Mengawal Pembebasan dari Diskriminasi

Jakarta – Pekan lalu, kita disuguhi kasus perlakuan diskriminatif kepada penyandang disabilitas oleh maskapai domestik Garuda Indonesia. Kejadian ini bukanlah yang pertama kali, akan tetapi menjadi istimewa karena turut diadvokasi melalui ranah online yang diikuti dengan somasi hukum. Namun pertanyaannya, apakah upaya ini akan benar-benar dapat menghapus tindak diskriminasi pada penyandang disabilitas, khususnya di bidang transportasi udara? Tak salah jika Anda pesimis, mengingat fakta bahwa kejadian ini bukan untuk yang pertama kalinya terjadi dan bahkan sudah berlangsung bertahun-tahun.

Perlakuan diskriminatif yang menimpa penyandang disabilitas terjadi pada berbagai jenis disabilitas. Namun, kasus paling sering terjadi pada penyandang disabilitas netra dan daksa, khususnya pengguna kursi roda atau kruk. Kepada seorang tunanetra, perlakuan diskriminatif maskapai penerbangan biasanya berupa penolakan untuk terbang atau pemaksaan untuk menandatangani surat keterangan sakit. Penolakan tersebut dilandasi dalih bahwa seorang tunanetra tidak boleh naik pesawat terbang sendirian, melainkan perlu pendamping khusus selama perjalanan. Kasus penolakan ini dialami oleh Deny Martin ketika ingin menggunakan jasa Citilink dari Surabaya ke Jakarta (2011) dan Irwan Subena yang juga bermaksud menaiki Citilink dari Makassar ke Denpasar (2010).

Penolakan tersebut dari perspektif penyandang disabilitas sangatlah diskriminatif. Sebab bagi seorang tunanetra, bukan sebuah masalah sebenarnya untuk bepergian dengan pesawat terbang tanpa pendamping dengan kemampuan orientasi mobilitas yang baik. Pihak maskapai dan bandara cukup memberikan bantuan seperlunya seperti ketika harus mengisi formulir, mobilisasi menuju dan keluar dari pesawat, dan dicarikan tempat duduk dalam pesawat atau ketika perlu menuju toilet. Perlakuan khusus tersebut sudah dijamin dalam UU no 1 tahun 2009 tentang penerbangan. Namun dari sisi petugas maskapai yang kurang sosialisasi, keberadaan tunanetra dapat dianggap merepotkan karena dianggap harus selalu didampingi dan tak dapat mandiri.

Tak berbeda jauh dengan penyandang disabilitas daksa khususnya pengguna kursi roda, mereka pun kerap mengalami diskriminasi karena disabilitas yang nyata terlihat. Kadang, perlakuan yang diberikan oleh petugas kurang sigap atau sesuai sehingga dapat berakibat fatal; seperti pada pengguna kursi roda yang tidak mendapat bantuan ketika naik dan turut pesawat karena lintasan yang berupa tangga, sehingga penumpang lainnya harus membantu. Terkadang juga, mereka menemukan kursi roda dalam keadaan rusak karena disimpan di kabin pesawat.

Bahkan somasi pernah diajukan kepada Lion Air, Angkasa Pura, dan Kementerian Perhubungan oleh Ridwan Sumantri, pengguna kursi roda, pada 2011. Tuntutan tersebut dikabulkan oleh pengadilan tinggi Jakarta Pusat di akhir tahun 2011 yang menegaskan bahwa perlakuan diskriminatif kepada penyandang disabilitas tidak dibenarkan oleh peraturan yang berlaku.

Meski dimenangkan, tanggapan dari pihak tergugat cukup mengecewakan. Pihak tergugat masih berniat untuk naik banding padahal vonis majelis hakim lebih ringan daripada tuntutan sebelumnya. Dalam persidangan tersebut, pihak Ridwan Sumantri menuntut untuk Lion Air, Angkasa Pura, dan Kementerian Perhubungan meminta maaf kepada media massa atas perlakuan diskriminatifnya. Pada kenyataannya, yang ada hanya permintaan maaf secara individual yang diperintahkan oleh pengadilan. Fakta tersebut menunjukkan bahwa kesadaran untuk menghargai hak penyandang disabilitas pada akses layanan yang layak masih belum dimiliki sepenuhnya oleh publik.

Selain itu, masih ada perlakuan diskriminatif yang paling sering dialami oleh penyandang disabilitas ketika ingin menaiki pesawat terbang, yaitu keharusan penandatanganan surat pernyataan sakit. Hal tersebut menjadi diskriminatif karena penyandang disabilitas yang tidak dalam keadaan sakit, tidak dapat disamakan dengan orang sakit. Namun di lapangan, apabila terdeteksi oleh petugas maskapai, maka tiap penyandang disabilitas  akan diminta untuk menandatangani surat tersebut.

Sekali lagi, masalah ini sudah berlangsung lama dan masih terus terjadi. Memang ada upaya perbaikan melalui somasi hukum atau protes publik, tapi solusi masih sukar rasanya ditemukan jika akar permasalahannya tidak tersentuh.

Contohnya, pada penyelesaian kasus yang menimpa Cucu Saidah (9-Maret-2013). Pasca pertemuan dengan pihak Garuda Indonesia, Gapura Angkasa, dan Angkasa Pura yang difasilitasi oleh Change.org dan YLBHI pada 14 Maret lalu, pelayanan Garuda pada Cucu Saidah malah terkesan berlebihan. Ketika di sore harinya Cucu Saidah kembali menggunakan jasa Garuda Indonesia untuk terbang dari Jakarta ke Yogyakarta, beliau mendapatkan pelayanan yang berlebihan sampai-sampai kepala bandara di Yogyakarta menyambut kedatangannya. Sedangkan di tempat lain, ada penyandang disabilitas yang masih diharuskan menandatangani surat keterangan sakit dalam perjalanannya dari Jakarta ke Solo.

Ini yang perlu disadari dalam setiap proses pengikisan perlakuan diskriminatif. Sebuah masalah yang berasal dari sebuah mindset yang mengakar tidak dapat dipecahkan secara instan. Perlu pengawalan dan konsistensi untuk membiasakan bahwa penyandang disabilitas juga punya hak yang perlu diakomodasi. Jangan sampai perbaikan layanan dari pihak Garuda tersebut hanya berlaku pada saat itu saja atau hanya kepada individu yang berani melakukan advokasi. Upaya perbaikan seyogyanya dilakukan secara berkesinambungan dengan sistem yang baik. Bukan hanya hangat ketika satu dua hari pascakasus, kemudian dingin, hambar dan tak berbekas.

Para penyandang disabilitas pun tak boleh lengah dengan perlakuan berlebihan yang besar kemungkinan hanya sesaat. Teruslah kawal upaya perbaikan layanan oleh maskapai domestik. Jadikan komitmen dari Garuda Indonesia sebagai momentum untuk mendorong agar maskapai lain melakukan hal serupa. Bukan tak mungkin, di tengah upaya perbaikan yang dilakukan, tindak diskriminasi masih tetap terjadi. Maka di sanalah tugas penyandang disabilitas tak boleh hanya diam, melainkan terus melaporkannya pada YLBHI yang juga berkomitmen untuk mengawal advokasi ini. Tak hanya untuk kepentingan si pelapor, tapi untuk perbaikan yang lebih besar yaitu bagi seluruh penyandang disabilitas.

Bagaimanapun juga, iktikad beberapa maskapai harus juga diapresiasi; seperti sudah adanya manual petunjuk keselamatan penerbangan yang dicetak dalam format braille pada maskapai Lion Air dan Sriwijaya Air. Perbaikan sekecil apapun juga perlu terus disosialisasikan untuk menjadi pengingat pihak maskapai sekaligus menjadi contoh bagi yang lain.

Pada kesimpulannya, perlu kerja keras untuk mengawal penghapusan tindak diskriminasi terhadap disabilitas di transportasi udara. Jangan sampai lelah karena ini adalah perjuangan yang panjang. Belum tentu dalam waktu lima tahun ke depan masalah ini benar-benar dapat dihilangkan. Namun, satu hal yang perlu ditekankan adalah bahwa tren positif harus terjadi dari waktu ke waktu. Semoga, dengan diawali dari transportasi udara, diskriminasi pada disabilitas dapat dihapuskan pula di berbagai aspek ruang publik lainnya. (DPM)

Editor: Muhammad Yesa Aravena

Last Updated on 9 tahun by Redaksi

Oleh Dimas Prasetyo Muharam

Pemimpin redaksi Kartunet.com. Pria kelahiran Jakarta 30 tahun yang lalu ini hobi menulis dan betah berlama-lama di depan komputer. Lulus dari jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia 2012, dan pernah merasakan kuliah singkat 3 bulan di Flinders University, Australia pada musim semi 2013. Mengalami disabilitas penglihatan sejak usia 12 tahun, tapi tak merasa jadi tunanetra selama masih ada free wifi dan promo ojek online. Saat ini juga berstatus PNS Peneliti di Puspendik Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Kunjungi blog pribadinya di www.dimasmuharam.com.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *