Jakarta, Kartunet.com – UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat saat ini. Komnas HAM beserta para aktivis isu disabilitas telah menyusun RUU tentang penyandang disabilitas yang diharapkan lebih berorientasi pada HAM yang setara bagi penyandang disabilitas. Berikut alasan-alasan mengapa UU Nomor 4 Tahun 1997 perlu direvisi, dan kelebihan di UU penyandang disabilitas yang akan diajukan.
Hal pertama yang paling mendasar untuk direvisi adalah penggunaan istilah. Pada rancangan undang-undang ditetapkan istilah yang digunakan adalah disabilitas, sebagai pengganti kata “cacat”. Istilah disabilitas diadopsi dari Konvensi PPB tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas (UN CRPD) bahwa disabilitas terjadi akibat interaksi dengan lingkungan yang belum mendukung aksesibilitas bagi mereka. Oleh karena itu, istilah tersebut menempatkan penyandang disabilitas sebagai subjek, bukan sekedar objek yang “cacat”.
Kedua, RUU Penyandang Disabilitas juga memuat aturan tentang habilitasi. Habilitasi adalah kemampuan pada pencapaian kemandirian, perawatan diri dan potensi kerja, bagi orang yang sejak lahir mengalami disabilitas. Sedangkan pada UU Nomor 4 Tahun 1997 hanya memuat aturan rehabilitasi yang berorientasi pada kesejahteraan. Dengan aturan mengenai habilitasi, ada aturan bagaimana seorang penyandang disabilitas agar dapat berdaya dan ikut berkontribusi pada masyarakat umum.
Dari segi asas juga mengalami perubahan. Jika di UU Nomor 4 Tahun 1997 berlandaskan pada pengingkatan kesejahteraan sosial, maka di RUU Penyandang Disabilitas lebih menekankan pada pemenuhan dan perlindungan hak. Penyandang disabilitas ditempatkan sebagai individu bebas yang memiliki harkat dan martabat yang perlu dihormati. Pemenuhan hak tersebut juga harus didasarkan pada kemandirian, nondiskriminasi, partisipasi, dan kesetaraan sebagai manusia seutuhnya. Terlihat jelas bahwa RUU menginginkan penyandang disabilitas tak lagi diposisikan sebatas objek untuk disejahterakan.
Dalam RUU juga amat mencolok bagaimana pemerintah punya kewajiban untuk pemenuhan dan perlindungan berbagai hak dasar penyandang disabilitas. Di antaranya adalah hak untuk hidup, hak atas pendidikan yang layak, hak pelayanan kesehatan, hak atas pekerjaan dan bekerja sesuai dengan keinginan, hak atas privasi, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak atas aksesibilitas, hak mengakses informasi, dan lain-lain. Dalam hal ini pemerintah berkewajiban menjamin agar penyandang disabilitas memperoleh semua haknya atas asas kesetaraan.
Aturan mengenai kewajiban badan usaha untuk mempekerjakan penyandang disabilitas minimal 1 persen dari total jumlah karyawan juga mengalami peningkatan. Pada RUU Penyandang Disabilitas jumlah tersebut diperbesar menjadi 2 persen. Selain itu, penerapan sanksi bagi yang tidak melaksanakan aturan tersebut lebih tegas. Setelah sanksi administratif, ada hukuman pidana maksimal 5 tahun penjara dan denda sebesar 1 milyar rupiah.
Poin terakhir yang menjadi terobosan dari RUU Penyandang Disabilitas adalah kewajiban negara untuk membentuk Komisi Nasional Penyandang Disabilitas. Komnas ini bertujuan memastikan terwujudnya penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi dan kebebasan dasar penyandang disabilitas sebagaimana diatur dalam undang-undang dan peraturan lain yang menyangkut hak penyandang disabilitas. Lembaga ini juga bertugas memastikan terpenuhinya perlindungan hak penyandang disabilitas oleh pemerintah dan peningkatan kepedulian masyarakat pada penyandang disabilitas di berbagai aspek kehidupan.
Pada kesimpulannya, RUU Penyandang Disabilitas diharapkan dapat menjadi penyempurna UU sebelumnya, dan lebih menghargai keberadaan penyandang disabilitas sebagai manusia. Semoga DPR lekas membahas dan mengesahkan RUU yang menjadi harapan seluruh penyandang disabilitas di Indonesia.(DPM)