalisi berbagai organisasi nasional, daerah, dan perhimpunan yang mewakili kepentingan tunanetra. sedangkan Alice Cogswell Act, diambil dari nama gadis tunarungu pertama yang memperoleh pendidikan di sekolah khusus tunarungu di Amerika Serikat, didukung oleh organisasi-organisasi ketunarunguan dan kesulitan mendengar terkemuka di Amerika Serikat.
“Anak-anak dengan gangguan penglihatan atau pendengaran selama ini tidak diberi perhatian yang cukup. Mereka tak memperoleh bantuan dan layanan khusus yang dibutuhkan agar dapat berkembang di ruang kelas,” ungkap Mark Richert, direktur kebijakan publik di AFB. “Sudah hampir 40 tahun sejak Undang-Undang Pendidikan bagi Individu dengan Disabilitas disahkan; Kita tak akan mau menunggu 40 tahun lagi hingga kebutuhan pelajar tunanetra dan tunarungu dapat dipenuhi di sekolah-sekolah kita.”.
AFB meminta kepada seluruh warga Amerika Serikat untuk menghubungi wakil mereka di DPR agar mendukung pengesahan H.R. 4040. Dengan ini, masyarakat membantu untuk memastikan sistem nasional pendidikan khusus ini berguna bagi potensi-potensi luarbiasa anak-anak buta total, penglihatan terbatas, tuli, dan kesulitan mendengar.(DPM)
sumber: Global Accessibility
Ya, Indonesia pun harus mempunyai undang-undang semacam itu.Agar pendidikan anak tunanetra dan tunarungu di Indonesia pun bisa oktimal. Tapi yang terpenting bukan undang-undangnya, tapi pelaksanaannya. Tahun 2009 Kita sudah mempunyai undang-undang Pendidikan inklusi. Seharusnya dengan adanya undang-undang tersebut pendidikan inklusi semakin mendapat perhatian. Tapi kenyataannya, Diknas saat ini lebih mengembangkan SLB dengan kurikulumnyayang terpisah. Ini jelas merugikan siswa. Idealnya kalau pemerintah memang pingin mengembangkan pendidikan inklusi, fokuslah dengan menyiapkan sumber daya guru, juga sarana dan prasarana. Sudah tak perlu lagi mengembangkan SLB. Contoh misalnya Vietnam.Dan Sekolah-sekolah luar biasa hendaknya menjadi pusat sumber yang handal yang berfungsi mempersiapkan siswa untuk mengikuti pendidikan inklusi.