Di Tengah Kisah

Di dalam kamarku yang lega dan nyaman, aku merenungi segala perbuatanku yang akan berakibat fatal jika terjadi sungguhan. Aku terus memandangi foto Findia yang bertahta di desktop komputerku sambil menunggu apakah ada e-mail atau pesan lain yang datang dari Findia. Jam di komputerku menunjukan pukul 11:00 pm yang pada saat itu mataku sudah sangat mengantuk dan akhirnya dengan sedikit putus asa ku non aktifkan komputer itu. Entah beberapa lama, aku seperti berada di suatu tempat yang sangat romantis bersama Rindia. Kami di sana memadu kasihdan saling bercanda seperti layaknya sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara. Tiba-tiba aku melihat Findia datang kepada kami sambil membawa koper-koper yang sepertinya ia baru saja tiba di Indonesia lagi. Tanpa ada kata-kata, Findia mengeluarkan pisau dari dalam sakunya dan menusukkannya ke perutnya sampai ia meninggal kehabisan darah. Aku dan Rindia hanya tertawa melihat kejadian itu dan kami melanjutkan pacaran kami kembali. Dentang lima kali jam dinding membuyarkan bayangan itu dari benakku. Aku terbangun dan coba mengingat-ingat mimpiku tadi. Ada rasa lucu dan cemas yang kurasakan. Memang sih, itu mimpi rada konyol dan aneh. Tapi aku juga cemas jika apakah ini pertanda bahwa hubungan aku dengan Findia akan berakhir?. Ah, tapi sampai sekarang aku adalah manusia yang paling tidak percaya dengan mimpi.

Di kampus, aku menyemangati diriku tuk melupakan mimpi yang menurutku konyol tadi malam. Di kelas, aku melihat ke teman sebelah mejaku yang sedang memegang-megang buku novel Romeo & Juliet. Aku berkata dalam hati, “Oh begitu rupanya, jadi aku memimpikan peristiwa dalam buku itu yang aku tahu salah satu dari mereka ada yang bunuh diri, dan nantinya bunuh diri semua. Tapi kalau aku semalam, setelah yang satunya bunuh diri, yang lainnya malah ngetawain. Ah lupakanlah mimpi konyol itu!”.

Setelah memberi kami tugas kelompok, dosen mempersilakan kami untuk meninggalkan kelas. Seperti biasanya, Aku pulang paling terakhir karena banyak buku-buku yang harus kubereskan ke dalam tasku. Saat aku keluar kelas menuruni anak-anak tangga yang pada saat itu kudapati suasananya sudah sepi, ku lihat Rindia berdiri di ujung tangga menunggu seseorang yang kukira itu aku. Ia di situ berdiri sambil memegangi seperti sebuah amplop dan dengan wajah yang lebih pucat dari semalam. Aku berkata, “hai Rin, ada apa, kamu ingin bertemu saya?” kataku setelah sampai di anak tangga terakhir. “Aku ingin kamu membaca surat ini” kata Rindia gemetar sambil menyerahkan surat itu ke tanganku. Aku menerima surat itu dan berkata, “kamu tidak apa-apa rin, muka kamu lebih pucat dari yang semalam?” “Tidak….”. Sebelum sempat berkata apa-apa lagi, Rindia tiba-tiba jatuh terpuruk di hadapanku dalam keadaan tak sadarkan diri. Aku memasukan surat yang belum sempat ku buka itu ke sakuku, dan segera berlutut untuk menolong Rindia terbaring di lantai. Aku berkata lirih, “Ah ini sudah tidak bisa ditolelir lagi, aku harus membawamu ke dokter”. Lalu terdengar suara di dekatku, “Wah, kalau pacaran jangan di lantai gitu dong!”, ternyata itu adalah si Zakaria satpam kampus yang sudah akrab denganku. “Hei jack, bantuin don. Dia pingsan nih!”, “makanya nyiumnya jangan keterlaluan dong, sampai pingsan gitu!” kata Zakaria sambil tertawa. “Eh enak saja, udah bantuin aja dulu deh mbawa nih cewe ke mobil!” kataku yang agak sedikit kesal.

***
Di rumah sakit, aku menunggui Rindia yang sedang di infus karena kekurangan cairan tubuh. Saat aku sudah mulai agak terkantuk karena malam yang sudah agak larut, tiba-tiba dokter datang ke kamar itu dan berkata padaku. “Anda siapanya dari saudari Rindia?” kata dokter itu berwibawa yang menghilangkan rasa kantukku. Aku langsung menjawab cepat, “Saya kakaknya dok!” “Oh kalau begitu, silakan ikut ke ruangan saya”. Aku tiba di ruangan dokter itu. Di sana aku melihat ruangannya yang penuh dengan peralatan kedokteran dan suasana bau obat-obatan yang sangat aku benci. “Ada apa dok, apakah masalah biaya?” kataku mendahului. “Oh tidak, sama sekali tidak. Ini tentang keadaan dari adik anda”. “Memangnya mengapa dengan dia dok?”, “Menurut diagnosa saya, adik anda menderita penyakit yang sangat parah. Adik anda menderita kanker otak”, dokter itu berkata dengan sangat lirih. Aku merasa sangat terkejut dan prihatin sekali dengan nasib Rindia. Ternyata selama ini dia merasa pusing-pusing adalah karena kanker otak yang dideritanya. “Lalu apa yang harus saya lakukan dok?” kataku dengan sedikit panik. “Tidak ada, karena bila dioperasipun resikonya sangat tinggi dan kemungkinan sembuhnya hampir tidak ada. Sehingga kita hanya dapat berdo’a mengharapkan mukjizat dari Tuhan dan buatlah hari-hari terakhir dari hidupnya sebahagia mungkin.” Saran dokter itu.

Saat aku sudah tiba lagi di ruangan tempat Rindia terbaring lemas, aku memandangi wajah pucat Rindia yang merasa kesepian di kota ini. Aku jadi merasa iba dan kasihan pada rindi setelah kejadian ini, apalagi setelah mengetahui bahwa umurnya tidak lama lagi. Sekarang hanyalah aku di sini yang harus bertanggung jawab dan menemani Rindia sampai akhir umurnya. Saat aku meraba saku pakaianku, aku merasa seperti ada sesuatu di sana. Aku baru teringat bahwa Rindia memberikanku surat sebelum ia pingsan sore tadi. Ku ambil surat itu dari sakuku, dan ku buka amplopnya. Terlihat di isi surat itu, tertatakan tulisan tangan Rindia yang rapi dan bersih sampai mengalahkan rapinya ketikan mesin tik.

*
Dear Pras,

Aku menulis surat ini sesaat setelah kamu pergi dari kost ku malam itu. Dalam kesepian itu, aku semakin merasakan bahwa aku membutuhkanmu, membutuhkan kebaikanmu, membutuhkan kasih sayangmu, dan membutuhkan cintamu.

Sejak pertama kali kita bertemu, aku sudah merasakan cinta itu dengan kebaikan hatimu yang mau untuk menolongku. Oleh karena itu, terimalah cintaku ini, aku ingin menjadi kekasihmu. Walaupun aku tahu kau sudah punya kekasih yang sekarang jauh di sana, tapi aku akan memberimu cinta yang lebih besar dan tulus darinya. Percayalah itu dan kita akan bahagia selamanya.

Rindia.
*

Aku membaca surat itu beberapa kali untuk memastikan apakah benar apa yang telah aku baca barusan. Inilah hal yang aku takutkan, bahwa Rindia akan benar-benar cinta padaku dan menginginkan untuk jadi kekasihnya. Ini tidak bisa aku lakukan, karena aku tidak mencintainya tetapi hanya kasihan padanya. Selain itu aku tidak bisa menghianati wanita yang sampai sekarang masih kucintai. Di samping itu, aku tidak bisa membiarkan sisa-sisa hari dalam hidupnya menjadi hancur jika cintanya tidak aku terima. Karena aku merasa bertanggung jawab atas kebahagian di hari-hari akhir hidupnya. Lalu, apa yang harus aku lakukan?. Ya Tuhan, tolong berikan aku petunjuk.

Last Updated on 13 tahun by Dimas Prasetyo Muharam

Oleh Dimas Prasetyo Muharam

Pemimpin redaksi Kartunet.com. Pria kelahiran Jakarta 30 tahun yang lalu ini hobi menulis dan betah berlama-lama di depan komputer. Lulus dari jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia 2012, dan pernah merasakan kuliah singkat 3 bulan di Flinders University, Australia pada musim semi 2013. Mengalami disabilitas penglihatan sejak usia 12 tahun, tapi tak merasa jadi tunanetra selama masih ada free wifi dan promo ojek online. Saat ini juga berstatus PNS Peneliti di Puspendik Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Kunjungi blog pribadinya di www.dimasmuharam.com.

7 komentar

    1. wah kok bisa nyasar ke cerpen ini ya? haha. terima kasih ya sudah membaca. hati2 di perjalanan.

  1. isi tulisannya dalem banget tapi jangan terlalu baper bro dengan wanita, takutnya terlalu baper malah menjadi sebuah kekecewaan *pengalaman*

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *