MENGATASI KETERBATASAN TANPA BATAS

Punya Pasangan Tunanetra, Kenapa Tidak?

Terakhir diperbaharui 6 tahun oleh Redaksi

Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, pada umumnya kaum tunanetra dianggap sebagai kaum kelas bawah yang biasanya hanya menyusahkan orang banyak. Anggapan tentang profesi kaum tunanetra pun tidak jauh-jauh dari pengamen, pengemis, atau paling tinggi sebagai tukang pijat. Padahal, jika kita membuka mata, di luar sana banyak tunanetra yang menjadi orang sukses. Kita bisa lihat Stevie Wonder, salah satu legendaris musik pop dunia. Kita juga bisa lihat Ludwig Van Beethoven, salah satu musisi musik klasik yang sangat terkenal dan karya-karyanya masih dimainkan orang hingga saat ini.

 

Satu hal yang menjadi bahan pikiran yang cukup rumit bagi kaum tunanetra, yaitu tentang memilih pasangan hidup (read: pacar atau suami/istri). Salah satu kontributor Kartunet, Ekka Pratiwi Taufanty, pernah menulis tentang bagaimana menyikapi cinta diantara sesama tunanetra (silahkan baca di sini). Kali ini, penulis ingin membahas lebih lanjut tentang masalah percintaan bagi kaum tunanetra. Dalam tulisan ini penulis ingin mengangkat tentang tunanetra yang ingin memiliki pasangan non-tunanetra. Apakah bisa?

 

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa kisah cinta tunanetra biasanya memiliki jalan cerita yang biasanya agak lebih rumit, apalagi jika tunanetra tersebut menginginkan pasangan yang non tunanetra. Faktor pertama biasanya muncul dari dalam diri tunanetra itu sendiri. Biasanya tunanetra merasa minder dengan keadaannya sebagai tunanetra. “Yaa, siapalah gue ini? Cuma tunanetra doang kok, mana ada cowok/cewek yang mau sama gue?” Begitu kira-kira perkataan yang biasanya terlontar dari beberapa tunanetra yang pernah bercerita kepada penulis. Bahkan penulis tidak menutupi bahwa penulis pun pernah merasakan hal seperti itu.

Baca juga:  Pergerakan Disabilitas, Sudah Sampai Mana Indonesia?

 

Lalu bagaimana cara menyikapinya? Simpel saja, yang penting kita jangan minder. Tuhan menciptakan manusia dengan bentuk sesempurna mungkin, oleh karena itu di balik kekurangan yang dimiliki pasti tersimpan sejuta kelebihan. Rasa minder itulah yang menjadi halangan terbesar untuk berkecimpung di dunia percintaan.

 

Faktor kedua (yang biasanya menjadi masalah yang lebih berat) adalah tantangan dari pasangan atau orang tua pasangan. Beberapa orang akan menentukan pilihan pasangan hidupnya -atau calon menantunya- dari bebet, bibit, dan bobot (penulis sendiri kurang mengerti apa makna tiga kata tersebut). Yang pasti, pasangan yang diinginkan orang biasanya adalah pasangan yang tampan, kaya, dan tidak kurang suatu apa pun. Dari poin ini tentu saja tunanetra sudah “terpental” dari kriteria pasangan idaman jika dilihat dari kacamata awam.

 

Bagaimana menyikapinya? Jika tantangan tersebut datang dari pasangan, tidak terlalu sulit untuk mengatasinya. Tunjukkan bahwa kaum tunanetra bukanlah kaum yang menyusahkan seperti stigma yang terbentuk di masyarakat luas. Kita harus menunjukkan bahwa tunanetra pun dapat hidup normal seperti masyarakat pada umumnya. Tetapi jika tantangan datang dari orang tua pasangan, itu yang agak berat. Sebetulnya bisa saja memakai cara yang sama dengan yang kita lakukan terhadap pasangan; menunjukkan bahwa tunanetra pun bisa hidup normal. Tetapi biasanya orang tua memiliki pemikiran yang agak susah ditebak dan sulit untuk disanggah meskipun pemikirannya salah. Orang tua –yang biasanya tidak tanggap terhadap perkembangan zaman- biasanya akan tetap pada pendiriannya bahwa tunanetra adalah kaum yang tidak bisa apa-apa. Langkah selanjutnya, coba minta pasangan untuk menjelaskan kepada orang tuanya apa dan siapa sebenarnya tunanetra itu, karena pasangan tentunya sudah lebih dahulu mengerti dibanding orang tuanya, dan biasanya perkataan seorang anak akan lebih didengar oleh orang tuanya ketimbang perkataan orang lain. Jika masih gagal juga, maka tidak ada jalan lain. Lebih baik cari orang lain yang lebih terbuka pemikirannya. Seperti kata pepatah, “gugur satu tumbuh seribu”.

Baca juga:  Evaluasi Garuda Menuju Penerbangan Inklusif

 

Sedikit cerita, penulis pernah menjalin hubungan dengan seseorang. Sayangnya hubungan tersebut hanya berjalan dalam waktu yang bisa dibilang sangat singkat (bahkan salah seorang teman penulis pernah bilang, “Jagung aja belum tumbuh Ry.”). Selama menjalin hubungan, penulis sama sekali belum pernah bertemu dengan orang itu (meskipun sebenarnya penulis sudah mengenal orang itu dari sosial media selama kurang lebih 3 tahun). Singkat cerita, setelah penulis tidak menjalin hubungan spesial dengan orang tersebut, barulah penulis mempunyai waktu untuk bertemu dengan dia. Saat pertemuan itu, secara kebetulan penulis juga bertemu dengan orang tuanya. Setelah pertemuan itu, terjadilah SMS kurang lebih seperti berikut:

(P=Penulis, X=seseorang)

X: “Tadi mama aku nanyain kamu tuh.”

P: “Nanya apa?”

X: “Iya, nanyain kemaren P pulangnya gimana? Aku bilang P bisa kok pulang sendiri.”

P: “Oh gitu.”

X: “Terus mama aku nanya, kamu ada hubungan spesial gak sama P? Aku bilang, gak ada. Terus mamaku bilang, kamu lebih baik temenan aja sama dia.”

 

Tersirat, tapi mengena. Itulah yang dapat penulis tangkap dari beberapa SMS tersebut. Barangkali pembaca bisa memahami apa maksud dari kalimat-kalimat di atas? Yaps, penulis pun sudah memperhitungkan risiko tersebut. Sempat terlintas perasaan tidak enak ketika membaca SMS tersebut. Tetapi penulis berpikir, jika responnya sudah sedemikian rupa, artinya orang tersebut cukup sulit untuk diperjuangkan. Bukan sulit dari orangnya, tapi sulit dari orang tuanya. Poin pentingnya, jika seorang tunanetra mencintai seseorang non tunanetra, maka berjuanglah semaksimal mungkin. Jika perjuangan tersebut tidak membuahkan hasil, maka carilah orang yang lebih open-minded.

 

Dan satu poin penting yang ingin penulis tekankan untuk pembaca non tunanetra, jangan melihat seseorang hanya dari status “tunanetra”nya saja. Seperti yang telah penulis singgung di atas, banyak tunanetra yang menjadi orang sukses, tak terkecuali di Indonesia. Tunanentra bukan makhluk aneh, bukan pula alien. Jadi jadi jangan takut menjalin hubungan dengan seorang tunanetra, termasuk untuk dijadikan pasangan hidup.

Beri Pendapatmu di Sini