Tantangan Super! Disabilitas Rekreasi ke Ancol

Jakarta, Kartunet.com – “Melayu abis… Melayu abis…!” Teriakan para kondektur mengiringi langkah-langkahku menelusuri Terminal Kampung Melayu. Hari itu, Sabtu 14 April,  aku kembali mengikuti kegiatan Barrier Free Tourism. BFT adalah kegiatan jalan-jalan bersama penyandang disabilitas yang sudah pernah diadakan pada bulan Maret lalu. Waktu itu, jalur yang dipilih adalah halte busway Pasar Festival menuju Monas. Kali ini para penyandang disabilitas memilih jalur lain, yaitu halte busway Kampung Melayu menuju Ancol. Yaps, benar, Ancol! Belum apa-apa aku sudah membayangkan serunya menjelajah objek wisata favorit warga Jakarta itu bersama para penyandang disabilitas.


 


Aku yang low vision sempat bingung mencari letak Indomart Kampung Melayu yang menjadi lokasi pertemuan para peserta BFT kali ini. Berbekal petunjuk, kucoba terus berjalan hingga menemukan sekelompok pengguna kursi roda di pelataran parkir. Sedikit samar dalam pandangan, tapi aku yakin pasti mereka orang-orang yang aku cari. Benar saja, dengan segera aku menemukan sosok Cucu Saidah dan Faisal Rusdi, pengguna kursi roda yang merupakan penggagas kegiatan BFT. Suasana sudah mulai ramai. Setiap yang datang saling menyapa dan bersalaman. Beberapa diantara mereka kukenal karena termasuk peserta BFT bulan Maret lalu, seperti Pingky Waro dari GERKATIN  dan Prima bersama Balqiz, putri kecilnya yang tunanetra.


 


“Sudah jam dua lewat nih, ayo kita berangkat!” Ajak  Cucu. Wanita pengguna kursi roda itu memberikan sejumlah instruksi kepada para peserta yang hadir serta para pendamping. Ada sekitar 10 pengguna kursi roda, 8 tunanetra, 6 tunarungu, dan 3 anak dengan disabilitas bersama orang tua mereka. Sekitar 20 orang nondisabilitas juga turut hadir mendampingi. Tak lama, kami semua meluncur meninggalkan pelataran parkir Indomart. Kami menyebrang menuju halte busway. Teriknya matahari serta kepulan asap kendaraan bermotor tak sedikit pun mengurangi semangat para peserta. Beberapa pengguna kursi roda membentuk barisan, melintasi jalan raya, menyelip di antara Kopaja yang berjalan lambat.


 


“Ada apaan sih nih? Demo?” Kudengar celetukan dari para pedagang asongan di sekitar halte busway ketika melihat kedatangan rombongan kami. Sebelum mendaki ram halte, pengguna kursi roda dihadapkan dengan semacam tanggul setinggi 40 cm. Walhasil, para relawan bahu membahu menaikan satu persatu kursi roda ke halte. Wah, belum apa-apa sudah ada tantangan seperti ini.


 


Rombongan memasuki halte. Antrean penyandang disabilitas yang membeli karcis menarik perhatian setiap orang di halte tersebut. Setelah menerima karcis, aku segera melesat mengikuti rombongan di depanku memasuki busway yang datang. Lagi-lagi barisan penyandang disabilitas menarik perhatian para penumpang busway. Setiap mata memandang heran kepada mereka yang nyata tampak ceria bercanda tawa. Panas matahari yang  menembus jendela busway ditambah jalan raya padat merayap, sama sekali tidak mereka hiraukan. Aku sendiri duduk mengobrol dengan Trian yang tunanetra, serta Gofur dan Rini yang nondisabilitas.


 


Tibalah kami di halte busway Ancol. Sebelum menjelajah objek wisata ini, setiap peserta berkumpul untuk breafing terlebih dahulu. Cucu memperingatkan bahwa jalur BFT kali ini akan menjadi “tantangan super”  bagi pengguna kursi roda. “Nanti kita akan dua kali naik bus untuk sampai ke Beach Pool,” jelas Faisal. Ia menceritakan hasil survey-nya beberapa waktu lalu agar para peserta memiliki gambaran jalur yang akan ditempuh. Hal ini penting untuk keselamatan setiap peserta. Pasalnya, jalur BFT kali ini memang lebih sulit dibandingkan kegiatan serupa bulan sebelumnya. Breafing selesai, para peserta segera menaiki ram menuju halte bus wisata Ancol.


 


Sebelumnya, aku mencari rekan-rekanku dari Kartunet yang juga datang pada acara tersebut. Hmmmm, mata low vision-ku membidik ke segala arah. Aha! Ini dia. Akhirnya aku bertemu Senna, Mariana, dan Reza. Kami berempat segera bergabung dengan rombongan lainnya.


 


Aku dan teman-teman Kartunet memilih untuk naik bus menuju Beach Pool, titik finish dari perjalanan kami hari itu. Beberapa pengguna kursi roda memilih untuk mengayuh kursi roda mereka, sedangkan sebagian sisanya memilih alternatif kendaraan lain untuk menuju lokasi yang sama. Sebelum bus kami berangkat, aku menyaksikan pemandangan yang menarik perhatianku. Para relawan sedang membongkar kursi roda! Wah…wah…apa yang terjadi nih? Rupanya bus yang hendak kami naiki tidak memiliki ruang untuk kursi roda, sehingga kursi roda harus dibongkar terlebih dahulu agar bisa masuk. Akhirnya para pemilik kursi roda duduk di bangku bus seraya memegangi roda-roda kursi mereka. Sebuah pemandangan yang baru pertama kali kulihat di dalam kendaraan umum.


 


Kami turun di sebuah halte untuk berganti bus. Syukurlah, bus kali ini memiliki ruang untuk kursi roda, sehingga terasa lebih nyaman. Setelah menempuh jarak sekitar 2 kilometer dari halte busway, akhirnya tiba juga kami di Beach Pool. Semilir angin lembut membelai kulit, aroma khas air  laut mulai tercium, mentari sore yang menjingga pun semakin menambah hangat suasana. Sebagian besar peserta BFT telah sampai lebih dulu daripada rombongan kami. Sebagian menghabiskan waktu dengan mengobrol, yang lainnya sedang sibuk berfoto atau bermain pasir pantai. Sekali lagi, tidak ada yang ambil peduli dengan tatapan heran orang-orang pada rombongan disabilitas tersebut. Semua hanya menikmati perjalanan wisata kali ini yang sangat menyenangkan.


 


Akhirnya tiba juga pada sesi evaluasi, sesi yang paling aku tunggu-tunggu. Bagaimana tidak, pada sesi ini tentu kita akan mengetahui seperti apa hasil perjalanan pada hari tersebut. Setiap keluhan dan pengalaman akan terungkap di sini. Semua peserta berkumpul membentuk lingkaran, duduk manis di atas lantai kayu dermaga Beach pool. Aku segera mencari posisi yang nyaman untuk menyimak. Pingky, sang interpreter bahasa isyarat dengan sigap bersiap menerjemahkan segala penjelasan kepada para tunarungu ketika Jaka Ahmad mulai angkat bicara.


 


“Bagian yang paling penting adalah ketika kita menaiki bus atau memilih untuk berjalan kaki sampai ke sini. Pada saat itu, sebenarnya kita telah memberikan banyak edukasi untuk masyarakat,” jelas Jaka, tunanetra yang merupakan salah satu penggagas acara. Ia menerangkan bahwa sebagian besar lokasi Ancol memang sudah aksesibel, namun masih ada beberapa bagian yang perlu diperbaiki. Misalnya, pintu toilet yang kurang lebar sehingga tidak bisa dilewati oleh kursi roda.


 


Peserta juga mengharapkan perbaikan pada kegiatan BFT selanjutnya. Pemberitahuan lebih dahulu kepada pihak pengelola fasilitas umum yang akan dikunjungi dirasa penting. Hal ini bermaksud agar BFT dapat lebih efektif dalam menciptakan aksesibilitas. Selain itu, lokasi pertemuan yang strategis serta ketepatan waktu pemberangkatan pun perlu menjadi perhatian.


 


“Saya akan mencoba mengajak lebih banyak lagi orang tua yang memiliki anak disabilitas untuk ikut jalan-jalan,” ujar Prima. Ibunda dari Balqiz, tunanetra berusia 6 tahun ini tampak  sangat bersemangat. Ia telah mengajak dua orang ibu lain yang memiliki anak dengan hambatan intelektual untuk turut bergabung.


 


Pada BFT kali ini, jumlah relawan yang hadir lebih banyak dari pada sebelumnya. Karena itu, Jaka mempersilakan beberapa orang relawan untuk memperkenalkan diri, khususnya mereka yang baru pertama kali bergabung dengan kelompok disabilitas. “Banyak pengalaman baru saya rasakan. Baru kali ini saya tahu bagaimana mendorong kursi roda. Saya juga mendapat teman baru di kegiatan ini.” Ungkap Gofur, sang relawan. Mahasiswa UIN itu berharap bahwa keikutsertaannya dalam BFT tidak hanya menjadi pengalaman pertama dan terakhir,  tetapi dapat terus berlanjut ke kegiatan BFT selanjutnya. Menurut pemuda berkaca mata itu, pengalaman mengangkat kursi roda ke dalam bus menjadi hal paling berkesan selama kegiatan berlangsung.


 


Langit mulai gelap, angin yang bertiup pun semakin kencang. Akhirnya, perjalanan hari  itu ditutup dengan kesepakatan BFT berikutnya akan diselenggarakan pada akhir Mei. Sarana yang akan kami gunakan adalah KRL Commuterline. Mengingat besarnya tantangan yang menunggu, perlu melakukan persiapan yang lebih matang.  Mulai dari survey sampai kerja sama dengan petugas stasiun dan pengelola KRL. Wah, sepertinya petualangan berikutnya akan semakin menantang! (RR)


Editor: Risma

Last Updated on 6 tahun by Redaksi

Oleh Ramadhani Ray

Literature lover, disability issues campaigner, Interest to learn something new through reading, training, and traveling.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *