Anak dan Naluri Bermain

 

 

Sepagian ini saya melakukan aktifitas di depan laptop sampai berjam-jam lamanya. Oleh sebab itu, saya memilih melakukan sholat Jumat di tempat yang agak jauh dari rumah. Selain untuk refreshing, sholat di tempat yang jauh konon katanya dapat menambah pahala. Pukul 11.15 saya mengeluarkan motor. Saya memilih masjid di dekat taman bambu runcing Muntilan. Masjid ini sangat eksotis karena mimbar masjidnya dihiasi pahatan batu yang memesona. Memang, di daerah tersebut terkenal dengan para seniman patung pahat yang sangat mendunia.

Baca:  Tape Singkong, Makanan Sederhana Yang Kian Populer

Saya lantas masuk dan menempati shaf kedua, disusul oleh dua anak kecil yang memakai sarung. Saya sempat melirik, mereka membawa beberapa buletin masjid dan langsung duduk di dekat saya. Mulanya saya kagum, anak sekecil itu sudah pintar membaca, apalagi yang dibaca adalah buletin Islam. Namun…olala,,,ternyata saya salah. Beberapa saat kemudian mereka mulai merobek buletin jumat itu, melipat-lipat dan membuatnya menjadi pesawat terbang. Bahkan ada salah satu dari mereka yang menerbangkan pesawat kertas itu di dalam masjid. Waktu itu saya hanya tersenyum.

Teori pendidikan Islam menyertakan bahwa permainan adalah salah satu komponen pokok dalam proses pendidikan anak. Anak-anak pada zaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan berbagai aktivitas melalui permainan. Para pendahulu juga menekankan pentingnya permainan untuk membangun kesehatan fisik dan perkembangan kemampuan otak anak. Imam Ghazali berkata, “Setelah seorang anak menyelesaikan hafalan Al Qur’an, hendaknya ia diberi kesempatan untuk melakukan permainan yang baik. Seandainya anak dilarang bermain dan membebaninya untuk selalu belajar, maka hal tersebut akan mematikan hati, menghancurkan kecerdasan dan mempersulit langkah kehidupannya. Sehingga si anak akan berusaha untuk mencari akal dan menciptakan tipu daya agar dapat keluar dari semua penderitaan tersebut.” Maka, permainan dinilai sebagai jalan keluar bagi anak dan memenuhi segala kebutuhannnya.

Terapi bermain adalah siasat atau rencana yang cermat mengenai proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya, dan atau proses penciptaan sistem lingkungan yang merupakan upaya yang diciptakan dan dirancang untuk mendorong, menggiatkan, mendukung, dan memungkinkan terjadinya anak belajar secara menyenangkan sehingga dapat mengoptimalkan potensi yang ada. Sebagaimana dicontohkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dari Jabir ra berkata, “Pernah kami bersama Rasullullah, kemudian kami diundang makan bersama. Tiba-tiba kami melihat Hasan bermain di jalan bersama anak-anak kecil lain. Melihat itu Nabi di depan sahabatnya membentangkan tangannya, lalu Beliau kesana-kemari sehingga Husain tertawa. Rasul kemudian membawanya, meletakkan salah satu tangannya di dagunya dan yang lain diletakkan di antara kepala dan kedua telinganya.” (HR. Bhukari dan Tirmidzi serta Hakim).

Baca:  RESEP Pembaca: Mie Kuah Pedas

Dunia anak memang dunia bermain. Pernah suatu hari saya berjalan-jalan di sekitar rumah dan menemui beberapa anak yang bermain tanah dicampur air. Mereka terlihat fokus sampai akhirnya terhenti karena teriakan ibunya. Pernah juga saya melihat seorang balita yang ingin bermain hujan, namun dilarang oleh orang di rumahnya. Bermain adalah dunia kerja anak dan menjadi hak setiap anak untuk bermain, tanpa dibatasi usia. Melalui bermain, anak dapat memetik berbagai manfaat bagi perkembangan aspek fisik, kecerdasan dan sosial emosional. Ketiga aspek ini saling menunjang dan tidak dapat dipisahkan. Bila salah satu aspek tidak diberikan kesempatan untuk berkembang, akan terjadi ketimpangan. Bermain adalah aktivitas yang menyenangkan dan merupakan kebutuhan bagi setiap anak.

Kita mungkin bisa bertanya pada diri sendiri. Jika ada anak yang bermain tanah dan air dikatakan anak nakal, maka seluruh anak di dunia merupakan anak nakal. Kita juga sering lupa jika kita pernah jadi anak-anak. Lalu, mengapa membatasi mereka?

 

Bagikan artikel ini
dwitya sobat ady dharma
dwitya sobat ady dharma

alumni Pascasarjana UNY jurusan Pendidikan Luar BIasa UNY. Sekarang bekerja di Center for Studies on Inclusive Education.

Articles: 12

9 Comments

  1. ngomong2 soal main hujan. anak2 yang biasanya dilarang oleh ibunya main hujan, malah jadi gampang sakit. Mereka yang hobi main hujan, malah sehat2 aja nampaknya.

  2. Iya betul,
    Kita membatasi mereka karena ambisi,
    maksain untuk melakukan sesuatu yang bukan pada masa perkembangannya,
    Contoh konktritnya adalah les yang numpuk setiap hari setelah sekolah, udah gitu anak harus menyelesaikan tugas sekolah yang saat ini saya pantau secara kurikulum sungguh GILA! luar biasa buanyak bila dibandingkan zaman saya kecil dulu….
    entahlah, mau sampai kapan ya kita dalam kondisi seperti ini?

Leave a Reply