Para Penjual Uang

Katakan separuh dari orang-orang di kota ini membenci hari jumat. Hari ini. Paling tidak telah sebulan terakhir mereka membencinya. Seperti minggu kemarin, kemarinnya lagi, kemarin yang sebulan dan setahun dan sepuluh lalu puluhan tahun yang lalu hari jumat layaknya maut, penebar kesedihan lalu menguras habis keceriaan hari yang tidak biasanya. Di mana pun kesedihan menggantung seperti kabut, mencendawan di puncak bangunan dengan tangisan-tangisan melolong menyayat hati. Meluber di lorong-lorong kota dan di jalan-jalan hingga tiada tempat untuk tidak merasakan kesedihan. Tiap kali mereka hendak menepisnya, hati mereka akan terlalu rapuh. Begitu mudah dirasuki dan kesedihan segera memetik bulir-bulir air dari pelupuk mata mereka.

 

Kala jumat menjelang, tiba-tiba kesedihan menghampiri, dan masyarakat senantiasa tidak mampu menahannya. Ibu-ibu membuai bayi mereka dengan senandung kesedihan mendayu-dayu. Para pria berubah jadi lelaki pengumbar tangis. Mata mereka  akan terasa perih dengan bulir air mata laksana kristal berjatuhan. Seketika saja semua emosi kecuali kesedihan itu sendiri menguap. Tidak ada perasaan bahagia, kesepian, kepuasan, kemarahan di setiap hari jumat. Hanya kesedihanlah termaktub dalam tiap embus gelisah napas. Hanya tangisan terdengar di tiap kuping yang merongga.

 

Nenek saya bercerita mengenai asal muasal munculnya kesedihan di tiap hari jumat. Dulu, katanya, kehidupan di kota ini boleh disebut terlalu sederhana, terlalu biasa-biasa saja. Tidak banyak orang yang hidup dalam kekayaan juga terlalu sedikit pengemis di jalanan. Hidup di Negara dengan  rentang miskin-kaya yang menganga lebar, sebutlah kota ini makmur. Tidak pernah ada demonstrasi, pemogokan kerja, pembunuhan serta isu korupsi sehingga dalam nalar nenek tersemat pikiran bagaimana mungkin kota semacam itu bisa ada di Negara ini. Semua ini, lanjut nenek sudah berjalan sekian lama sampai pada suatu hari datanglah para penjual uang dari negeri mana tidak ada yang tahu, dan kehidupan kota yang sudah usang tersebut mulai berubah.

 

“…..Selalu berawal dari gerbang kota, muncul sekelompok orang berjubah hitam dengan kerudung serta cadar hingga tersamar  separuh wajah. Tangan mereka menenteng tas-tas plastik berisikan uang. Baru dicetak, necis hingga bau pabrik pun masih terasa menguar dari dalam tas-tas tersebut. Aneka mata uang dalam tiap lembarnya. Rupiah, Ringgit, Peso, Dinar, Dolar dan masih ada lagi dari pelbagai pelosok bangsa. Mereka itu para penjual uang,” demikian nenek menegaskan kepada saya.

 

Hampir di tiap sudut kota adalah lapak mereka. Dari pagi waktu cakrawala masih samar dikungkung kelam hingga malam kembali membalut tanah, orang-orang itu menjajakan uang. Mungkin puluhan tahun lampau, saat semua ini belum menjadi biasa, belum tercangkok dalam tiap-tiap memori, orang-orang pasti kebingungan bertanya-tanya. Tentang uang yang dijual. Bukankah uang untuk membeli dan bukan jadi barang dagangan?? Jadi kenapa orang-orang aneh ini muncul begitu saja ke kota mereka lantas menawarkan uang?? Setelah sekian lama barulah penghuni kota mengerti.

 

Konon, uang para penjual adalah uang yang mampu beranak pinak di setiap hari jumat. Sekali dalam seminggu, uang-uang ajaib beranak dan bercucu. Dari selembar rupiah jadi dua, seringgit jadi berganda, sedolar jadi berlipat. Seterusnya demikian hingga uang-uang hasil biakan merajai pasar, menguasai sekolah dan aset pemerintah di kota tersebut. Sayang, tidak semua orang mampu membelinya. Sebab uang tersebut hanya dapat dibeli dengan kebebasan, harga diri, kedudukan serta kekuasaan. Dengan uang saja tidak cukup.

 

Rupanya dari situ semua berpangkal. Kehidupan lantas beranjak dari kesederhanaan yang natur. Masyarakat halal berganti selera. Semua orang serentak mau jadi penumpuk harta dengan memperoleh uang dari penjual uang. Ketua-ketua RT dan kepala desa kini punya kendaraan pribadi oleh karena uang yang beranak pinak. Pemuka-pemuka agama yang punya kekuasaan atau yang dirinya dihargai masyarakat lantas disebut memiliki harga diri, ada saja yang tergoda kemudian menukarnya dengan uang jualan.

 

Cuma masyarakat biasa-biasa sajalah yang tidak mampu membeli uang tersebut. Padahal siapa diantara orang kota ini tidak menginginkan uang beranak pinak?? Hanya saja, mereka dibilang tidak punya kedudukan, kekuasaan dan kebebasan mereka tidak dihargai. Ketika ditanya mengapa mereka tidak membeli dengan harga diri?? Ada yang menjawab,

 

“Hanya itu yang kami miliki sehingga tidak mudah kami menukarnya, dengan uang beranak pinak sekalipun,”

 

“Kami masyarakat biasa tidak pernah ada yang menghargai kami sebelumnya. Bahkan para penjual itu, mereka mengatakan di negeri mereka kami tidak berharga. Jadi sama saja kami tidak mampu membelinya.”

 

“Para penjual itu sengaja dihasut oleh orang-orang tertentu agar tidak menukar harga diri kami dengan uang mereka. Sebab bila kami memiliki uang beranak pinak, siapa bakalan mau disebut petani? Atau buruh? Atau pegawai rendahan?”

 

Sehingga dari mulut merekalah kesedihan layak tersemat. Kesedihan itu lahir dan menumpuk dengan tangisan kerap mengumbar. Merindang di tiap jumat yang tak terelak, oleh karena  tidak sanggup miliki uang beranak pinak.

 

Demikian kesedihan beranak cucu. Begitu pun uang semakin beranak pinak. Pernah saya bertanya pada ibu di suatu hari jumat,

 

“Para penjual uang itu menjual uang, Mama?” saya selalu penasaran tentang ini.

 

“Iya, namanya juga penjual uang.” Mama sedikit bingung menjawabnya.

 

“Tapi Mama, masa kita harus membeli uang? Bukannya uang itu untuk membeli sesuatu?”

 

“Nak, untuk memperoleh uang kita harus membeli. Petani bekerja di ladang-ladang mereka agar memperoleh hasil tanah sehingga mereka menjual untuk memperoleh uang. Itu berarti mereka membeli uang dengan keringat, tenaga, juga luka melepuh di tangan mereka. Penjual sayur di pasar pun demikian, membeli uang dengan duduk berjam-jam menawarkan dagangan mereka. Kamu lihat anak-anak sebayamu di kolong jembatan dan di lampu merah? Mereka membeli uang dengan kebebasan mereka bahkan dengan nyawa mereka yang masih terlalu muda.”

 

“Terus bagaimana Bapak membeli uang buat kita, Mama?”

 

“Hmm, Bapak kan di kantor sepanjang hari jadi bapak membeli dengan kehadirannya di kantor. Lalu berbicara mengenai keadaan masyarakat, mengkhawatirkan ekonomi Negara, menenangkan hati rakyat dengan janji-janji dan harapan-harapan supaya rakyat tetap kuat. ”

 

“Apalagi Mama…”

 

“Masih banyak, nanti kita tanyakan pada Bapak, Sayang.” Saya tahu Mama mengelak.

 

Saya masih ingin bertanya-tanya kepada Mama lagi tetapi tidak jadi saat seorang penjual uang lewat depan rumah. Seperti biasa saya akan meringkuk di pangkuan Mama. Berusaha untuk tidak mendengar ribuan tangisan yang meruah itu. Namun tetap saja saya mendengar mereka. Aneka tangisan menerobos bingkai jendela, merambah lewat langit-langit rumah.

 

Suara bayi-bayi yang dibuang di sungai karena orang tuanya tidak mampu membayar biaya rumah sakit yang mencekik leher, tangisan anak-anak kecil yang kedinginan di bantaran sungai, pengemis kelaparan, gadis-gadis yang menangisi sekolah yang tidak sanggup meluluskan mereka, dan yang lainnya lagi. Tidak terbayangkan jumlah mereka. Sering saya ikut mengeluarkan isak tangis. Itu bila saya sudah tidak tahan dengan kesedihan yang dibawa-bawa tangisan tersebut hingga Mama menyuruh diam. Bahkan telinga saya akan disumpal dengan kapas sebab Mama tidak mau saya turut merasakan apa yang dirasakan kebanyakan orang pada hari itu.

***

 

Kini saya beranjak remaja di kota itu, dan jumat yang pekat dengan kesedihan tetap pekat seolah waktu tak sanggup menyembuhkan. Setidaknya demikian sebuah pepatah, waktu dapat mengubah dunia. Lalu hari ini, seorang gadis muda belia tiba-tiba berseru-seru di tiap jalan dan lorong kota. Dengan suara pongah berwarna kemenangan. Orang-orang berhenti dari rasa tidak peduli mereka, berbalik mendengarkan suara berapi-api tersebut. Katanya,

 

“Rahasia uang bisa beranak pinak adalah kesedihan kalian sendiri. Sebab kata seorang penjual dari negeri seberang yang tidak berjualan lagi; kesedihan kalian laksana hujan di penghujung kemarau, menunaskan uang di lemari-lamari uang sehingga dikatakan beranak pinak.”

 

Semua, orang-orang pendengar khotbah tersebut serentak terserang kesadaran bahwa itu sebuah kebenaran. Si gadis serta merta tanpa pertimbangan didaulat sang pahlawan. Sejauh mata memandang- telinga mendengar, kelegaan membanjir dari rongga-rongga tubuh yang sekian lama menyandang duka. Maka dari tangisan, mekarlah jadi kebencian. Seminggu berlalu, kebencian itu telah membuncit.

 

Mereka yang tidak punya uang beranak pinak memblokir gerbang masuk kota. Sebagian berdemonstrasi di gedung DPR, mendakwa kelakuan para pengguna uang beranak pinak sebagai jijik secara terang-terang. Menuduh para penguasa telah tidak adil membiarkan mereka berenang dalam samudera kesedihan selama ini. Ratusan mobil terbakar, kota jadi berbau asap. Masyarakat biasa berhenti total dari aktivitas menangis, lalu berbuat diri beringas di jalanan kota.

 

Hari itu jadi hari paling brutal dalam sejarah kota ini, kemarahan mengambil kesadaran semata-mata atas pengetahuan bahwa kesedihan merekalah sumber penyebab uang mampu beranak pinak.

 

Ketika malam menjemput, akibat penat seharian mengumbar marah orang-orang berbaring penuh kelegaan. Bahwa hari depan yang gilang gemilang menanti mereka seiring berakhirnya malam nanti. Kesedihan sudah terlawankan. Tangisan sudah berujung. Pangkal kebahagiaan bakal bermula.

 

Namun, sebelum lelap menguasai tidur mereka sepotong tangisan kembali miris terdengar. Meresahkan tiap jiwa yang hendak damai dalam canda dan tawa. Sebuah tangisan lain menggelayuti tangisan pertama, membuat keresahan makin kentara. Orang-orang kembali terjaga. Tiap telinga menyerap tiap detak berderak, sebagai tangis terisak-isak. Sebuah tangisan lagi berkumandang di tengah kelam, mengundang penasaran mengendap mendekat. Dengan bermandikan cahaya lampu jalan, orang-orang, para pemusnah siang sebelumnya kembali ke jalan. Pun lorong kota. Dari sini muasal tangisan mudah ditebak.

 

Ternyata tangisan-tangisan yang baru lahir tadi, dari rumah-rumah mewah yang mobil mereka tinggal kerangka. Dan dari toko-toko yang telah dijarah dan dirampas. Pun dari gedung DPR tempat fitnah terludah tadi siang. Orang-orang mendadak gagu tak bersuara. Seperti menolak kenyataan yang tercipta. Bila sampai si kaya menangis, apa pula artinya ini?? Si penguasa merintih tersedan, mungkinkah kesedihan pula yang terbawa??

 

Lantas bibir berbalut dingin berbisik. Mungkin mereka menangisi harta mereka. Mungkin mereka menangisi kehormatan yang terluka. Mereka cuma bertanya dalam diam. Dengan keresahan yang wajar: seandainya tangisan mereka berarti sama, apakah uang bakal beranak pinak lagi?? Diam berubah jadi bisu. Pun hati kembali berenang di samudera kesedihan yang terancam meniriskan air mata lagi.

 

Editor: Putri Istiqomah Priyatna

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

1 komentar

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *