Pentingnya Etika Seorang Guru
Terakhir diperbaharui 3 tahun oleh Redaksi
Beberapa bulan yang lalu, saya sempat ngobrol dengan seorang teman yang berkuliah di jurusan PLB (Pendidikan Luar Biasa). Suatu ketika teman saya itu diberi tugas untuk melakukan observasi tentang anak yang mengalami kesulitan belajar di sebuah SD. Singkat cerita, ketika mencari partner untuk diobservasi, guru di SD tersebut berkata kepada teman saya, “Coba observasi anak yang itu aja tuh. Dia gak bisa apa-apa.”
Dari cerita teman saya tadi, ada beberapa poin yang bisa saya ambil. Poin pertama, saya simpulkan bahwa guru tersebut “TIDAK BISA MENGAJAR”. Mengapa? Secara logika, setiap anak -lebih tepatnya setiap orang- diciptakan dengan kemampuan yang berbeda-beda. Ada yang cepat menangkap pelajaran, ada juga yang agak lambat. Nah, di sinilah kemampuan seorang guru diuji. Apakah dia bisa membentuk anak yang tadinya “tidak bisa apa-apa” menjadi *setidaknya* bisa melakukan sesuatu? Di sini juga guru dituntut untuk lebih kreatif; bagaimana metode yang tepat untuk mengajarkan anak yang mengalami kesulitan belajar tersebut? Bukannya malah “menghina” anak tersebut dengan mengatakan “anak ini tidak bisa apa-apa”.
Poin kedua, saya simpulkan bahwa guru tersebut “kurang beretika” (saya bukan mengatakan “tidak beretika”). Mari kita bayangkan. Teman saya tadi adalah orang asing yang ingin mencari informasi dan mengenal lebih dekat si anak yang mengalami kesulitan belajar. Artinya, anak tersebut sama sekali belum kenal dengan teman saya ini. Nah, guru SD tadi memperkenalkan si anak kepada teman saya dengan kalimat “anak yang tak bisa apa-apa”. Coba bayangkan, bagaimana perasaan anak itu ketika dia diperkenalkan dengan orang asing, tetapi dengan predikat yang kurang baik? Mungkin anak itu akan merasa malu, minder, tertekan, dan semacamnya. Ini yang saya katakan bahwa guru tersebut “kurang beretika”. Dia tidak bisa menjaga perasaan anak didiknya sendiri. Serendah-rendahnya kemampuan seseorang, pasti orang tersebut juga ingin dihargai perasaannya. Guru tersebut tidak membayangkan, bagaimana jika dia adalah ibu dari anak tersebut? Atau bagaimana jika dia berada di posisi anak tersebut? Bagaimana perasaannya?
Dari tulisan ini, saya hanya ingin mengingatkan, terutama bagi para guru, umumnya untuk siapa pun yang membaca tulisan ini -termasuk untuk diri saya sendiri-, bahwa tidak ada satu orang pun yang memiliki kemampuan sama dengan orang lain. Bisa jadi seseorang yang lemah di suatu bidang tetapi dia kuat di bidang lain. Jadi, hargailah perasaannya, hargailah kemampuannya, karena Tuhan telah menciptakan manusia sesempurna mungkin, dan tidak ada satu pun ciptaan Tuhan yang cacat.
NB: Tulisan ini sebelumnya sudah pernah saya publikasikan di catatan Facebook saya (http://facebook.com/fakhryary) pada tanggal 3 Februari 2014. Pernah juga dimuat di website Kampung Halaman (www.kampunghalaman.org).