Jakarta – Permasalahan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri seakan tak pernah berujung. Setelah rentetan kasus lainnya, kini muncul nama Ruyati binti Satubi, TKI asal Bekasi, yang masuk ke dalam daftar. Ruyati menjadi topik publik bukan karena menerima tindak kekerasan, melainkan publik marah karena TKI berusia 54 tahun itu dieksekusi pancung oleh kerajaan Arab Saudi 18 Juni 2011. Publik marah kepada ketidakmampuan pemerintah yang berdalih bahwa pihak Arab Saudi yang tidak memberitahukan pihak Indonesia tentang waktu pelaksanaan eksekusi.
Kasus Ruyati sesungguhnya sudah dimulai pada bulan Mei tahun lalu. Dia mendapat tuduhan pembunuhan kepada ibu majikannya, Khairiya binti Hamid Mijlid, dengan bacokan di bagian kepala dan tikaman pisau di leher. Dikutip dari vivanews.com (20 Juni 2011), pihak KBRI menyetakan bahwa mereka telah melakukan pendampingan pada Ruyati di dua persidangannya bulan Mei 2010. Vonis terhadap Ruyati terbilang cepat karena selama persidangan Ruyati mengakui dengan gamblang perbuatannya. Pemerintah Arab Saudi juga disebut telah melakukan pendekatan kepada pihak keluarga korban agar memberikan maaf. Namun usaha ini gagal dan vonis hukuman mati tidak dapat dielakan.
Di luar masalah “kegagalan” diplomatik negara untuk melindungi warga negaranya, ada perihal yang lebih esensial yang mungkin dilupakan oleh publik. Pertanyaan mengapa sampai seorang Ruyati melakukan pembunuhan sekeji itu tidak pernah dibahas dalam diskusi-diskusi panas di media yang terkesan selalu menyudutkan pemerintah. Publik hanya fokus pada soal kegagalan Presiden dan kementrian terkait untuk melindungi TKI yang kemudian hanya berujung pada moratorium atau pemberhentian sementara TKI ke luar negeri.
Fakta bahwa tindak pembunuhan itu sampai terjadi sebenarnya lebih penting. Almarhumah Ruyati disebut melakukan tindakan pembunuhan itu karena kesal tidak mendapat gaji selama tiga bulan dan selalu dimarahi oleh korban. Mungkin tiap orang punya defence mecanism yang berbeda-beda untuk menghadapi sebuah tekanan, tapi untuk sampai membunuh, tentu ada faktor psikologis yang berperan.
Fakta ini mengindikasikan bagaimana pekerjaan rumah negara masih amat banyak. Bukan hanya pada persoalan perlindungan TKI ketika berada di negara tujuan, melainkan pula proses seleksi yang ketat sebelum seseorang menjadi calon TKI.
Baik TKI atau warga negara lain yang berada di luar negeri tentu menjadi pencitraan dari Indonesia. Apa yang dilakukan oleh sekelompok orang itu akan dapat menjadi sorotan dan stereo tipe bagi mayoritas bangsa Indonesia yang lain. Oleh sebab itu, bukan hanya profesionalisme kerja yang terjamin, pengujian dari segi sikap, psikis, dan intelejensia perlu dilakukan pula untuk mereduksi adanya Ruyati-Ruyati yang lain.
Pidato Presiden yang menginginkan agar ke depan tidak ada lagi TKI yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga sesungguhnya tidak terlalu bijak. Perlu disadari tentang bagaimana posisi Indonesia sekarang yang di dalam negeri tidak mampu memberikan lapangan pekerjaan yang cukup. Mungkin cap sebagai negara pengekspor pekerja rumah tangga memang tidak mengenakan. Namun mengingat fakta di dalam negeri, dan selama pekerjaan itu tidak ilegal, tentu akan lebih baik jika dikelola secara baik dan profesional.
Moratorium dapat dijadikan sebagai momentum perbaikan luar-dalam terhadap pengelolaan TKI. Perketat seleksi untuk pengiriman TKI ke luar negeri. Beri para calon TKI pembekalan skill yang memadai dan etos kerja yang baik. Tentu, pembenahan terhadap sikap dan kemampuan untuk memutuskan sesuatu dengan baik juga diperlukan. Agar ketika mereka mendapat perlakuan tidak adil di tempat kerja, mereka tahu apa yang harus dilakukan untuk melindungi dirinya.
Di dalam negeri, praktik percaloan tenaga kerja pun harus segera dibersihkan. Banyak para TKI yang rela dirinya disiksa di luar negeri, hanya karena membutuhkan uang dari majikannya untuk membayar hutang kepada calo yang telah memberangkatkannya. Ada tarik-menarik tak sehat dalam hubungan ini. Para TKI sadar akan situasi dirinya, tapi tak dapat mengelak karena membutuhkan uang.
Bagaimanapun, TKI harus tetap dihargai sebagai pahlawan devisa yang telah membantu perekonomian nasional. Mereka turut berperan dalam mengurangi angka pengangguran yang sampai saat ini belum dapat diselesaikan pemerintah. Perlindungan di negara tujuan, dan seleksi yang ketat, mutlak dilakukan untuk menjamin individu TKI dan citra bangsa Indonesia secara keseluruhan. Jangan sampai negara dianggap seakan tak berdaya bahkan untuk melindungi rakyatnya yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga.(DPM)