Pinky, Semangat Kampanye Bahasa Isyarat

Jakarta, Kartunet.com – Popularitas dan kejayaan. Mungkin itulah yang dirasakan oleh mereka yang berprofesi di dunia musik dan hiburan. Meski amat mencintai dunia tarik suara, kini Pinky lebih banyak meluangkan waktunya untuk mendampingi tunarungu. Tiga tahun terakhir, penyanyi beraliran country itu sudah mulai mengurangi jadwal tampilnya di acara-acara musik. Menurutnya, apa yang ia lakukan itu adalah panggilan hati untuk penyandang disabilitas. “Kalau hati sudah mulai sayang dengan penyandang disabilitas, orang lain pun pasti akan meninggalkan pekerjaannya pelan-pelan dan lebih mengabdikan diri pada penyandang disabilitas,” katanya.

Tahun 2000, pita suara Pinky mengalami kerusakan. Tentu saja keadaan tersebut membuat Pinky harus rehat dari dunia tarik suara yang dicintainya. Dokter menyarankan agar Pinky tidak banyak bicara selama enam bulan. Oleh karena itu, ia mencari cara lain untuk berkomunikasi. Kakak ipar dan sepupunya yang tunarungu membuat Pinky cukup familiar dengan bahasa isyarat sejak lama. Akhirnya, ia pun memilih bahasa isyarat sebagai sarana komunikasinya saat itu. “Saya mencoba menarik hal positif dari keadaan saya waktu itu. Dari saya yang saat itu nggak bisa bicara, saya coba ambil hikmahnya. Makanya saya mulai belajar bahasa isyarat.”

Berdasarkan informasi yang ia dapatkan lewat internet, guru terbaik untuk mengajarkan bahasa isyarat adalah tunarungu itu sendiri. Karena itu, Pinky pun mendatangi sebuah SLB dan diperkenalkan pada seorang tunarungu bervokal untuk mengajarinya. Tiga kali seminggu Pinky belajar intensif. Enam bulan kemudian ia mulai diajak bergabung dalam berbagai kegiatan kaum tunarungu, seperti mendatangi sekolah-sekolah, mengikuti arisan, dan sebagainya. Sejak itulah, Pinky mulai mengenal banyak tunarungu dalam kehidupannya.

Awalnya, pemilik nama lengkap Pinky Warouw Wickiser itu hanya menjadi penerjemah pada gereja-gereja tunarungu. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, penerjemah bahasa isyarat di gereja-gereja semakin banyak. Sementara, kebutuhan akan penerjemahan bahasa isyarat tidak hanya di gereja saja. Maka ia pun mulai direkomendasikan untuk mendampingi tunarungu pada berbagai konferensi-konferensi besar penyandang disabilitas. “Setelah mempelajari bahasa isyarat, saya merasa pintu terbuka lebar dan membawa saya untuk melayani teman-teman tunarungu.”

Bicara tentang penerjemah bahasa isyarat, Pinky memaparkan alasannya untuk fokus di dunia tunarungu. Menurutnya, kebutuhan penerjemah di Indonesia ini sangat mendesak. Jumlah penerjemah di gereja-gereja memang cukup banyak. Sayangnya, mereka hanya menerjemahkan bahasa isyarat untuk keperluan pengajaran agama saja. Dengan demikian, jumlah penerjemah yang berani tampil di masyarakat umum saat ini hanya tiga orang saja. Jumlah yang sangat minim jika dibandingkan dengan jumlah tunarungu yang di Jakarta saja sudah mencapai ratusan ribu orang.

Sepak terjang Pinky di dunia penerjemahan bahasa isyarat memang tidak boleh dipandang remeh. Meski penganut agama Nasrani, ia pernah juga menjadi penerjemah pada seminar keislaman. Hal tersebut ia lakukan karena pada saat itu Indonesia belum memmiliki penerjemah khusus untuk kegiatan-kegiatan agama Islam. Berbagai persiapan ia lakukan demi lancarnya keberlangsungan acara. Ia mengunjungi kedutaan Arab, Turki, dan Pakistan untuk mencari buku bahasa isyarat yang berkaitan dengan keislaman. “Saya ‘kan nggak ngerti Qur’an, jadi persiapannya saya lakukan dari dua bulan sebelum acara. Saya panggil da’I ke rumah untuk belajar semuanya,” jelasnya.

“Mulai dari berdiri, tangan dan mimic yang ikut bergerak, kemudian otak pun harus berpikir bagaimana menyampaikan bahasa verbal menjadi sebuah kalimat singkat yang dapat dimengerti lewat bahasa isyarat. Semua itu memang capek sekali.” Pinky mengakui, menjadi penerjemah bahasa isyarat memang tidak mudah. Meski begitu, toh nyatanya Pinky tidak pernah mengeluh. Ia tetap eksis sebagai penerjemah meski usianya telah menginjak 60 tahun. “Selama otak masih encer dan tetap bergaul dengan tunarungu, saya jamin siapa aja bisa jadi penerjemah yang bagus.” Katanya.

Sampai di tahun ketigabelasnya mengenal bahasa isyarat, Pinky masih terus belajar. Sedikitnya dua kali seminggu, ia berkumpul dengan teman-teman tunarungu untuk bergaul dan mengetahui perkembangan bahasa isyarat. Seperti halnya bahasa verbal, bahasa isyarat pun mengalami pembaharuan dan evolusi. “Jangan salah lho, dalam bahasa isyarat juga ada bahasa gaul,” katanya bangga.

Bahasa isyarat agaknya sudah mulai menarik perhatian masyarakat umum. Terbukti, bahasa isyarat kini telah menjadi salah satu mata kuliah pilihan pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia. Pada mata kuliah tersebut, para mahasiswa nondisabilitas mengikuti pelajaran yang dibimbing oleh dosen tunarungu bervokal. Pinky sendiri bertugas membantu komunikasi pada mata kuliah tersebut jika terjadi ketidakmengertian antara dosen dan mahasiswa. Menurut Pinky, mata kuliah yang telah berlangsung selama empat tahun itu memiliki jumlah mahasiswa yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Bertahun-tahun akrab dengan penyandang disabilitas, Pinky pun menuturkan pendapatnya tentang disabilitas. Meski memiliki kendala dalam hal-hal tertentu, menurut Pinky penyandang disabilitas pada dasarnya tidak ada bedanya dengan masyarakat umum. “Kalian tuh sebenarnya sama aja, ada bercandanya, ada marahnya, ada lucunya, ada rumpinya, pokoknya sama aja deh sama orang lain,” tuturnya mantap.

Pinky menyayangkan sikap masyarakat umum yang masih saja memandang miring penyandang disabilitas. Sering kali ia mendapati orang membuang muka ketika bertemu dengan penyandang disabilitas. Pinky berharap agar masyarakat dapat mengajak mereka bicara dan bercanda seperti biasa, sehingga kaum disabilitas dapat menanggapinya. Sebaliknya, kaum disabilitas pun harus berani membuka diri, supaya masyarakat awam tidak segan untuk mengenal mereka.  “Jangan takut menghadapi penyandang disabilitas, kita semua sama aja kok.” Tuturnya.

Selain itu, Pinky berharap orang tua yang mempunyai anak tunarungu agar dapat menerima kekurangan anaknya. Orang tua harus paham bahwa bahasa tunarungu adalah bahasa isyarat, kelak jika anak tersebut bisa belajar bicara maka itu adalah bonus.  “Belajarlah bahasa isyarat kalau memang anakmu tunarungu. Terima dulu kenyataan, baru kemudian mencari cara untuk menstimulasi anak itu.”

Pinky sangat bersemangat dalam mengkampanyekan BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia) di kalangan masyarakat umum. Secara rutin, ia mengajak jalan-jalan teman-teman  tunarungu. Mereka bergiliran jalan-jalan ke mal, kafe atau tempat umum lainnya, dan mengobrol dengan bahasa isyarat di sana. Pada saat seperti itu, banyak orang yang sering kali memandangi dirinya dan teman-teman tunarungu. Namun agaknya kampanye kecil-kecilan yang mereka lakukan tidak sia-sia. Pinky pernah mendapat teman yang berkenalan di kafe karena tertarik pada mereka yang sedang bicara dengan bahasa isyarat, bahkan menanyakan di mana mereka bisa ikut belajar.  Bulan ini Pinky juga akan segera terbang ke Palembang untuk mendampingi para tunarungu dari GERKATIN (Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia). Ia akan mengisi seminar satu hari dalam rangka kampanye BISINDO pada masyarakat umum.

Anak ketiga dari empat bersaudara itu menuturkan, dengan banyak konferensi yang diadakan belakangan ini, pemerintah Indonesia sudah mulai sadar bahwa pemahaman bahasa isyarat sangat penting. Mengingat usia, Pinky kini sedang gencar-gencarnya  mencetak interpreter-intepreter muda untuk meneruskan perjuangannya.  Ia ingin suatu hari penerjemah bahasa isyarat di Indonesia juga dapat menjadi sebuah profesi, seperti di Singapura yang dibayar 125 US dollar per jam. (RR)
Editor: Herisma Yanti

 

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Oleh Ramadhani Ray

Literature lover, disability issues campaigner, Interest to learn something new through reading, training, and traveling.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *