Di akhir Cerita

Cerpen mengenai rasa bimbang di antara dua pilihan yang seketika datang tak terbantahkan. Memilih untuk setia atau menjemput cinta yang didamba. Selamat membaca

Setelah aku membayar semua administrasi rumah sakit, aku menuju ke kamar kecil untuk membenahi diri. Kamar kecil itu kotor dan bau layaknya kamar mandi umum di rumah sakit. Terdapat bercak-bercak kecoklatan di wash tufelnya. Ku lihat ke cermin yang terletak persis di atas was tufel itu. Hanya ada kira-kira seukuran wajah yang masih bersih sehingga paling tidak bisa digunakan untuk melihat wajah sendiri. Ku lihat wajahku sembab dan mataku merah seperti orang sedih yang semalaman menangis. ‘hmmm, memang aku habis menangis semalam’ pikirku. Ketika aku sedang sibuk memperhatikan wajahku di cermin, aku dikejutkan oleh bunyi bip dari arloji digitalku. “hah, sudah jam 8 pagi, alangkah cepatnya waktu berjalan”.

Ku langkahkan kaki-kaki ku di lorong-lorong rumah sakit yang gelap dan sepi. Hanya beberapa bangku panjang yang berderet di pinggir lorong. Jam segini memang rumah sakit masih sepi, hanya ada beberapa orang yang tertidur karena kelelahan menunggu mungkin sanak keluarganya yang sakit di sini. ‘kalau aku, ingin menunggu siapa lagi di sini?’ tanyaku dalam hati. Saat aku berdiri di depan pintu bercat putih, aku melihat beberapa orang suster sedang mendorong tempat tidur berjalan yang di atasnya seperti ada sesosok tubuh yang terbaring kaku. Ku rapatkan tubuhku ke daun pintu untuk memberi jalan yang luas bagi mereka. Saat meja berjalan itu lewat tepat di hadapanku, aku melihat seorang perempuan muda yang sudah wafat dan sepertinya ingin dipindahkan ke kamar jenazah. “innalilahi Wa innailaihi Rajiun…” bisikku mengucap do’a. Setelah mereka hilang dari pandanganku di ujung lorong, langsung ku membalikan badan dan mendorong pegangan pintu yang tidak terkunci.

Baca:  Anak Panti Jadi Penyanyi

Kamar inap itu terlihat remang-remang dan wangi bunga mawar yang selalu ku ganti setiap hari. Aku melangkah ke jendela dan menarik tirai yang sedari tadi masih tertutup menyembunyikan cahaya kemilau matahari pagi. Pelan-pelan ku buka jendela yang seketika terasa angin segar menyapu wajahku. Di bawah pandangan mataku terlihat hilir mudik kuda-kuda besi yang tengah mengantar tuannya ke mana saja. Asap emisinya membuat kabut tipis jika dilihat dari ketinggian lantai 14 gedung ini. Tapi semua aktifitas kota Jakarta yang serba menjemukan itu, masih tidak dapat menyaingi segarnya udara pagi yang paling tidak bisa mengurangi sedikit beban pikiranku. “Pras…, itu kamu?” terdengar suara perempuan yang asalnya dari samping tempatku berdiri. Ia adalah Rindia, gadis cantik penghuni ruang inap ini dari sejak 1 bulan yang lalu. Selama ini aku terpaksa meninggalkan kuliah ku demi merawatnya yang hanya hidup sebatang kara di kota yang kejam ini. “hai rin, sudah bangun?. Sorry kalau berisik, biar aku tutup lagi ya jendelanya?” “Tidak usah, aku suka kok udara pagi”. Tersungging senyum manis di wajah ayu rindia yang telrihat agak kurus dari sejak 1 bulan lalu. “Bagaimana, nyenyak tidurnya?” “Ya, tapi rasanya aku masih mengantuk…” Rindia kembali menghenyakkan tubuhnya di tempat tidur. Yang aku tahu, Rindia masih dibawah pengaruh obat penghilang rasa sakit oleh karena itu Ia akan selalu merasa mengantuk. Hal itu dilakukan dokter karena sakit kepala Rindia yang datang tiba-tiba sangat menyiksa dirinya. “Pras, thanks ya bunganya. By the way, kok wajahmu suntuk sekali kelihatannya?” tanya Rindia yang sedang menikmati wangi bunga mawar dariku. Pertanyaan yang tiba-tiba itu membuatku terdiam untuk beberapa saat dan kemudian berujar “Oh tidak apa-apa, mungkin karena semalam banyak nyamuk jadi aku tidak bisa tidur!” jawabku sambil mengutas senyum yang agak dipaksakan. Aku hanya berbohong dengan kata-kataku barusan. Mana mungkin tak ada apa-apa dengan kejadian beberapa menit yang telah menghancurkan cita cintaku selama ini.

*****

Saat itu Rindia sudah diberi penenang oleh dokter sehingga Ia langsung tertidur dengan wajah yang menyisakan ekspresi rasa sakit yang sangat. Aku masih duduk di samping ranjangnya untuk melihat sekeliling bahwa segala sesuatunya sudah ok sebelum ku tinggal pulang sebentar. Sebelum mematikan lampu yang letaknya persis ada di seberang ranjang tempatku duduk, aku berbisik pamit di telinga Rindia dan kemudian menjulurkan tangan untuk mematikan lampu duduk. Karena letaknya agak jauh dari jangkauan, aku sedikit mencondongkan tubuh untuk dapat menggapainya. Sehingga pipiku seperti mengenai bibir Rindia. Pada saat yang bersamaan, tanpa ku sadari pintu kamar sudah terbuka dan berdiri seorang perempuan dengan gemetar di ambang pintu. Aku mencoba melihat siapa yang datang dan dari sorot samar-samar cahaya lampu duduk, ku lihat wajah seorang perempuan yang selama ini ku tunggu kepulangannya. Sebelum aku dapat menunjukan rasa kegembiraanku, Findia langsung bergegas pergi disertai bunyi bantingan daun pintu. Untuk sesaat aku tak dapat mencerna apa yang terjadi, tapi setelah aku menyadari pose antara aku dan Rindia sekarang ini, aku langsung tahu bencana apa yang akan terjadi beberapa saat lagi.

Baca:  Di Tengah Kisah

*****

Kamar tidurku seperti biasa masih terlihat rapi dan bersih. Tentu saja bukan karena aku yang rajin merapikannya, tapi berkat adanya pembantu rumah tangga yang setia di rumah ini. Orang tuaku yang terlalu sibuk dengan pekerjaan, membuat tugas untuk mengurus rumah harus diserahkan kepada pihak ketiga di keluarga ini. Sekarang mereka sedang berada di eropa untuk perjalanan bisnis sejak setahun yang lalu. Bahkan pada saat idul fitri saja mereka tidak pulang dan hanya bercakap-cakap melalui telephone denganku. Layr monitor personal computerku masih menyala dengan sinarnya yang tajam dan detail. Di tampilan desktopnya masih pula bertahta wajah Findia yang imagenya aku ambil sesaat sebelum ia berangkat ke Australia. Jendela kecil yang menutupi sebagian besar dari tampilan desktop itu, ada internet explorer yang sedang membuka web mail dengan beberapa kata yang posisi kursor siap pada tombol ‘send’. Waktu di arloji digitalku sudah menunjukan waktu 11:00 PM. Tapi aku masih berbaring dengan kepala beralaskan dua telapak tangan dan pakaian yang masih belum berubah sejak ku langkahkan kaki ke rumah ini beberapa jam lalu. Mataku tak bisa terpejam, di hadapanku terus berputar kenangan-kenangan manis saat aku berdua dengan Findia dan kemudian sesekali diselingi dengan peristiwa menyakitkan di lapangan parkir rumah sakit.

“Huh, findia masih saja tetap cantik seperti dulu, bahkan lebih sekarang” ucapku menghibur. Tak ada percakapan antara aku dan findia pada saat di lapangan parkir. Ia langsung menaiki taksi yang sudah menunggu dan pergi tanpa aku sempat berkata satu patah kata pun. Selama aku memandangi langit-langit kamarku yang kosong, aku merogohkan jari jemari ke saku jaket yang ada di samping tubuhku. Ku raih handphone yang ada di dalamnya dan mencari-cari nomor handphone yang sudah satu bulan ini tidak aku hubungi. Tapi di saat mataku menatap tulisan Princes Fin, Aku meletakannya kembali ke saku jaket dengan tak bersemangat. Tak akan ada gunanya jika aku menghubunginya sekarang di saat semua keadaan sangatlah keruh. Lebih baik aku menunggu sampai semuanya tenang. Ku tegakan tubuhku dan duduk di pinggir tempat tidur. Ku pegangi kepalaku yang terasa berat dengan semua pikiran yang bergejolak sekarang. Tentang tanggung jawabku terhadap Rindia yang hidup sendirian dan sikapnya yang haus kasih sayang dari orang terdekatnya. Kemudian berganti dengan kenangan yang membanjir antara aku dan Findia ketika pertama kali bertemu di angkot dan di saat Ia memberitahuku untuk pergi melanjutkan studinya ke Australia. Tak kurasa air mata mengalir membasahi pipiku yang terlihat agak cekung karena kurang makan dan tidur akhir-akhir ini. Air mata ini luapan perasaan antara sedih karena tidak ingin kehilangan cinta yang selama ini aku tunggu, kebingunganku entah harus mementingkan Rindia yang sedang kesulitan atau Findia yang tak akan pernah tergantikan, dan bahagia karena Findia sudah pulang lebih cepat dari studinya. “Rupanya Findia menepati janjinya kepadaku” bersamaan dengan kata-kata itu, mataku menangkap kembali bayangan layar komputer yang menyala terang. Ku dekati kursi yang terletak di depan layar tersebut dan menghenyakkan diri di atasnya. Ku pandangi lagi beberapa kata di jendela internet explorer yang isinya antara lain menjelaskan kejadian selama sebulan belakangan ini dan meminta maaf atas sikapku untuk menutupinya selama ini serta senang atas kepulangannya kembali di tanah air. Segera sambil diiringi do’a agar Findia mau membacanya dan mengerti tentang semua ini, jari-jari tangan kananku meraih mouse yang tergeletak kaku di sisi layar dan dengan jari telunjuk segera ku klik pada tulisan ‘send’. Setelah layar berganti tulisan yang mengkonfirmasikan bahwa e-mail telah terkirim, ku tutup jendela itu dan sekarang terlihat penuh sosok Findia yang memegang koper sesaat sebelum Ia berangkat ke Australia. Mataku tak akan pernah lelah untuk memandang wajah yang semakin di amati semakin indah itu.
“As If you know, I love you without anything, except all my soul”.

Baca:  Bulir Berharga Sang Disabilitas

Lamunaku buyar saat kulihat suster yang berpakaian putih bersih masuk dari pintu yang sedari tadi tidak terkunci. “Selamat Pagi suster” sapaku dengan senyum terbaik di wajahku yang tetap tidak bisa menyembunyikan kesedihan di dalamnya. “Ya selamat pagi, nah mbak Rindi, mari saya bantu berkemas” “berkemas, memangnya saya mau ke mana sus?” tanya Rindia dengan wajah bingung dengan pandangan bertanya ke arahku. Aku hanya tersenyum kecil yang fmemberitahukannya bahwa tidak akan ada apa-apa. “Lah mbak Rindi belum tahu, mbak akan pulang dan seminggu lagi akan dibawa untuk berobat ke Amerika Serikat” jelas suster yang sedang membantu Rindia untuk duduk bersandarkan tumpukan bantal. Dengan cekatan, suster mengeluarkan pakaian santai dan rok panjang hitam dari tas yang ada di bawah tempat tidur Rindia. Suster itu memberiku senyum singkat sambil melambaikan tangan ke arah pintu menyuruhku keluar sebentar karena Rindia harus berganti pakaian. Aku menuruti perintah suster dan bergegas keluar ruangan. Setelah menutup pintu di belakangku, aku menyusuri lorong dan turun ke lantai dasar menggunakan lift untuk ke kantin rumah sakit.

Bagikan artikel ini
Dimas Prasetyo Muharam
Dimas Prasetyo Muharam

Pemimpin redaksi Kartunet.com. Pria kelahiran Jakarta 30 tahun yang lalu ini hobi menulis dan betah berlama-lama di depan komputer. Lulus dari jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia 2012, dan pernah merasakan kuliah singkat 3 bulan di Flinders University, Australia pada musim semi 2013. Mengalami disabilitas penglihatan sejak usia 12 tahun, tapi tak merasa jadi tunanetra selama masih ada free wifi dan promo ojek online. Saat ini juga berstatus PNS Peneliti di Puspendik Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Kunjungi blog pribadinya di www.dimasmuharam.com.

Articles: 313

One comment

  1. […] yang rajin membersihkan rumah, pintar memasak, mencuci, dan penurut akan semua perintah orang tua. Di akhir cerita, keberuntungan berpihak pada si bawang putih meski di awal ia mendapatkan perilaku yang tidak baik […]

Leave a Reply