MENGATASI KETERBATASAN TANPA BATAS

Konsep Belas Kasihan Versus Pemenuhan Hak

Terakhir diperbaharui 8 tahun oleh Redaksi

Jakarta – Salah satu stigma terhadap penyandang disabilitas adalah anggapan bahwa mereka orang-orang yang harus dikasihani. Ketika mereka menuntut hak, ada kalanya itu diberikan karena alasan kasihan, bukan faktor bahwa mereka memang memiliki hak. Bukan sesuatu yang salah sesungguhnya, sebab rasa kasihan juga berasal dari hati dan niat yang baik. Akan tetapi, pemenuhan hak yang dibungkus oleh rasa kasihan belaka dapat mengurangi penghormatan pada martabat penyandang disabilitas. Lantas, bagaimana konsep pemenuhan hak yang ideal?

Pemenuhan hak yang dikaburkan oleh rasa belas kasihan kerap terjadi di level atas atau akar rumput. Di tataran pembuatan kebijakan, sering kali legislatif atau eksekutif membuat aturan yang pro pada penyandang disabilitas didasari oleh faktor kasihan. Penyandang disabilitas dianggap orang yang patut dikasihani, oleh karena itu harus dibuat aturan yang mendukung mereka. Dampaknya adalah kebijakan bagi penyandang disabilitas yang bersifat charity bukan pemberdayaan mandiri. Mereka terus dilihat sebagai objek yang harus dikasihani, bukan manusia seutuhnya yang punya hak sama untuk berkembang. Mungkin para pembuat kebijakan lupa bahwa tiap orang berpotensi mengalami disabilitas, bukan hanya dari faktor lahir.

Ada pula kasus yang terjadi di akar rumput terasa sangat lumrah terjadi. Sebagai contoh ketika ada penyandang disabilitas yang masuk ke Bus Trans Jakarta yang penuh sesak. Di dalam bus sudah ada alokasi kursi yang memang ditujukan bagi lansia, anak-anak, ibu hamil, dan penyandang disabilitas. Akan tetapi petugas bus harus menegur terlebih dahulu penumpang yang duduk di kursi tersebut untuk bangkit padahal ia tidak berhak. Kalimat yang kadang keluar adalah karena kasihan, maka penyandang disabilitas tersebut harus dapat tempat duduk.

Baca juga:  Memilih Universitas bagi Disabilitas

Konsep pemenuhan hak memang rasanya agak sulit dipahami, terutama di bangsa komunal seperti Indonesia. Hak yang setara bagi tiap orang, perlu dipandang bukan pada perlakuan yang sama, tapi peneuhan hak yang sama meski dengan perlakuan yang berbeda. Apapun kebutuhannya, tiap orang harus memperoleh pemenuhan hak yang sama. Seperti saat seorang tunanetra ingin menonton film di bioskop. Sebagaimana tujuan seseorang ketika datang ke bioskop adalah untuk mengetahui jalannya film secara penuh tanpa kurang. Bagi orang berpenglihatan dan berpendengaran sempurna, materi audio-visual pada film dapat dinikmati sepenuhnya.

Berbeda bagi tunanetra, kehilangan fungsi visual akan mengurangi nilai kepuasan dari menonton film ketika yang didapat hanya sisi audio. Bagi bioskop yang mampu menyediakan fasilitas audio-describer (tambahan narator yang menerangkan ketika adegan tanpa dialog), penonton tunanetra tersebut harus membayar tiket secara penuh karena hak untuk memperoleh nilai kepuasan terpenuhi sama dengan penonton lainnya. Sedangkan di bioskop yang tak menyediakan fasilitas tersebut, seharusnya si tunanetra tidak membayar penuh karena nilai kepuasannya memang berkurang. Kebijakan ini sudah berlaku di beberapa tempat di negara-negara maju seperti Australia. Bahwa hak dan kewajiban tiap orang haruslah sama, tanpa diskriminasi.

Lebih lanjut pada kebijakan alokasi kursi khusus di bus Trans Jakarta. Memberikan kursi kepada penyandang disabilitas meski saat bus sedang penuh sesak janganlah didorong oleh faktor kasihan belaka, melainkan patut dilihat sebagai pemberian hak yang hakiki. Kadang penyandang disabilitas juga kurang memahami hak-haknya, sehingga merasa tidak enak sendiri saat harus menempati kursi khusus dengan “mengusir” orang yang duduk sebelumnya. Padahal keberadaan kursi khusus yang ditempatkan dekat dengan pintu keluar/masuk bus, dimaksudkan sebagai upaya agar nilai kegunaan yang didapatkan oleh penyandang disabilitas setara dengan penumpang lainnya dengan harga tiket yang sama. Mereka yang memiliki fisik sempurna tak akan menemui masalah apabila harus duduk atau berdiri di bagian tengah atau belakang bus jauh dari pintu masuk/keluar. Sedangkan bagi penyandang disabilitas, posisi dekat dengan pintu bus memudahkan untuk naik/turun bus.

Baca juga:  Momentum @jokowi_do2, Aksesibilitas Fasilitas Umum, dan Media Darling

Meski demikian, sebetulnya saat ini dengan membayar harga tiket yang sama dengan lainnya belumlah memenuhi hak mereka seutuhnya. Fasilitas pendukung bus Trans Jakarta yang masih belum aksesibel, disadari atau tidak telah menurunkan nilai kegunaan bagi mereka. Hal ini bukan bentuk protes agar dibuat harga khusus bagi penyandang disabilitas, melainkan agar peningkatan fasilitas yang aksesibel segera dilakukan agar semua penumpang memperoleh nilai kegunaan yang setara.

Masih ada contoh-contoh lain persoalan pemenuhan hak yang sudah diterapkan di negara-negara maju yang belum ditemukan di Indonesia. Seperti kebijakan untuk memberikan satu tiket gratis bagi pendamping yang menemani penyandang disabilitas ketika datang ke sebuah seminar atau konser. Karena pihak penyelenggara tidak menyediakan pendamping, apabila penyandang disabilitas membawa sendiri, maka si pendamping dibebaskan biaya karena itu dimaksudkan agar orang yang ditemani dapat mengakses manfaat kegiatan seutuhnya selayaknya pengunjung yang lain.

Beberapa hal di atas diharapkan dapat membuka fikiran kita, penyandang disabilitas atau masyarakat umum mengenai konsep pemenuhan hak yang ideal. Memang untuk menuju ke sana diperlukan rasa empati pada sesama. Akan tetapi sikap iba yang hanya berujung pada belas kasihan, tak menghargai mereka sebagai juga manusia seutuhnya. Apabila kita ada di posisi orang yang dikasihani, tentu hati akan merasa miris. Semoga tulisan ini dapat direnungi bersama.(DPM)

Beri Pendapatmu di Sini