Seks Bebas di Kalangan Anak-Anak dan Hubungannya dengan Kebudayaan di Indonesia

Dari judul di atas, mungkin pembaca akan berpikir bahwa penulis ingin menghubungkan antara pakaian kemben yang sexy dengan meningkatnya gairah seks. Atau mungkin pembaca akan berpikir tentang tutur kata lembut orang Indonesia dan hubungannya dengan gairah seks lawan jenis. Bukan, bukan itu yang ingin penulis bahas dalam tulisan ini. Mari kita lanjutkan ke pokok permasalahannya.

 

Bukan rahasia lagi jika saat ini pergaulan masyarakat Indonesia semakin bebas. Saking bebasnya, kegiatan seks bebas pun semakin sering kita temukan. Coba pembaca hitung berapa kali stasiun TV menayangkan berita tentang pemerkosaan? Berapa kali pula pembaca melihat berita-berita semacam itu di koran dan internet?

 

Namun, sebetulnya apakah yang menyebabkan semakin maraknya seks bebas? Globalisasi? Bisa jadi. Pendidikan agama yang lemah? Bisa jadi. Namun, di balik faktor-faktor tersebut, ada sebuah faktor yang menurut penulis malah membuat seks bebas semakin menjamur, yaitu faktor budaya. Budaya yang penulis maksud adalah budaya yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia yang mengatakan “tabu jika membicarakan tentang seks”.

 

Apa hubungannya? Mari kita lihat. Penulis mengambil contoh seorang anak kecil yang bertanya kepada ibunya, “Ma, kok bisa sih adik lahir ke dunia?” Beberapa ibu akan menjawab, “Itu dibuat dari campuran tepung terigu dan telur, Nak.” (Itu maksudnya apa ya? Menyamakan manusia dengan kue bolu?)

 

Dari penjelasan yang asal-asalan tersebut, akan terjadi sesat pikir pada anak. Sang anak pun akan menjadi lebih penasaran, dan akhirnya mencari tahu sendiri di lingkungan yang lebih luas.

 

Mari kita lanjutkan.

 

Memasuki tingkat SD dan SMP, biasanya di dalam pelajaran IPA terdapat bab yang membahas tentang sistem reproduksi manusia. Namun itu pun tak mampu menuntaskan rasa penasaran pada sang anak. Biasanya di bab tersebut hanya membahas hal seperti berikut, “Pembuahan terjadi karena pertemuan sel sperma dengan sel telur. Alat kelamin pria disebut penis, dan alat kelamin wanita disebut vagina. Di dalam vagina terdapat bagian-bagian berupa… dst”

 

Pada materi tentang reproduksi biasanya juga hanya menjelaskan dampak berhubungan seks seperti berikut, “Hubungan seks dapat menyebabkan kehamilan, dan kemudian akan lahir seorang bayi.”

 

Dari beberapa kasus di atas, apa yang seharusnya dilakukan?

 

Pertama, di tingkat yang paling dasar (tingat keluarga), seharusnya orang tua memberikan penjelasan yang masuk akal tentang seks. Coba simak jawaban orang tua di atas, yaitu adik dibuat dari campuran telur dan tepung terigu. Apakah itu hal yang bijaksana? Tentu saja tidak. Seharusnya orang tua memberikan jawaban yang lebih bijak, misalnya, “Belum saatnya kamu mengetahui hal itu, nanti kalau sudah besar kamu pasti akan tahu.” Atau cara lain, orang tua bisa memberikan anak tontonan film kartun edukasi yang menjelaskan seputar seks dengan penjelasan yang bisa dicerna oleh anak-anak, sementara mereka bersantai di atas mereka Joovy-Zoom-360-Ultralight-Jogging stroller.

 

Penulis paham betul, mungkin orang tua merasa bahwa membicarakan seks adalah hal yang tabu. Inilah yang menjadi bahaya besar bagi anak. Anak akan mencari tahu sendiri tentang pengetahuan seks dari dunia luar, termasuk dari internet. Bacaan-bacaan tentang seks di internet biasanya dirancang untuk umur 17 tahun ke atas, dan inilah yang menyebabkan anak ingin “coba-coba”.

 

Kedua, di tingkat sekolah, seharusnya materi yang dibahas bukannya teori-teori tentang sel sperma, sel telur, dan sebagainya. Namun yang terpenting adalah bagaimana efek hubungan seks tersebut (apalagi hubungan seks bebas) terhadap masa depan sang anak. Menurut penulis, pendidikan seks di Indonesia masih sangat minim. Terbukti dengan materi pelajaran di sekolah yang hanya membahas teori-teori yang sebetulnya malah memusingkan anak-anak. Penjelasan yang gamblang adalah solusi yang lebih baik untuk mengurangi seks bebas di masyarakat.

 

Budaya “tabu membicarakan seks” juga merupakan budaya yang kurang baik dipelihara. Jika kita masih terpatok dengan kata-kata “tabu”, kapan ilmu pengetahuan akan maju? Ilmu pengetahuan, apapun itu bidangnya, tidak akan maju jika hanya dibahas setengah-setengah.

Last Updated on 6 tahun by Dimas Prasetyo Muharam

Oleh Fakhry Muhammad Rosa

Fakhry Muhammad Rosa, seorang tunanetra kelahiran Pontianak, 31 Mei 1994. Alumni jurusan Sastra Jerman, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Aktif menjadi pengurus di ITCFB (IT Center For The Blind) sebagai penulis artikel teknologi (silahkan baca di http://www.itcfb.org). Aktif bermusik sebagai drummer di Mitra Netra Band dan bassist di Remikustik.

3 komentar

  1. Setuju, justru karena sex dianggap tabu, serta tidak dibicarakan di dalam keluarga, sehingga anak cenderung mencari sendiri dan pencariannya tersebut akan mengarah pada penjelasan yang benar, tetapi lingkungan yang salah.

  2. Kalau yang pernah saya dengar sih katanya kalau kebudayaan sekarang tuh free sex itu gaul dan no perawan itu mah biasa, parah, dan jadi kebiasaan pacaran mulai dari cium, raba ini itu, terus sex dah dengan alasan sayang, atau sekedar di rayu atau di gombalin sama pasangannya.

    Dilarang ditiru.

    Menurut saya, kalau pendidikan sex itu perlu juga untuk mengenal dan ngga bingung sama keadaan lawan jenisnya. Namun, perlu diawasi.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *