Disabilitas Identik Dengan Perlakuan Khusus, Benarkah?

Jakarta – Sudah tak asing terdengar di telinga kita, bertemu dengan penyandang disabilitas selalu identik dengan kata khusus. Jika tunadaksa berkunjung ke mall, dan hanya ada fasilitas eskalator untuk sarana ke lantai atas di dalamnya, sebagian masyarakat mungkin berpikir, ”Kenapa nggak ada eskalator khusus?” atau yang minimal terlintas, “Kenapa nggak bawa pendamping khusus? Kan susah kalau naik eskalator pakai kursi roda!” Seolah kata khusus selalu melekat dalam keseharian disabilitas. Sehingga menjadi kebiasaan bagi sebagian penyandang disabilitas mengharapkan perlakuan khusus ketika berinteraksi dengan masyarakat non disabilitas.


 


Saat kegiatan Jakarta Barrier Free Tourism dilaksanakan Sabtu lalu, 14 April 2012 di Ancol, masih banyak penyandang disabilitas kurang kritis terhadap fasilitas dan sarana yang mereka gunakan. Hal ini menyulitkan berkurangnya opini masyarakat bahwa disabilitas memang harus diperlakukan secara khusus. Seorang tunanetra misalnya, menerima begitu saja ketika kondektor bus mengembalikan uang dalam kondisi tak beraturan. Kejadian ini seolah membuktikan tunanetra percaya akan kepedulian kondektur dengan kondisinya. Ia percaya kondektur itu mengerti keadaannya, sehingga tak mungkin memberikan uang kembalian dengan kondisi tak beraturan. Kasus lain terlihat ketika seorang tunadaksa hendak dibantu menaiki bus oleh seorang petugas. Walau sempat bingung apa yang harus dilakukannya, petugas bus mencoba melakukan yang terbaik agar kursi roda dapat masuk dengan mudah ke dalam bus.


 


Disinilah seharusnya penyandang disabilitas daksa berperan. Mereka dapat menjelaskan cara yang benar membantunya ketika menaiki bus. Tetapi, nyatanya volentirlah yang lebih proaktif menjelaskan tata cara membantu tunadaksa naik bus. Bukankah kedua kasus diatas menunjukkan pada masyarakat bahwa penyandang disabilitas benar-benar membutuhkan perlakuan khusus, fasilitas khusus, dan layanan khusus untuk menunjang interaksi dan kehidupan sehari-harinya? Benarkah semua sektor kehidupan menerapkan kekhususan pada para penyandang disabilitas? Tidak bisakah disabilitas menyesuaikan diri dan menggunakan fasilitas maupun layanan yang sama dengan non disabilitas?


 


Cucu Saidah, penyandang disabilitas daksa yang menjadi salah satu koordinator kegiatan Jakarta Barrier free Tourism, menjelaskan bahwa tidak seharusnya penyandang disabilitas memposisikan dirinya sebagai orang yang harus diperlakukan secara khusus. Penyandang disabilitas harus mencoba berinteraksi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan non disabilitas. Gunakanlah fasilitas yang ada sesuai kebutuhan dan kondisi. Adapun tujuan penyandang disabilitas menyuarakan pendapat terkait sejumlah fasilitas adalah bukan karena mereka membutuhkan jalan khusus, halte busway khusus, atau bahkan trotoar khusus. Fasilitas dan lingkungan dikatakan baik jika ramah bagi semua kalangan, baik disabilitas maupun non disabilitas.


 


Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Erwin, wartawan sebuah majalah pariwisata.
”Kalau penyandang disabilitas diperlakukan khusus, apa bedanya dengan tindakkan diskriminasi? Kan setiap orang juga punya hak yang sama. Seharusnya, fasilitas yang ada  disesuaikan dengan kondisi mereka. Seperti trotoar misalnya, masyarakat non disabilitaspun merasakan tidak nyaman kalau trotoar terlalu rapat dengan bahu jalan. Apalagi kalau kondisi trotoar terlalu banyak lubang, saya sendiri merasa tidak nyaman dengan kondisi seperti itu. Gimana dengan penyandang disabilitas, tunadaksa misalnya?” Jelasnya ketika berbincang dengan redaksi kartunet.


 


Aksesibilitas untuk semua! Itulah usul yang menjadi solusi untuk fasilitas, termasuk tempat rekreasi, menurut Erwin dan Cucu. Meskipun berbeda kondisi, namun keduanya memiliki pemikiran dan tujuan yang sama ketika mengikuti kegiatan Jakarta Barrier Free Tourism Sabtu lalu. Kondisi khusus bukan berarti pelayanan dan fasilitas harus khusus. Selama pemerintah dapat memberdayakan sarana prasarana yang ada dengan maksimal, kemungkinan pandangan masyarakat non disabilitas terhadap disabilitas akan berubah secara perlahan.


 


”Kita sendirilah yang harus menyuarakan pendapat kita. Jangan individu dan jangan hanya dengan suara, tetapi dengan tindakan nyata yang dilihat langsung oleh masyarakat. Sehingga mereka mengerti dengan kondisi kita. Adanya kegiatan ini membuktikan kita bisa menyesuaikan dengan lingkungan yang selama ini mejadi tempat rekreasi mereka.” Ungkap Cucu pada redaksi kartunet.com.


 


Jakarta Barrier Free tourism bulan mendatang diharapkan dapat memberi edukasi pada masyarakat luas tentang cara memperlakukan disabilitas, baik yang terkadang tidak sengaja mereka jumpai maupun berada di lingkungan mereka. Adapun kegiatan yang diadakan di Ancol Sabtu lalu, memberikan kesan tersendiri pada peserta disabilitas maupun volentir yang terlibat. Banyak kritik serta keluhan terkait fasilitas dan kondisi lingkungan Ancol oleh peserta.
”Toilet yang di ujung dermaga sana tuh, jangankan kursi roda, orang biasapun kayaknya susah masuk. Selain kecil, pintunya susah ditutup!” Keluh salah seorang peserta. Jaka, koordinator kegiatan ini menampung semua kritik dan usulan yang diberikan. Harapan disabilitas yang mengikuti kegiatan ini tidak terlalu muluk. Mereka hanya berharap masyarakat memahami dan mengerti bagaimana memperlakukan para penyandang disabilitas. (Senna)


Editor: Risma

Last Updated on 7 tahun by Redaksi

Oleh Senna Rusli

Guru ngaji pesantren Raudlatul Makfufin (Taman Tunanetra)

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *