Setitik Embun

Pagi ini seolah langit berduka, menampakkan wajahnya yang muram dan lesu, tetesan air matanya membentuk gerimis rintik – rintik menambah gundah hatiku yang memang sudah sekian lama kesepian ini. Tak ada asa untuk memandang indahnya kehidupan seperti yang mereka katakan, Mungkin semua orang sibuk dengan egonya masing – masing, hingga  perasaan yang teriris-iris ini harus kupikul sendiri.

 

Tetap ku jinjing tas Billabonk warna biru itu di pinggang kananku, meski pagi ini tak ada sedikitpun niatan untuk mengikuti pelajaran di kelas. Kuikuti ayunan kaki ini melangkah, menyusuri tepian jalan yang basah karena rintikan hujan, Sesekali aku melompat kecil untuk menghindari  kubangan air yang menggenang di sepanjang jalan Tanjungsari. Sebuah jalan yang menghubungkan rumahku dengan jalan besar, tempatku biasa menunggu mikrolet menuju SMAN 9 Semarang.

 

Aku larut dan tenggelam dalam lamunan, memandangi kendaraan yang berlalu – lalang didepanku, beberapa kali para sopir mikrolet melambaikan tangan dan menawariku untuk masuk ke mobilnya, namun aku hanya terdiam tanpa ekspresi. Kulihat jam tangan Joggerku, ah, waktu begitu cepat berlari, jarum panjang di angka 8, jarum pendeknya menunjuk angka 7 kurang sedikit. Huh, 20 menit lagi gerbang sekolah ditutup, sementara aku masih duduk di depan warung kelontong pinggr jalan Setiabudi ini. Masuk nggak ya? Terjadi perang batin di dalam dirikku, ditengah perang keraguan yang berkecamuk itu, ada seorang sopir yang menghentikan mobilnya tepat di depanku, hampir saja moncong mobil Daihatsu hitamnya itu menyentuh trotoar .

 

 “Ayo, masuk, nanti terlambat lho!” teriaknya percaya diri sambil membuka pintu mobilnya, setelah membunuh keraguanku, akupun meloncat ke mobilnya, tas Billabongku kujadikan tameng diatas kepala untuk melawan gerimis yang semakin deras itu. Aku pun duduk disamping sopir yang ramah itu. Sejenak khayalanku berhenti.

 

“ SMA 9 to?” tanyanya menyambutku.

 

“ Iya pak” jawabku sembari mengusap –usap baju putihku yang basah.

 

“ Kok jam segini belum berangkat, dik?” tanyanya perhatian

 

“ Iya pak, biasanya juga belum kok” jawabku pendek

 

Tak terasa, mobil melaju begitu cepat, 15 menit kemudian aku turun di perempatan jl Cemara raya, 30 meter ke sebelah selatan sudah tampak gerbang SMA 9 Semarang, di sebelah utaranya berdiri kokoh masjid Al Muhajirin yang megah dengan menara yang 150 m itu, kulihat kanan – kiri, sudah sepi, tak tampak satupun kawanku yang dalam perjalanan ke gerbang tersebut. dari tempatku turun, telah terdengar bell tanda pelajaran pertama dimulai, aku pun berlari ke gerbang. Alhamdulilah, pagi ini yang menjaga gerbang adalah satpam yang baik hati,

 

“cepet – cepet mas..” serunya sambil memegang pintu gerbang sekolah hendak dia kunci. Aku pun masuk dengan terburu – buru, kalu satpam yang satunya lagi, dia langsung menutup tanpa toleransi.

 

Hari ini aku tetap masuk kelas dengan penuh kesepian dan kegundahan hati. Ibarat orang yang terasing dalam keramian, aku hanya duduk termenung di depan bangkuku sendirian.  

 

Sejak  7 bulan terakhir ini keceriaan yagn kumiliki semasa SMP lenyap hilang entah kemana, sejak kepindahanku ke Semarang untuk melanjutkan SMA, aku merasa kesepian. Tak ada kawan yang menghibur ataupun berusaha mengerti keadaanku.

 

Mungkin selama di Solo kemarin aku tinggal di desa, kawan – kawan yang rata – rata ekonomi kelas menengah ke bawah membuatku luwes untuk bergaul dengan mereka. Tapi ini di Semarang, tak seperti di desaku, disini tak pernah kutemui kawanku yang mengayuh sepeda untuk pergi ke Sekolah. Padahal saat aku masih berseragam Putih – biru, banyak tetanggaku yang pergi sekolah dengan sepeda onthelnya meski sudah berseragam putih abu – abu. Tak kukira, masa putih abu – abu yang pada umumnya  menjadi icon kebebasan dan kemekaran bunga – bunga asmara, harus kuhabiskan dengan gundah – gulana dan kesepian gara – gara merasa minder atas jauhnya gap ekonomi di ibu kota Jawa teengah ini.

 

21 Juni 2005, 6 bulan serasa 6 windu di kota orang ini. Jauh dari orang tua membuat hatiku semakin rapuh saat teringat wajah ibunda di Solo. Hari ini aku masih sendiri, terdekap kesepian yang menyelimutiku sejak kepindahanku ke semarang tujuh bulan yang lalu. Aku sempat ragu, mungkinkah aku sanggup bertahan hingga lulus 2 tahun lagi dengan kesepian  yang membelengguku  di kota ini?, di sisi lain dalam diriku membantah dengan tegas,

 

 “ Kalau kamu tidak menyelesaikan SMA mu di sini, kasihan ibumu di Solo, disana, beliau tidak akan sanggup membiayai kamu sekolah SMA!”. Kalau teringat tetesan airmata ibu saat melepas kepergianku ke Semarang untuk tinggal di sebuah Panti Asuhan Yatim piatu di Semarang, membuatku semakin teguh untuk menghadang semua tantangan.

 

Pagi ini aku masih duduk sendirian di kelas. Belum ada kawan yang sudi duduk disampingku. Inilah masalah utama yang membuatku gundah selama ini. Tak ada yang mau duduk sebangku denganku.

 

Setelah istirahat pertama, wali kelasku masuk kelas bersama seorang siswa baru. Dia harus berjalan dengan kruk, karena engsel kaki kanannya tidak sepurna sejak ia dilahirkan dan tangan kirinya juga tak sempurna. Namun cara bicaranya sungguh menakjubkan, lancar, jelas dan mudah dipahami, meski saat itu dia berbicara di depan 39 siswa di kelasku, tak tampak ekspresi gugup sedikitpun.

 

Saat perkenalan, tampak wajah–wajah kagum tersirat di muka kawan – kawan sekelasku. Dia pun dipersilahkan duduk disampingku, aku senang sekali, karna setelah ini, kelasku tidak ganjil lagi, itu artinya setelah ini aku akan memiliki teman duduk, tidak seperti yang kurasakan selama 6 bulan ini.

 

Alhamdulilah, hari ini aku punya teman baru. Setidaknya mulai besok aku tidak akan sendiri lagi. Seiring berjalannya waktu, Akbar pun membuka dan menceritakan semua lembaran kisah hidupnya kepadaku. Ternyata sejak berumur lima tahun, dia sudah ditinggal wafat oleh kedua orang tuanya. Sejak saat itu pula dia tinggal di sebuah masjid di dekat Pantai Marini, Semarang.

 

Untuk dapat makan dan tinggal di masjid tersebut dia harus membersihkan semua lingkungan masjid yang luasnya sekitar 150 meter tersebut. Tak khayal, Akbar kecil harus mengayunkan sapu tiap habis subuh meski gagang sapunya saat itu lebih tinggi dari tubuhnya.

 

Barulah selepas SMP ada seorang pengusaha di Semarang yang mengangkatnya sebagai anak angkat. Di rumah pengusaha tersebut dia sangat  senang sekali, karena disediakan fasilitas belajar lengakap seperti kamar pribadi, meja belajar dan komputer. Tak ayal lagi, dalam waktu beberapa bulan, kemampuannya melejit. Beberapa bakat terpendamnya mulai mngudara satu per satu, seperti menggambar kartun dan menulis. Bahkan Akbar yang rendah hati ini juga pandai berpidato dan memotivasi orang.

 

Sejak pertemuanku dengan Akbar, kesedihanku berangsur – angsur terobati. Kini aku bisa agak mendongakkan diri untuk menatap hidup ini. Ternyata, dibawah kesedihanku masih banyak orang yang keadaannya tak sebaik diriku. Mereka yang kuat dengan segala terpaan cobaan itulah yang akan menjadi pahlawan kehidupan ini. Rasanya terlalu lemah diriku ini saat mendengar kisah perjalanan hidup Akbar.

 

Selama tiga tahun, aku dan Akbar menjadi kawan sekelas, aku masih ingat, saat upacara perpisahan sekolah, Akbar memperoleh juara umum dengan nilai matematika tertinggi di ujian Nasional sekolahku. Saat itu Akbar mendapatkan dua kado istimewa dari sekolah, yang satu dari pihak sekolah dan yang satu lagi kado  dari Bapak kepala sekolah atas nama pribadi. Kado yang dari sekolah itu dia berikan kepadaku. Hingga saat ini, binder warna biru itu masih kusimpan di lemariku.

 

Kami masih ingat, saat itu aku dan Akbar sempat berfoto bersama menjelang perpisahan kami, saat ini aku sudah mengajar di sebuah SMP di Kediri, jawa timur, Sementara Akbar, entah dimana dia berada sekarang, bahkan lewat jejaring sosial pun aku tak dapat menemukannya, kabar terakhir yang kuketahui enam tahun yang lalu, dia pindah ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah di jurusan Sastra Inggris UI.

 

Kupandangi sebuah foto usang, saat kita berfoto bersama kawan – kawan SMA dengan coretan pilox warna – warni pada baju putih – abu – abu yang kita kenakan. Foto ini kami cetak 7 tahun yang lalu dari  jejaring sosial, Friendster, yang sekarang sudah diubah menjadi situs permainan oleh pemiliknya. Entah bagaimana wajah Akbar saat ini, mungkinkah dia masih ingat denganku, saat menulis kisah ini, seluruh bulu kuduku merinding, hampir saja air mataku tak tertahankan saat melihat foto yang penuh kenangan ini.

Editor: Putri Istiqomah Priyatna

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *