Ismail, Inspirasi Hapus Diskriminasi

Jakarta, Kartunet.com – “Saya bukannya anti pijat. Tapi setelah punya tittle sarjana, bisa mencicipi perguruan tinggi, di mana saat itu merupakan hal istimewa bagi teman-teman tunanetra, lalu kenapa kita justru memilih pekerjaan yang sudah lumrah? Ini tidak akan bisa mengangkat harkat teman-teman tunanetra yang lain,” ujar Ismail Prawirakusuma, tunanetra pemilik Pesantren Takwimul Umah, Karawang.

 

Tunanetra memang masih sulit memperoleh pekerjaan. Ketidakpercayaan perusahaan membuat penyandang disabilitas netra tersingkir dari persaingan dunia kerja. Keinginan berwirausaha kerap kali terbentur oleh kurangnya keterampilan.  Akhirnya, meski sudah menjadi sarjana, banyak tunanetra yang tetap memilih profesi sebagai pemijat. Ismail yang saat itu tengah memasuki semester akhir perkuliahan pun memutar otak. Ia tidak ingin menapaki nasib yang sama dengan mayoritas tunanetra. Ia ingin agar saat lulus kuliah, telah memiliki keterampilan yang dapat digunakan untuk menopang hidup. Berkat proposal yang Ismail dan teman-temannya ajukan, serta dorongan Yayasan Mitra Netra, maka diselenggarakanlah pelatihan jurnalistik selama tiga bulan di Kantor Berita Antara pada tahun 2004.

 

Pasca pelatihan, Ismail mulai berkarya. Dengan keterbatasan pengelihatan yang disandangnya, ia tetap percaya diri menjalani profesi baru sebagai wartawan. Dengan didampingi fotografer, Ismail memburu berita untuk sebuah media; Mitra Netra Online. Beberapa orang berpengaruh pun sempat ia wawancarai, salah satunya Agum Gumelar yang saat itu menjabat sebagai Menteri Perhubungan. Menurut Ismail, Agum Gumelar terkejut dengan kehadirannya. Bagaimana tidak, Ismail adalah satu-satunya wartawan yang menyambangi pejabat negara tersebut seraya membawa tongkat putih dan digandeng oleh fotografer.  “Oh, ada ya wartawan kayak begini?” Ismail tergelak saat menirukan tuturan Agum Gumelar saat itu.

 

Pada hari yang sama, Ismail pun mengalami pengalaman unik lainnya. Setelah wawancaranya dengan Agum Gumelar berakhir, rekan-rekan wartawan dari media lain mengerumuni dirinya. Mereka meminta Ismail menjadi narasumber berita mereka. Tentu saja Ismail keheranan. Ternyata, wartawan-wartaawan itu ingin mengangkat profil Ismail sebagai wartawan tunanetra. “Waduh, ini mah jeruk makan jeruk namanya,” sekali lagi Ismail tertawa.

 

Selain wartawan, Ismail juga sempat diangkat menjadi redaktur Mitra Netra Online. Ia mengedit kiriman artikel berita dari rekan-rekannya sesama peserta pelatihan dan meng-upload-nya ke situs tersebut. “Waktu itu pesertanya tunanetra semua dari berbagai kota, seperti Jakarta, Bandung, Jogja, Solo dan Makassar,” jelas ayah dua anak itu.

 

Saat itu, Ismail  sangat menikmati profesinya sebagai wartawan. Bagaimana tidak, dengan statusnya yang masih mahasiswa tingkat akhir, ia dan teman-teman Mitra Netra Online telah memiliki ID Card kewartawanan, bahkan menjadi anggota AJI (Aliansi Jurnalis Independen). Tidak heran jika pria yang menjadi tunanetra akibat infeksi syaraf itu pun sering berkumpul dengan rekan-rekan wartawan dari media-media nasional. “Jadi, walaupun kita wartawan tunanetra tapi diakui di dunia minestream,” ujarnya bangga.

 

Dua tahun kemudian, Mitra Netra Online tak lagi beroperasi akibat keterbatasan dana. Meski demikian, Ismail telah memperoleh banyak pengalaman berharga. Dua belas orang yang sempat sama-sama menimba pelatihan jurnalistik pun tersebar, menapaki jalan masing-masing. Ismail sendiri bekerja untuk Marzuki Usman. Setelah mencicipi profesi wartawan, kali ini ia bekerja sebagai sekertaris mantan Menteri Pariwisata tersebut.

 

Berbagai pekerjaan telah ia jalani, mulai dari menjadi pedagang produk MLM, pemain teater, wartawan, ghost writer, serta menjadi sekertaris Marzuki Usman. Akan tetapi, pria 32 tahun itu merasa masih ada yang kurang dalam hidupnya. Tahun 2009, Ismail kembali ke kampung halamannya di Karawang dan mendirikan sebuah pesantren. “Meski secara materi sangat tidak mencukupi, tapi ketika mengajar para santri, ada ketenangan dan kebahagiaan yang tidak pernah saya rasakan ketika menjalani pekerjaan lain,” katanya.

 

Kesibukan Ismail saat ini yaitu mengajar di sejumlah Majelis Ta’lim di sekitar Karawang, tanah kelahirannya. Ia juga tengah sibuk mengembangkan pesantrennya. Pesantren Takwimul Umah yang ia dirikan memang tidak besar, tapi tersebar di beberapa sudut kota Karawang. Kini, Pesantren yang ia kelola bersama sang istri telah memiliki enam cabang, dengan sekitar 120 santri di pusat dan 50 santri di tiap cabang. Cabang-cabang kecil ini dimaksudka agar pesantrennya dapat lebih menjangkau masyarakat di berbagai tempat, sehingga lebih banyak anak yang dapat mengenyam pendidikan.

 

Seperti itulah Ismail. Latar belakang keluarga yang religious, membuatnya  telah terbiasa dididik di lingkungan pesantren sejak kecil. Keputusan untuk membangun pesantren juga senada dengan tujuan awalnya mengikuti kuliah di UIN,  jurusan Pengembangan Masyarakat Islam. Ismail menuturkan, dirinya tidak ingin seperti kebanyakan orang yang setelah sukses, tetap tinggal di kota dan melupakan kampung halamannya. “Saya ingin kembali ke kampong. Saya ingin memanfaatkan ilmu  untuk mengembangkan kampung  sendiri.”

 

Meski tunanetra, Ismail tak pernah patah arang dalam menjalani hidup. Terbukti, ia sempat menyandang gelar wisudawan terbaik UIN tahun 2007 dengan IPK 3,81. Berbagai kesulitan sempat ia rasakan selama mengenyam pendidikan, mulai dari fasilitas kampus yang tidak aksesibel sampai kesulitan mengakses bahan bacaan. Namun, toh akhirnya tekad kuatlah yang membimbingnya menggapai prestasi. Menurut bungsu dari tujuh bersaudara itu, kesuksesan akan kita raih jika kita memiliki tekad yang kuat. Perbedaan yang ada antara dirinya dan teman-temannya, lanjut Ismail, hanya pada penglihatan saja. “Mereka melihat, kita tidak. Sedangkan kemampuan otak kita sebenarnya sama, tidak berkurang karena jadi tunanetra. Bahkan menurut hasil penelitian dan pengalaman saya, daya ingat tunanetra justru akan meningkat. Selain itu, indera-indera yang lain juga menjadi lebih peka. . Nah, ini sangat efektif untuk belajar,” katanya.

 

Selain motivasi dari teman-teman tunanetra, semua kerja keras yang Ismail lakukan semasa kuliah, rasanya tidak akan sempurna tanpa uluran tangan teman-teman nontunanetra dan para relawan. Ia mengakui, bantuan para relawan dalam mengakses buku-buku bacaan sangat mempengaruhi prestasi akademiknya. Di samping itu, Ismail juga terbilang dekat dengan para dosen. Menurut dia, sebagai orang yang memiliki keterbatasan, dirinya memerlukan sebuah perlakuan khusus atau trik-trik pengajaran tertentu yang membantu proses belajarnya. Agar para dosen dapat memahami kebutuhan itu, Ismail senantiasa memperkenalkan diri pada dosen-dosennya di masa-masa awal perkuliahan. “Bahkan ada juga dosen yang selalu menceritakan tentang saya ketika beliau mengajar di kelas lain, sehingga teman-teman di kelas lain jadi mengenal saya berkat cerita dosen itu,” tuturnya.

 

Ismail yang telah menjadi tunanetra sejak usia 19 tahun pun pernah terlibat dalam sebuah komunitas pengembangan potensi pemuda bertajuk Young Intra Preneur  (YIP). Saat itu, ia mengembangkan sebuah program bernama Social Leadership and Motivation Training (SOLMATE). Menurut pria yang kini sedang menggarap thesis di jurusan Ekonomi Islam Universitas Ibnu Khoaldun, Bogor itu , diskriminasi tidak akan dapat dihapuskan jika individu disabilitas masih bersikap eksklusif. Menurut dia, ada lima tahapan untuk menghapuskan diskriminasi. Yang pertama, dibutuhkan kesadaran akan posisi kita sebagai bagian dari masyarakat. Setelah itu, kita perlu bersosialisasi dengan lingkungan. Kenalkan diri pada orang-orang di sekeliling, tidak perlu malu karena kita adalah tunanetra.  Lalu, turut berkontribusi dalam masyarakat. Lakukan apa saja yang dapat kita lakukan untuk orang-orang di sekitar kita. Dengan kontribusi yang kita berikan, kelak akan dapat menjadi pemimpin dalam masyarakat itu sendiri. Setelah keempat langkah tersebut terlaksana, maka penyandang disabilitas sekali pun dapat menjadi inspirasi dan teladan di lingkungannya. “Inilah yang ingin saya contohkan pada teman-teman, bahwa tanpa perlu kita banyak bicara, masyarakat telah menghormati keberadaan kita. Daripada melakukan advokasi tapi individunya sendiri tidak melakukan apa-apa, buat saya lebih baik menggunakan cara seperti ini,” tukas Ismail menutup pembicaraan.(RR)

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Oleh Ramadhani Ray

Literature lover, disability issues campaigner, Interest to learn something new through reading, training, and traveling.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *