Prediksi seorang ahli yang mengatakan bahwa lalu lintas di kota Jakarta akan lumpuh total pada tahun 2014, seketika menyadarkan masyarakat betapa sudah parahnya kemacetan di ibu kota. Memang jika penulis perhatikan, saat ini, di jalan-jalan kecil pun yang dahulunya tidak ramai, kini sudah ikut-ikutan macet. Kebijakan pemerintah provinsi yang “mengorbankan” anak sekolah untuk mempercepat jadwal masuk kelas pun, nampaknya tidak cukup efektif mengatasi masalah kemacetan. Dampak yang terjadi ialah waktu berlangsungnya kemacetan kini berlangsung lebih pagi lagi.
Selain itu, ada pula wacana dari sekelompok masyarakat yang telah merasa kota Jakarta tidak nyaman lagi, untuk memindahkan ibu kota ke luar pulau Jawa. Sekilas, hal ini mungkin bisa menjadi solusi tepat bagi permasalahan ibu kota dalam jangka panjang. Namun, dibutuhkan perencanaan matang di kota baru ibu kota kelak, agar hal serupa tidak terjadi lagi. Jika pemindahan ibu kota ini dilakukan dengan terburu-buru, apalagi hanya dijadikan komoditas legacy pemerintahan yang sedang berkuasa, maka hal itu tidak akan menyelesaikan masalah apa-apa.
Proyek Mass Rapid Transportation (MRT) yang dilakukan oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta, sedikit banyak, memberikan harapan baru bagi solusi masalah kemacetan. Melalui proyek ini, akan dibangun beberapa alat transportasi masal seperti kereta monorel, subway, dan transjakarta bus way yang secara terpadu mempercepat mobilitas penduduk Jakarta dan sekitarnya.
Sejauh ini, proyek yang baru membuahkan hasil adalah Transjakarta Bus Way. Meski mendapatkan cukup kritikan karena jalur transjakarta yang mengambil badan jalan yang telah ada, mayoritas masyarakat merasakan manfaat dari moda transportasi ini. Masyarakat merasa relatif lebih aman dan nyaman dibandingkan dengan bus kota yang keadaannya cukup memprihatinkan. Namun, keadaan bus Trans Jakarta yang telah cukup nyaman itu, apakah telah mengakomodasi pula bagi saudara-saudara kita penyandang cacat? Bagaimana dengan aksesibilitas moda transportasi ini, sehingga para penyandang cacat dapat nyaman pula menggunakannya?
Secara umum, fasilitas Trans Jakarta cukup membuat pengguna biasa nyaman. Untuk menuju ke shelter atau halte yang ada, dapat dilalui dengan jembatan-jembatan penyebarangan yang telah tersedia. Saat berada di dalam bus, pendingin udara siap menyejukan penumpang dalam bus. Meski terkadang harus berdesak-desakan ketika rush hours, laju bus Trans Jakarta yang teratur membuat perjalanan tidak terlalu menyiksa penumpang. Lantas, bagaimana dengan penumpang penyandang cacat?
Menurut UU no 4 tahun 1997 pasal 6, para penyandang cacat telah dilindungi atas haknya untuk dapat mengakses fasilitas umum. Dalam hal ini, transportasi publik pun seyogyanya mengakomodasi kebutuhan para penyandang cacat. Pembangunan jaringan transportasi Trans Jakarta dinilai sudah mulai memperhatikan asas aksesibilitas.
Dimulai dari infrastruktur jembatan yang menghubungkan jalanan umum dengan halte bus Trans Jakarta. Beberapa jembatan sudah ada yang dibuat landai yang membantu mobilitas para pengguna kursi roda. Mereka dengan mandiri mampu menuju ke halte pemberangkatan bus Trans Jakarta. Selanjutnya, di bagian dalam bus, lantai kendaraan dibuat rata. Tidak seperti lantai bus pada umumnya yang bertingkat-tingkat. Tata letak kursi pun dibuat memanjang di sisi bus. Penataan ini membuat ada ruang cukup untuk pengguna kursi roda bermobilisasi di dalam bus. Untuk tempat duduk, pengguna kursi roda ini pun disediakan tempat khusus. Ada bagian kursi di salah satu sisi bus yang dapat diangkat, sehingga dapat ditempati oleh kursi roda, dan tidak menganggupenumpang lain yang lalu-lalang.
Sedangkan untuk penyandang cacat lain seperti tunanetra, fasilitas yang disediakan sudah cukup baik. Pembatas yang ada di pinggir jembatan, dapat dijadikan sebagai pegangan arah bagi tunanetra. Selain itu, ketika ingin memasuki bus, ada petugas penjaga pintu yang selalu siap membantu penumpang tunanetra ketika ingin masuk.
Sebagai awal, hal ini sudah cukup menggembirakan. Sikap akomodatif terhadap para penyandang cacat mulai diterapkan. Namun, masih banyak hal-hal yang perlu diperbaiki dalam rangka menjamin aksesibilitas, kenyamanan, dan keselamatan bagi penyandang cacat.
Hal terpenting bagi mobilitas pengguna kursi roda adalah jembatan menuju halte bus Trans Jakarta yang landai. Di beberapa tempat, jembatan ini masih agak curam, sehingga terkadang membahayakan bagi pengguna kursi roda yang sedang mobilisasi seorang diri. Bahkan di beberapa jembatan masih berupa anak-anak tangga, yang sudah barang tentu tidak dapat diakses oleh pengguna kursi roda.
Selain itu, fakta bahwa jumlah penumpang yang membludak pada rush hours, turut membuat bus Trans Jakarta tidak terlalu nyaman bagi penyandang cacat. Khususnya bagi pengguna kursi roda, mereka memerlukan ruang gerak yang cukup agar tidak terdesak di dalam bus. Begitu pula ketika ingin masuk dan keluar bus, akan amat sulit bagi mereka jika bus yang ditumpanginya penuh sesak, sehingga tak ada ruang untuk mobilisasi.
Hak atas kenyamanan, keselamatan, dan aksesibilitas bagi penyandang cacat ketika menggunakan transportasi umum, harus dilakukan secara selaras baik oleh masyarakat dan pemerintah. Masyarakat umum perlu lebih peka akan keberadaan penumpang penyandang cacat di sarana transportasi publik. Jika menemui penumpang seperti mereka ini, berikan hak mereka untuk tempat yang telah disediakan di dalam bus. Bukannya seolah-olah tidak tahu, atau tidak mau tahu.
Sosialisasi seperti ini sebaiknya lebih digalakan lagi melalui media-media massa yang ada. Masyarakat perlu mendapatkan pengetahuan tentang hal seperti ini. Ada kalanya sikap tidak mau tahu masyarakat itu disebabkan oleh perasaan takut karena memang tidak tahu caranya untuk menolong. Cukup diberikan pengarahan bahwa tidak perlu repot-repot menolong yang terlalu banyak, cukup berikan ruang bagi mereka ini untuk dapat bermobilisasi secara mandiri.
Selain itu, armada yang tidak proposional dengan jumlah penggunanya juga menyebabkan ketidaknyamanan bagi para penumpang. Penumpang yang berdesak-desakan, akan membuat penumpang penyandang cacat kesulitan untuk berada di dalam bus. Selain itu, kebiasaan buruk warga Jakarta untuk saling berebut ketika bus datang, menjadi faktor lain yang menyulitkan mereka.
Hal ini seyogyanya tidak akan terjadi jika pemerintah mau lebih berinvestasi dalam pengadaan bus trans Jakarta. Penambahan jumlah armada bus diyakini akan dapat mengatasi masalah ketidaknyamanan penumpang. Dengan frekuensi kedatangan bus yang lebih cepat, tak akan ada lagi yang harus berebutan untuk masuk ke dalam bus.
Selain itu, perawatan terhadap infrastruktur yang ada juga harus dilakukan. Jangan sampai ada landasan jembatan yang rusak, sehingga dapat membahayakan mereka. Sama halnya dengan pembatas pinggir jembatan, perlu dijaga sbaik mungkin, sebab benda itu menjadi petunjuk arah bagi para tunanetra.
Sebagai kesimpulan, penulis cukup bersyukur dengan adanya sarana bus Trans Jakarta yang telah cukup mengakomodasi kebutuhan penyandang cacat. Meski masih banyak aspek yang perlu diperbaiki untuk menjamin aksesibilitas, kenyamanan, dan keselamatan penyandang cacat, sarana ini sudah memberikan harapan untuk semakin ramahnya transportasi umum bagi mereka. Semoga apa yang sudah ada ini terus diperbaiki demi mewujudkan masyarakat Indonesia yang inklusif.(DPM)