Terakhir diperbaharui 6 tahun oleh Redaksi
Stigma negatif pada penyandang disabilitas yang identik dengan makhluk yang punya kekurangan, serba terbatas, dan patut dikasihani masih terjadi. Bahkan hal tersebut ikut dilakukan oleh pemerintah yang seyogyanya jadi pelindung bagi seluruh rakyatnya. Sedikit contoh yakni saat seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) tahun lalu. Memang maksudnya mungkin baik, tapi pemahaman yang rendah membuat penyandang disabilitas tetap termarginalkan.
Mulai CPNS 2013, secara resmi Kementrian Pemberdayaan Aparatur Negara (PAN) menginstruksikan hampir semua kementrian dan instansi pemerintah untuk memberikan alokasi bagi CPNS penyandang disabilitas. Meski quota yang dialokasikan hanya satu atau dua orang di tiap lembaga, ini sudah kemajuan signifikan untuk ukuran Indonesia. Pada tahun-tahun sebelumnya, mungkin hanya Kementrian Sosial yang memberikan alokasi bagi CPNS penyandang Cacat, itu karena isu disabilitas memang ditangani oleh kementrian yang pada era Presiden Gus Dur pernah dibubarkan.
Kesalahan masih terjadi pada bagaimana memandang seorang penyandang disabilitas. Penyandang Disabilitas masih dilihat dari apa yang menjadi keterbatasannya. Apabila tunanetra, yang dilihat adalah ketidak-bisaannya untuk melihat. Apabila tunarungu/wicara, yakni kesulitannya mendengar dan bicara, dan seterusnya. Fakta bahwa di balik status sebagai tunanetra, tunarungu/wicara, tunadaksa, dan jenis disabilitas lainnya itu ada seorang manusia yang utuh sempurna. Manusia yang sama dengan lainnya, memiliki potensi dan hak untuk berkembang. Apabila mereka dilihat sebagai manusia yang utuh, maka keterbatasan bukanlah masalah, sebab manusia tentu dapat menemukan solusinya.
Contoh yang sangat “menyakitkan” ada di pengumuman CPNS Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2013. Dalam persyaratan melamar tertulis
“4. Khusus untuk penyandang cacat/disabilitas, adalah yang tidak bisu, tidak tuli, tidak buta, dan bisa menulis, sedangkan untuk putra/putri Papua minimal salah satu orang tua kandungnya adalah orang Papua asli.”
Masih ada mindset bahwa disabilitas atau keterbatasan seseorang menjadi sisi yang ditonjolkan. Panitia sudah berasumsi bahwa jika buta atau tunanetra, pasti tidak dapat melihat, maka tidak dapat menulis. Lantas jika buta, bisu, atau tuli, apakah sudah pasti tidak dapat menjalankan pekerjaan di institusi tersebut? Padahal image yang ada di kalangan PNS adalahmereka “gak ada kerjanya”. Bisa jadi yang ada disabilitas malah lebih produktif karena lebih dapat menghargai kesempatan dan waktu yang diberikan.
Tidak jauh berbeda dengan seleksi CPNS di Pemda DKI Jakarta tahun lalu. Harapan pada pemerintahan baru yang dinilai lebih akomodatif, nampaknya masih memerlukan proses lagi. Melalui pernyataan kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) DKI Jakarta, disampakan bahwa ada alokasi 7 penyandang disabilitas untuk seleksi tahun 2013. Akan tetapi, penulis yang saat itu juga mengikuti langsung proses seleksinya, kecewa karena pemahaman pihak panitia mengenai disabilitas masih sangat tradisional.
Pada formasi yang ditentukan, penyandang disabilitas dialokasikan pada posisi-posisi tertentu, dengan parameter jenis disabilitasnya. Dari posisi yang ditawarkan seperti penyuluh Keluarga Berencana (KB), pranata komputer, pengadministrasi umum, operator komputer, pamong budaya, pustakawan, dan perancang peraturan perundang-undangan, sudah ditentukan bahwa jenis disabilitas tertentu hanya dapat melamar untuk posisi tertentu saja. Jelas kebijakan yang diharapkan jadi affirmative action dari Pemda DKI ini secara tidak langsung juga diskriminatif. Peluang bagi penyandang disabilitas makin terbatas karena masih dikotak-kotakkan lagi berdasar jenis disabilitas, dan belum tentu juga pada disabilitas tersebut memiliki latar belakangan pendidikan yang sama.
Sekali lagi, ada sindrom “kesok-tahuan” dari pihak pemerintah mengenai apa yang baik untuk penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas masih belum dilihat sebagaimanusiayang merdeka, dapat punya kemampuan beragam, dan punya kemandirian untuk menentukan nasibnya. Dengan masih membatasi lagi berdasar jenis disabilitas dan harus cocok pula dengan latar belakang pendidikannya, maka peluang makin sempit. Bukan dengan kebijakan memberi dispensasi bagi penyandang disabilitas untuk tidak menyertakan hasil test Toefl. Hal tersebut masih mengisyaratkan pandangan bahwa kompetensi penyandang disabilitas lebih rendah dari orang pada umumnya.
Seyogyanya, kebijakan affirmative action atau jemput bola benar-benar berdampak pada makin terbukanya kesempatan bagi penyandang disabilitas. Alokasi yang diberikan hendaknya tidak lagi membatasi pada jenis disabilitas. Asalkan ia punya qualifikasi pendidikan dan keahlian yang dibutuhkan, berhak mengikuti test dengan fasilitas pendukung yang diperlukan. Apabila ia lulus, itu sudah menandakan bahwa ia punya kompetensi yang dibutuhkan dan dapat bersaing dengan pelamar lain pada umumnya. Ketika penempatan, kembali lihat bahwa penyandang disabilitas juga manusia dan dapat berkembang. Harus ditemukan solusi dengan kompetensi yang mumpuni itu, apa yang dapat dilakukan agar kompetensinya tersalur dan mengatasi keterbatasannya tersebut. Caranya dapat dengan memberikan alat-alat bantu yang dibutuhkan.
Pada kesimpulannya, jangan lihat penyandang disabilitas dari apayang tidak ia bisa, tapi lihatlah dulu kemampuan yang dimilikinya. Sebab disabilitas bukanlah hal yang dapat dianggap sesuatu keanehan atau aib. Disabilitas juga bagian dari keberagaman dalam masyarakat yang patut diakomodasi. Seperti bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku. Apabila berbicara bahasa daerah masing-masing, tentu tak terjalin komunikasi. Akan tetapi ketika komunikasi dengan bahasa pemersatu, yaitu Bahasa Indonesia, interaksi itu berjalan. Bukan berarti harus menghilangkan keberagamannya. Semoga makin banyak masyarakat dan pembuat kebijakan yang paham akan ini.(DPM)