Angkie: Life Only Once, Make it Worth!

Angkie YudistiaJakarta, Kartunet.com – Menjadi penyandang disabilitas bukanlah sebuah pilihan, melainkan jalan hidup yang telah ditetapkan Tuhan. Tak perlu menyesali seperti apa kondisi kita dan meratapi keterbatasan. Kita hanya perlu menghargai kelebihan yang kita miliki, dan melanjutkan hidup dengan penuh rasa syukur. Dengan tetap tegar menjalani hidup, meraih prestasi di usia muda bukanlah hal mustahil, termasuk bagi perempuan penyandang disabilitas.

Angkie Yudistia, menjadi penyandang tunarungu sejak usia 10 tahun. Perlahan daya pendengarannya menurun tanpa ia ketahui pasti apa penyebabnya. “Mungkin dari pengaruh antibiotik yang saya minum waktu sakit,” katanya. Bingung, panik dan sedih, mungkin itulah kata yang bisa mewakili perasaan Angkie dan keluarganya saat itu.

Hidup baru sebagai tunarungu menjadi tantangan tersendiri bagi Angkie kecil. Meski tunarungu, ia tetap belajar di sekolah regular, bersama anak-anak nondisabilitas. Karena itu,  ledekan dari teman sekolah akibat kondisinya  merupakan sesuatu yang biasa ia terima.  Kesulitan lain yang kerap ia rasakan adalah dalam komunikasi dua arah, yaitu ketika harus berkomunikasi dengan guru dan teman-temannya.

“Saya memberitahu masalah saya terlebih dahulu, sehingga mereka sudah dari awal memakluminya,” jelas Angkie ketika ditanya bagaimana ia menghadapi situasi tersebut. Ia mencoba menyikapi ledekan teman-temannya dengan santai. Meski hatinya sedih karena memiliki keterbatasan, ia tetap tak ingin terlihat rapuh. Angkie tidak ingin dibedakan, karena itu ia berusaha membuat guru dan teman-temannya mengerti dengan kondisinya. Bungsu dari dua bersaudara itu berusaha menunjukkan bahwa ia mampu beradaptasi, tidak bersikap egois, dan tetap berbaur dengan lingkungan.

Dalam mengikuti pelajaran pun Angkie berjuang lebih keras. Ia belajar dua kali lipat setiap hari. Pagi hari bersekolah, dan sore hari mengikuti bimbingan belajar. Semua itu ia lakukan agar dapat menyeimbangkan diri dengan teman-temannya yang nondisabilitas. Selain itu, Angkie merasa beruntung memiliki teman-teman yang setia dan selalu membantunya saat mengalami kesulitan dalam belajar di sekolah.

“Life only once, make it wort.”  Itulah sebuah kalimat yang membuat gadis tunarungu itu bangkit dari keterpurukan. Angkie tidak pernah menyerah dalam menghadapi hidup. Lihat saja, meski seorang tunarungu yang cenderung memiliki hambatan komunikasi, toh ia mampu menyelesaikan studinya hingga jenjang S2,  pada jurusan Marketing Komunikasi di The London School of Public Relations Jakarta.

Beruntung Angkie memiliki orang tua yang sangat mendukungnya dalam meraih pendidikan. “Bagi orang tua saya, pendidikan itu tidak terbatas. Maka, mereka ingin saya bisa menyelesaikan studi setinggi mungkin dan semampu saya.” Tuturnya. Kedua orang tuanya juga tidak pernah membedakan dia, meskipun Angkie adalah satu-satunya penyandang disabilitas dalam keluarga.

Percaya diri. Mungkin itulah kunci sukses gadis cantik satu ini dalam meraih segudang prestasi di usia belia. Angkie percaya dengan sebuah kutipan berbunyi, “Kita akan pintar dengan membaca buku, tapi kita akan menjadi bijak dengan pengalaman”. Berbekal kalimat tersebut, ia berkeinginan menambah pengalaman dengan terjun mengikuti sejumlah kompetisi, seperti pemilihan Abang-None Jakarta tahun 2008, terpilih menjadi The Most Fearless Female 2008 pada majalah Cosmopolitan, lalu terpilih menjadi Miss Congeniality dari Natur-e.

Sebuah pengalaman menarik  Angkie rasakan ketika mengikuti Ajang Abang-None 2008. Ia sempat tidak bisa menjawab sebuah pertanyaan dari panitia. Bukan karena tidak tahu, tapi karena ia tidak mendengar pertanyaan tersebut. Walaupun begitu,  selama dua minggu masa penjurian, karantina, sampai malam final, semua berjalan dengan baik karena ia berhasil beradaptasi. Sejak awal, Angkie memberitahukan pada panitia dan peserta lainnya bahwa dirinya adalah seorang tunarungu. “Saya jujur mengenai diri saya sendiri kepada orang lain.” Katanya.

Perjalanan hidup Angkie terus berlanjut. Tahun 2008, ia mulai mencicipi dunia perkantoran. Apa yang harus dilakukan, bagaimana  menerima pesan dari atasan, atau bagaimana beradaptasi dengan lingkungan, menjadi kendala tersendiri di masa awal kerjanya. Angkie mengakui, tidak mudah menjalani pekerjaan dengan sebuah keterbatasan. “Untuk awalnya pasti ditolak banyak perusahaan, lalu jika sudah diterima, belum tentu lingkungannya bisa aksesible. Tapi lambat laun saya terbiasa, dan menjadi challenge, itu yang membuat saya jatuh hati dengan dunia perkantoran.”

Beberapa perusahaan pun sempat menolak Angkie. Alasannya, sebagai tunarungu, ia tidak akan bisa menerima telepon. Tapi semua itu tak lantas menjadi beban baginya. “Biarlah mereka sendiri melihat saya seperti ini sekarang, bahwa keterbatasan bukan menjadi hambatan untuk saya bekerja dengan passion”.

Tahun 2011, Angkie berhenti bekerja, kemudian di tahun yang sama ia mendirikan sebuah lembaga bernama Thisable Enterprise. Bersama seorang dosen dan seorang temannya, Angkie mengelola lembaga tersebut. Secara legal, Thisable Enterprise berbentuk yayasan sebagai Social Enterprise yang ingin mencetak bakat-bakat disabilitas untuk menjadi wirausahawan. Thisable Enterprise juga berpartner dengan sebuah perusahaan untuk program CSR (corporate social responsibility) dengan isu disabilitas. Dengan kata lain, Thisable Enterprise merupakan bisnis sosial yang dapat memberikan keuntungan financial bagi kaum disabilitas.

Seakan tidak pernah lelah mengukir prestasi, di akhir tahun 2011 Angkie meluncurkan buku perdananya yang berjudul, Perempuan Tunarungu Menembus Batas. Buku yang ia selesaikan selama dua tahun tersebut berisi pengalaman Angkie menjalani hidup sebagai perempuan tunarungu. Lewat buku tersebut, Angkie ingin berbagi tentang bagaimana tunarungu menghadapi berbagai macam konflik kehidupan. Selain itu, ia ingin menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai dunia disabilitas. Ia ingin menyampaikan pada masyarakat nondisabilitas, bahwa kita semua sama. Tidak ada yang berbeda, karena setiap manusia memiliki jalan untuk menggapai mimpi.

Belum selesai sampai di situ.  Sepak terjang Angkie pun telah mencapai dunia internasional. Hingga saat ini, ia telah beberapa kali berkunjung ke luar negeri untuk mengikuti workshop dan training mengenai disabilitas. Ia pernah diundang oleh salah satu organisasi internasional ke Paris untuk brainstorming bersama mengenai permaslahan disabilitas di asia, dan ke Bangkok untuk brainstorming mengenai permaslahan di indonesia. “Saya cukup bangga dengan networking yang saya miliki, karena mereka yang memacu saya untuk dapat lebih berkarya sebagai tim”.

Kesuksesan yang ia raih, tak lantas membuatnya egois, namun justru semakin gemar berbagi. Sekarang Angkie sedang menyiapkan beberapa program yang ditujukan untuk kaum disabilitas. Sementara ini, Angkie membuka konsultasi gratis melalui me@angkie.yudistia.com. Ia mencoba membantu mereka yang memiliki keterbatasan agar bisa menjadi sebuah kelebihan yang membanggakan nusa dan bangsa. Menurut Angkie, mengubah keterbatasan menjadi kelebihan adalah sebuah proses. “Ketika saya sudah sampai ke titik yang saya maksud, giliran saya untuk berbagi dan membantu teman-teman.”.

Luar Biasa. Rasanya tidak ada kata lain yang dapat menggambarkan sosok seorang Angkie Yudistia. Usianya baru akan menginjak 25 tahun pada 5 Juni mendatang, namun setumpuk pengalaman telah dimilikinya, segudang prestasi pun telah terukir. Bagi Angkie, setiap orang harus berani mengambil keputusan untuk sukses. Hanya ingin menerima nasib, atau ingin menembus batas, semuanya tergantung pada diri sendiri. “Setidaknya spread the love, ignite the hope. Bantu diri sendiri dulu, lalu setelah itu membantu yang membutuhkan,” ujarnya. (RR)
Editor: Herisma Yanti

Last Updated on 7 tahun by Redaksi

Oleh Ramadhani Ray

Literature lover, disability issues campaigner, Interest to learn something new through reading, training, and traveling.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *