Dua Tetes Embun

Ketika petang masih datang membayang dan dingin malam masih menyelimuti insan-insan yang berselimut mimpi, ketika itu aku telah terbangun dari tidurku. Jam dinding usang yang menghiasi tembok kamarku menunjukkan pukul dua pagi. Kulangkahkan kaki menuju ruang kamar tepat di samping kamar tidurku, yaitu tempat di mana dua malaikat kecil kesayanganku terlelap dalam tidurnya.

 

Kubelai rambut kedua adik kesayanganku dan kukecup keningnya satu per satu. Tergambar jelas senyum di bibirnya seolah pertanda bahwa mereka sedang bermimpi indah. Kuselipkan doa untuk mereka sebelum aku beranjak keluar dari kamarnya.

 

“Sayangilah kedua adikku ini, Ya Rabb,” ucapku sambil menutup pintu kamarnya perlahan.

 

Rasa penat di hati dan pikiran hilang dengan sendirinya, ketika aku selesai mengambil wudhu untuk menjumpai Tuhan-ku. Setiap malam, setiap hari, di setiap doa dalam shalat malamku, tak pernah tergambar dalam benakku untuk memikirkan selain wajah Ibu dan kedua adik kembarku, Zara dan Zira. Aku memohon pada Sang Maha Memiliki Cinta, untuk selalu melimpahkan kasih dan sayang-Nya kepada tiga wanita yang sangat kusayang dalam hidup ini.

 

“Duhai Rabb-ku Yang Maha Menghendaki, mohon perkenankan hamba-Mu yang kecil ini untuk Engkau hendaki kesehatan, keikhlasan dan kekuatan untuk dapat menjaga Ibu dan kedua adikku sampai kapanpun. Jika Engkau perkenankan hamba untuk meminta Duhai Yang Maha Berkehendak, mohon Engkau berkenan untuk memberi setitik keajaiban pada keluarga ini, memberikan setetes cahaya-Mu untuk Zara agar dia dapat melihat betapa indah dunia karya-Mu ini dengan kedua matanya, dan memberikan hembusan kasih sayang-Mu pada Zira agar dia dapat berbicara seperti layaknya ciptaan-Mu lainnya yang Engkau beri kesempurnaan.”

 

Rupanya aku tertidur dalam balutan air mata yang mengering di atas sajadahku setelah bermunajat pada-Nya. Ibu yang bangun hendak shalat malam juga, membelai rambutku perlahan. Suaranya yang penuh kasih membangunkan lelapku.

 

“Tidurlah di kamarmu, Mas.”

 

 “Iya Bu,” kataku sambil mengecup punggung tangan Ibu sebelum berjalan menuju kamar tidurku. Rupanya jam masih menunjukkan pukul empat kurang limabelas menit. Adzan subuh belum juga berkumandang.

 

***

 

“Mas Zahid.., Mas! Sepatuku mana, Mas?” Zara kebingungan mencari sepatunya yang tidak ada di tempat biasa. Rupanya Ibu baru mencucinya kemarin sore dan lupa untuk meletakkannya tidak di tempat biasa. Aku yang melihat Zara meraba-raba seisi ruang tamu dengan tangan dan kakinya bergegas mengambil sepatunya dan berniat memakaikan di kakinya.

 

“Eh, eh, Mas mau apa?” tanya Zara menepis tanganku yang hendak memakaikan sepatu di kakinya.

 

“Memakaikan sepatumu, Dik,” jawabku heran.

 

“Aaah.., aku kan bisa memakainya sendiri, Mas. Kan sudah kelas dua SD. Hahaha,” Zara meraba sepatunya yang ada di tanganku dan segera merebutnya kemudian memakaikan di kakinya dengan sendirinya. Aku masih terdiam di depannya.

 

Melihat adikku memakai sepatu sendiri walau dia tidak bisa melihat menggunakan kedua bola matanya. Sebelum airmata yang menggantung di pelupuk mataku jatuh, segera kualihkan pandanganku dari Zara yang sedang sIbuk memakai sepatu tanpa mau dibantu. Sementara itu, kulihat Zira, saudara kembar Zara sedang serius memasukkan buku tulisnya ke dalam tas ransel miliknya. Dia juga menyiapkan buku tulis Zara, karena dia tahu Zara tidak bisa melihat sepertinya.

Baca:  setangkai cinta untuk anya

 

***

 

 “Woii! Ngelamun saja kamu, Hid!” sapa Aisyah, teman satu kelasku yang kebetulan duduk di depanku. Aku sampai tidak menyadari bahwa Aisyah sedang mengambil buku catatanku dan tersenyum melihat sebuah foto yang terselip di dalamnya.

 

“Ini adikmu, Hid?”

 

 “Hah? Oh, iya, Syah. Adikku. Si kembar,” jawabku singkat.

 

“Cantik Hid. Persis seperti Ibumu,” kata Aisyah. Aku hanya membalasnya dengan senyuman.

 

Ada rasa syukur yang terbersit setiap ada teman yang berkomentar bahwa adikku yang kembar itu cantik, seperti Ibu. Syukurlah, batinku. Baguslah kedua adikku mirip dengan Ibu, bukan mirip laki-laki yang sangat kubenci, yang dulu sempat kupanggil Ayah itu.

 

Lelaki tidak tahu diri itu benar-benar membuatku termotivasi untuk benar-benar berjuang dan belajar sungguh-sungguh, berprestasi di dalam dan di luar sekolah, agar dapat berhasil dan sukses di kemudian hari, lalu mendapat pekerjaan dengan bayaran tinggi, kutabung semua itu dan jika sudah terkumpul banyak, akan kubuat uang itu untuk mengobati Zara dan Zira. Aku memang akan berusaha keras, walau aku juga tahu bahwa ketentuan Allah-lah yang berlaku.

 

Aku Menyibukkann diri dengan shalat malam, mengantarkan Zara dan Zira ke sekolah sebelum aku berangkat ke sekolah, mengikuti ekstrakurikuler Taekwondo dan Kerohanian Islam, mengerjakan tugas sekolah sesampai di rumah, dan terus mengembangkan bakatku dalam menulis. Syukur aku sudah bisa menerbitkan beberapa novel dan kumpulan cerpen. Lumayan, hasilnya bisa kutabung dan terkadang kugunakan untuk membelikan es krim dan mainan untuk adik-adikku. Semua kesibukan itu kulakukan, agar aku tak selalu teringat dan merasa dendam serta benci sekali pada lelaki itu.

 

Aku akan selalu menjaga dan menyayangi Ibu dan kedua adikku. Aku akan membuat mereka bahagia dan terlupa dengan masa lalu yang menyakitkan hati, terutama Ibu. Dulu, lelaki yang sempat kupanggil Ayah itu begitu cinta pada Ibu. Dia selalu membuat Ibu bahagia. Dia juga selalu membelikanku banyak mainan baru sewaktu aku kecil. Namun, Allah sedang mengujinya. Menaikkan jabatannya menjadi Direktur Utama di tempatnya bekerja. Kami sekeluarga bahagia, awalnya. Ketika itu Ibu sedang mengandung Zara-Zira, umurnya masih satu minggu.

 

Beberapa hari sejak lelaki itu diangkat menjadi Dirut di tempatnya bekerja, dia selalu pulang malam, bahkan sering tidak pulang ke rumah. Ketika ditanya, alasannya sibuk di kantor. Lama kelamaan, lelaki itu juga semakin sering berkata kasar dan membentak Ibu. Bahkan sering menampar Ibu. Aku yang saat itu masih anak-anak, hanya ketakutan dan sedih melihat Ibu selalu disalahkan, dimarahi dan dipukul.

 

Semuanya menjadi sangat jelas dan diluar dugaan ketika umur kandungan Ibu menginjak tiga bulan. Seorang laki-laki yang kebetulan teman satu kantor suami Ibu menelepon dan mengatakan bahwa dia melihat suami Ibu sedang masuk ke kamar hotel bersama seorang perempuan yang digandeng mesra. Ibu benar-benar shock mendengarnya. Tetapi Ibu tidak percaya begitu saja pada penelepon itu. Ibu bertanya pada suaminya ketika pulang ke rumah, namun Ibu malah dibentak tidak jelas.

 

Beberapa hari setelahnya, lelaki itu mengatakan pada Ibu bahwa dia akan menceraikan Ibu dengan penjelasan yang sangat jujur bahwa dia akan menikah dengan sekretaris barunya. Ibu kaget dan marah, Ibu terus-terusan menarik lengan baju lelaki itu agar tidak meninggalkannya. Namun lelaki itu justru merasa terganggu dengan rengekan Ibu dan mendorong Ibu ke belakang, hingga kudengar Ibu berteriak kesakitan karena Ibu terjatuh dengan posisi perutnya membentur lantai.

 

“Ibu… Ibu kenapa?” aku kebingungan melihat Ibu mengerang kesakitan. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Sementara lelaki itu hanya berlalu meninggalkan Ibu dan aku.

 

“Ayah… Ibu sakit, Ayah? Ayah…!!!” teriakanku tak dihiraukannya.

 

Aku berlari ke rumah tetangga sebelah dan mengatakan bahwa Ibuku sedang kesakitan. Aku hanya bisa menangis melihat Ibu dibawa Ambulans ke Rumah Sakit. Dan waktu itu, aku diajak tinggal sementara di rumah tetangga sebelah dan tidak masuk sekolah selama dua minggu. Sejak itu, aku mengenal perasaan benci. Sejak itu pula aku tidak akan pernah mau mengenal dan menyebut lelaki itu sebagai Ayahku lagi.

Baca:  Satu dan Seribu

 

“Ibu jangan menangis. Zahid akan menjaga Ibu. Zahid akan selalu menyayangi dan melindungi Ibu, juga adik Zahid. Ada Zahid disini, Ibu. Ibu harus sembuh dan tidak boleh mencari lelaki itu lagi,” kataku sambil membelai rambut Ibu yang terbaring lemah di Rumah Sakit ditemani tetangga sebelah rumahku.

 

***

 

“Ibu kok belum pulang ya, Mas? Sepertinya sudah malam,” tanya Zara ketika aku sedang menemaninya dan Zira mengerjakan tugas sekolahnya. Sementara kulihat Zira juga ikut menganggukan kepalanya mantap.

 

Meski Zara seorang Tuna Netra dan Zira seorang Tuna Wicara, namun Ibu tidak menyekolahkan mereka ke Sekolah Luar Biasa. Ibu tidak merasa kedua anak kembarnya memerlukan kebutuhan khusus. Ibu merasa kedua anak kembarnya itu sama seperti yang lain, hanya saja tidak bisa melihat ataupun berbicara seperti yang lain.

 

Ibu sempat mengalami depresi berat selama beberapa bulan setelah lelaki yang ia cintai mengkhianati dan meninggalkannya. Ketika adikku lahir, salah satu dari mereka tidak menangis dan satunya lagi tidak merespon ketika dokter mengamati pandangannya. Ibu sempat begitu terpukul dengan keadaan kedua adikku yang kembar itu. Mungkin itu ada hubungannya dengan masa lalu. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, keluarga Ibu, Nenek dan Kakekku serta semua saudara kandung Ibu selalu memberi semangat pada Ibu sehingga Ibu perlahan bisa bangkit dari keterpurukannya.

 

“Malam ini, Ibu lembur, Dik. Jadi kita disuruh Ibu tidur dulu, tanpa harus menunggu Ibu pulang,” kataku pada Zara dan Zira. Kulihat mereka mulai lelah. Aku menggendong keduanya ke kamar mereka. Tidak lupa kuajak mereka berdoa terlebih dahulu, kemudian aku bacakan sebuah dongeng anak-anak sambil mengelus-elus rambut mereka yang lembut. Kukecup kening mereka dan kudoakan mereka setelah mereka berhasil memejamkan mata.

 

***

 

“Aku ikut berduka cita yang terdalam atas kepergian adik-adikmu, Hid.”

 

“Ikhlaskan mereka, sobat. Bukankah semua yang lahir, semua yang hidup, pasti akan mati dan kembali kepada Yang Maha Menciptakan kita.”

 

“Kau sudah melakukan semuanya dengan baik, Hid. Kau sudah berhasil menjadi anak yang sholeh, berprestasi dan berbakti pada Ibumu. Kau juga sudah menjadi kakak yang baik bagi kedua malaikat kecilmu itu. Mungkin lebih baik jika kau ikhlaskan mereka dalam penjagaan-Nya.”

 

Satu per satu nasihat dan semangat dari teman-teman dekatku tidak begitu kudengarkan. Aku hanya terlalu bingung. Benar-benar bingung seperti orang linglung. Zara dan Zira adalah malaikat-malaikat kecil yang cantik nan lucu dalam rumah ini, yang selalu membuat hari-hariku menjadi berwarna.

 

Celotehan dan keingintahuan mereka yang begitu besar terhadap hal-hal baru, dan mereka yang selalu membuatku dan Ibu tertawa. Mereka saling menyayangi dan membantu satu sama lain. Zira selalu menggandeng tangan Zara, membantunya berjalan dan memberitahu Zara tentang hal-hal baru. Sementara Zara ibarat memiliki koneksi antara hati dan pikirannya dengan pikiran Zira, Zara selalu mengatakan apa yang tidak bisa disampaikan Zira.

 

Pernah, ketika mereka berdua ulang tahun yang ke-5. Aku membelikan mereka berdua boneka beruang dengan warna dan jenis yang sama. Mereka suka sekali boneka beruang. Aku meletakkannya di depan pintu kamar mereka. Dan ketika mereka hendak masuk ke kamar, Zira melompat kegirangan. Dia begitu bahagia ketika melihat dua boneka beruang lucu di depan pintu kamar mereka.

 

Zara bingung menyadari saudara kembarnya melompat dan berteriak kegirangan. Walau teriakan Zira tidak akan pernah bisa terdengar sampai kapanpun.

 

“Kau sedang apa Zira? Ada apa?”

 

Zira segera mengambil salah satu boneka beruang itu dan menarik tangan Zara agar mendekap boneka itu. Zara pun meraba-raba boneka itu.

 

“Apa ini boneka beruang Zira?” tanya Zara yang dijawab dengan anggukan mantap Zira yang walau tidak dapat terlihat oleh Zara, namun Zara bisa merasakan kegembiraan dan jawaban dari saudaranya itu.

 

Mereka berdua tak pernah mau menyusahkan siapapun kecuali aku dan Ibu. Jika ada teman, guru atau tetangga yang ingin membantunya, mereka selalu menolaknya dengan sopan. Dan selalu Zara yang mewakili setiap ada yang menawarkan bantuan.

Baca:  Saputangan Putih

 

“Tidak apa-apa. Terima kasih, Tante Dewi. Kita sudah terbiasa melakukannya berdua.” Begitulah kata Zara saat Tante Dewi tetangga sebelah  rumah menawarkan bantuan.

 

Ibu berhasil mendidik mereka menjadi anak yang mandiri. Ibu juga selalu memperlakukan mereka sama denganku. Tidak ada yang berbeda diantara kami, kata Ibu. Jika saja hari itu Ibu tidak membuatkanku kue ulang tahun, jika saja Zara dan Zira tak ingat hari ulangtahunku dan tak memiliki ide untuk membelikanku hadiah ulang tahun, mungkin mereka masih ada disini, bisa kupeluk.        

 

“Ibu, sedang membuat kue yah?” tanya Zara. Sedangkan Zira mengangguk tanda ikut penasaran.

 

 “Iya sayang. Hari ini, Mas Zahid ulang tahun. Ibu mau membuat kue dan memasak yang spesial untuknya,” jawab Ibu senang.

 

Setelah itu, mereka pergi keluar rumah tanpa berpamitan pada Ibu. Biasanya, mereka selalu berpamitan pada Ibu ketika hendak pergi berdua saja. Rupanya, mereka pergi ke toko di kampung seberang jalan, mereka hendak membelikanku es krim sebagai hadiah ulang tahunku. Namun, mereka terlalu bersemangat ingin memberikanku hadiah sehingga mereka menyeberang jalan raya yang cukup ramai kendaraan itu tidak melihat kanan-kiri.

 

Ibu langsung menelponku ketika aku masih ada di sekolah, memintaku pulang menemuinya. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba perutku sakit sekali. Tidak seperti sakit ketika hendak buang “hajat”. Aku juga sudah makan, jadi tidak mungkin ini sakit maag, pikirku.

 

Saat itu juga aku langsung berlari ke bagian kemahasiswaan untuk meminta izin pulang. Aku kaget bukan main melihat Ibu menangis di depan UGD Rumah Sakit. Ibu juga tidak kalah kagetnya denganku ketika seorang tetangga memberitahunya bahwa Zara dan Zira menjadi korban tabrak lari. Ambulans yang datang terlalu lama, membuat Zara kehilangan banyak darah di kakinya dan darah di kepala Zira mengalir begitu deras. Sampai sekarang, polisi masih berusaha mencari supir truk yang menabrak kedua adikku tadi pagi.

 

Malam itu, adalah malam terakhir sekaligus kecupan terakhir untuk Zara dan Zira sebelum mereka benar-benar meninggalkanku dan Ibu untuk selamanya.

 

“Kalian pergi terlalu cepat, sayang. Mas masih ingin menemani kalian bermain boneka beruang, membacakan dongeng sebelum tidur dan mengantar kalian ke sekolah setiap pagi.”

 

 Aku dan Ibu memang tidak akan pernah tahu apa rencana-Nya hari ini, nanti dan esok hari. Seperti Ibu juga tidak akan pernah terbayang bahwa beliau akan menikah dengan lelaki yang nantinya akan mengkhianati dan meninggalkannya seorang diri. Aku juga tidak pernah terpikirkan akan ditinggal secepat ini oleh dua malaikat kecilku yang sangat kusayangi.

 

 Aku terlelap dalam dekapan malam yang dingin. Aku tak perduli senja telah berlalu. Aku juga tak perduli malam telah datang dan ingin mengusirku untuk beranjak dari tempatku saat ini. Aku juga tak menghiraukan Ibu yang menyuruhku untuk pulang ke rumah.

 

Aku hanya ingin memeluk erat batu nisan kedua malaikat kecilku untuk terakhir kalinya. Aku ingin tidur malam ini bersama mereka. Menjaga mereka dan memastikan mereka benar-benar terpejam seperti biasanya. Hingga dua tetes embun menyentuh jemariku. Embun itu turun dari dedaunan di sebelah nisan Zara dan Zira. Kedua tetes embun itu benar-benar cantik, indah, bening, sebening mata kedua adikku. Secantik mereka saat tertawa bersama. Dua tetes embun itu meresap ke dalam kulitku, dingin, sejuk kurasakan. Sama seperti hadirnya mereka yang selalu menyejukkan hatiku, membuatku ingin cepat kembali ke rumah sepulang sekolah. Aku ingin menghabiskan banyak waktu bersama mereka. Menemani mereka bermain boneka dan mengajari mereka mengerjakan tugas sekolah.

 

Namun sekarang tidak lagi. Malaikat-malaikat kecilku sekarang menjelma menjadi dua tetes embun yang membangunkan keletihanku diatas nisan mereka. Seolah menyuruhku untuk kembali pulang ke rumah dan tersenyum sejuk seperti tetesan mereka yang menyejukkanku pagi ini. Sejak itu, aku selalu berangkat ke sekolah lebih pagi dari biasanya. Ketika Sang Fajar belum menampakkan dirinya. Aku ingin pergi ke sekolah ketika embun masih mengiringi. Meresapi dinginnya dan menghirup sejuknya. Seolah Zara dan Zira selalu ada di hatiku, menyapaku di setiap pagi hari-hariku.

editor: Putri Istiqomah Priyatna

Bagikan artikel ini
Nor Aini Rachmawati
Nor Aini Rachmawati
Articles: 3

Leave a Reply