MENGATASI KETERBATASAN TANPA BATAS

Menolak Diskriminasi pada Penyandang Disabilitas di SNMPTN 2014

Terakhir diperbaharui 7 tahun oleh Redaksi

Pendidikan jadi alat modern untuk menarik derajat seseorang di dalam masyarakat. Pendidikan pula yang mendorong para kaum terpelajar bangsa ini menjadi penggerak kemerdekaan. Namun, apa jadinya ketika pendidikan yang seharusnya jadi hak tiap anak bangsa dibatasi karena perbedaan fisik dan mental? Ini bukan rekaan, karena diskriminasi ini sedang terjadi oleh perguruan tinggi kepada para penyandang disabilitas melalui mekanisme Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Terkuaknya perlakuan diskriminatif ini bermula dari pantauan komunitas disabilitas pada situs resmi SNMPTN 2014 yang beralamat di http://www.snmptn.ac.id. Pada bagian daftar perguruan tinggi beserta jurusannya, tertera beberapa opsi persyaratan yang mungkin dikenakan untuk calon mahasiswa yang mendaftar. Ada 7 kode persyaratan, dan sebuah jurusan ada yang menetapkan satu atau lebih kode, atau tidak sama sekali. Keterangan kode persyaratan tersebut yaitu:

  1. Tidak tunanetra
  2. Tidak tunarungu
  3. Tidak tunawicara
  4. Tidak tunadaksa
  5. Tidak buta warna keseluruhan, boleh buta warna sebagian
  6. Tidak buta warna keseluruhan maupun sebagian
  7. Lihat persyaratan khusus di website PTN

Ada kemungkinan, satu atau lebih persyaratan di atas dimaksudkan oleh pihak perguruan tinggi untuk menghindari adanya hambatan teknis bagi mahasiswa disabilitas selama mengikuti perkuliahan. Misal pada jurusan yang membutuhkan banyak kemampuan visual, maka ada persyaratan kode 1 yaitu tidak tunanetra. Biasanya persyaratan banyak ditemukan pada jurusan-jurusan rumpun ilmu alam. Ambil contoh di Universitas Indonesia. Pada jurusan Arsitektur, ada persyaratan kode 1, 2, dan 5. Begitu pula untuk jurusan Pendidikan Dokter, ada persyaratan kode 1, 2,3, 4, dan 6. Akan tetapi tidak semua jurusan rumpun IPA menggunakan persyaratan tersebut. Pada jurusan Ilmu Gizi dan Ilmu Kesehatan Masyarakat, keduanya tak membatasi penyandang disabilitas menjadi mahasiswanya.

Baca juga:  Jogja Kota Inklusi

Sebaliknya pada jurusan-jurusan rumpun ilmu sosial, pada umumnya tidak mengenakan persyaratan disabilitas. Seperti pada 32 jurusan berbasis IPS di Universitas Indonesia yang ditawarkan pada SNMPTN 2014, hanya jurusan Ilmu Psikologi yang menetapkan persyaratan kode 1, 2, dan 3. Bahkan di Universitas Airlangga, pada 17 jurusan berbasis IPS tersebut tak ada persyaratan disabilitas sama sekali, termasuk untuk jurusan Ilmu Psikologi.

Namun yang jadi masalah adalah saat ada beberapa jurusan yang sejauh ini biasa menerima penyandang disabilitas sebagaimahasiswanya, ternyata di aturan resmi SNMPTN membatasi penyandang disabilitas tertentu. Mari ambil dua contoh yaitu Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang sudah banyak menerima dan meluluskan sarjana dari penyandang disabilitas. Pada jurusan pendidikan bahasa, seperti Indonesia, Inggris, Jerman, Jepang, Arab, atau Perancis di UNJ, ada persyaratan kode 1, 2, dan 3 yang artinya calon mahasiswa tidak boleh tunanetra, tunarungu, atau tunawicara. Padahal dalam fakultas yang sama UNJ memiliki jurusan Pendidikan Luar Biasa yang seyogyanya membuat PTN di daerah Rawamangun tersebut lebih paham mengenai potensi dan kemampuan penyandang disabilitas.

Tak jauh berbeda, UPI yang berlokasi di Bandung pun memiliki aturan yang cukup ganjil. Pada jurusan-jurusan seperti Bahasa dan sastra Indonesia, Bahasa dan Sastra Inggris, serta Bimbingan Konseling, mereka menetapkan persyaratan kode 1, 2, 3, 4, dan 6. Sama halnya dengan jurusan pendidikan bahasa, ada persyaratan kode 1, 2, 3, dan 4. Fakta terbesar yang membuat kebijakan tersebut sangat aneh yaitu sudah banyak lulusan dari beberapa jurusan tersebut yang mereka adalah penyandang disabilitas.

Sesungguhnya, persyaratan-persyaratan tersebut sudah ada sejak beberapa tahun yang lalu. Sejauh ini, berdasar pengalaman pribadi penulis dan juga sesama teman disabilitas, persyaratan yang ada di website atau buku panduan SNMPTN (dulunya PMDK) atau SBMPTN (dulunya Sipenmaru, UMPTN, dan SPMB) tidak terlalu dipatuhi. Penyandang disabilitas yang ingin masuk PTN tetap mengikuti sistem nasional atau lokal universitas yang berlaku. Dengan kata lain, kami bersaing dengan calon mahasiswa lain pada umumnya. Saat mengisi formulir pendaftaran, pilihan jurusan rata-rata diputuskan menimbang kemampuan, peluang atau rasio peminat, serta kemudahan saat nanti mengikuti kuliah. Pada tunanetra misalnya, tak akan berfikir untuk mengambil jurusan Teknik Kimia atau Kedokteran Gigi yang rasanya agak sulit selama perkuliahan. Sebab masih tersedia jurusan lain yang sekiranya tak menyulitkan dan tetap dapat dijadikan tumpuan  menempuh masa depan.

Baca juga:  CRPD Spirit Menjawab Masalah Disabilitas

Selain itu, apabila sudah lolos seleksi jalur test tertulis atau non-tertulis (seperti PMDK atau SNMPTN), tak ada hak bagi PTN untuk membatalkan keikutsertaan mahasiswa disabilitas pada jurusan yang dipilihnya. Mereka yang telah lolos dari seleksi nasional adalah aset-aset bangsa yang terpilih dari sekian ratus ribu peserta lainnya. Tak logis apabila orang-orang terpilih itu malah dihambat untuk meneruskan cita-citanya, hanya karena soal disabilitas yang tentu dapat dicari solusinya. Biasanya, konsolidasi akan dilakukan oleh para dosen bersama mahasiswa disabilitas bersangkutan untuk menentukan cara ajar yang terbaik dan fasilitas apa saja yang diperlukan untuk menunjang proses belajar mengajar.

Namun demikian, diskriminasi dalam bentuk apapun, apalagi di ranah pendidikan, haruslah dihapuskan. Memang ada alasan-alasan demi menghindari permasalahan teknis selama perkuliahan, akan tetapi hal tersebut dapat memberikan presedne buruk pada upaya mewujudkan masyarakt inklusif. Tanpa dibuatkan hambatan seperti itu sekalipun, calon mahasiswa disabilitas akan memperhitungkan kemampuan diri, minat, serta perkiraan apakah dia mampu belajar secara optimal danm engaplikasikan ilmunya kelak. Bukan eranya lagi menggunakan kebijakan top down yang sepihak yaitu dengan mengarahkan penyandang disabilitas pada hal tertentu di luar  kehendak orang yang bersangkutan. Bukan mustahil, suatu saat nanti ada seorang tunanetra yang benar-benar berbakat di bidang matematika dan mampu menemukan solusi pada keterbatasannya. Seyogyanya, pendidikan tidaklah menutup kemungkinan-kemungkinan tersebut yang menghambat hak seseorang untuk berkembang.

Lebih jauh, ada pula hal-hal lain yang tak kalah penting yang harus berjalan seiring dengan penghapusan aturan diskriminatif tersebut. Yaitu bagaimana jurusan-jurusan yang telah terbuka mampu dimanfaatkan secara optimal oleh penyandang disabilitas beserta sistem yang mendukungnya. Sebab kewajiban dari institusi pendidikan bukan hanya memberikan akses, melainkan pula dukungan agar proses penyerapan ilmu maksimal, dan setelah lulus dapat diaplikasikan dengan baik.

Baca juga:  Mendikbud Tak Mengerti Tentang Diskriminasi Di SNMPTN 2014

Satu PTN yang dapat dijadikan contoh yakni Universitas Brawijaya di Malang. Adanya Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) membuat akses yang telah dibuat dengan memberikan quota bagi calon mahasiswa disabilitas sekaligus fasilitas pendukung kuliah. Jangan sampai mereka yang memilih masuk jurusan yang secara aturan terbuka bagi penyandang disabilitas jadi korban karena staf pengajar merasa belum siap. Perlu adanya dukungan dari pihak kampus berupa aksesibilitas atau fasilitas belajar.

Selain itu, tak kalah penting untuk advokasi agar terjadi sinkronisasi antara output pendidikan dengan dunia kerja. Pada seleksi CPNS misalnya, perlu dihapuskan aturan yang membatasi jumlah penyandang disabilitas di sebuah institusi pemerintahan, dan pengarahan pada posisi tertentu saja. Bisa jadi dengan qualifikasi yang dimilikinya, dia layak untuk melamar ke posisi lainnya akan tetapi terhalang karena alokasi untuk penyandang gdisabilitas bukan di situ.

Jangan sampai ada “kesombongan intelektual” yang menginginkan penghapusan aturan diskriminatif tersebut hanya untuk membuktikan bahwa penyandang disabilitas mampu masuk ke jurusan apapun. Hal yang lebih penting yakni bagaimana kesiapan calon mahasiswa itu, proses selama masa perkuliahan, dan output setelah menjadi sarjana. Tugas kita bukan hanya untuk membuka kran diskriminasi, tetapi juga untuk mengaliri pipa-pipa dengan air yang bersih yang keluar dari kran tersebut secara berkelanjutan.(DPM)

Beri Pendapatmu di Sini