GULALI MERAH

“Menurut aku gulali itu bisa membuat perasaan seseorang menjadi lebih baik”. Subangga menatap langsung ke mata Maharani.

“Jadi kalau kamu sedang bersedih kamu akan makan gulali?”. Maharani mengangguk tetapi sesaat kemudian ia menggeleng. Subangga yang melihat hal itu menjadi tak paham.

“Tadinya iya. Kalau aku sedih aku akan makan gulali ini. Dulu kalau aku nangis, pasti papa kasih aku gulali biar aku gak nangis lagi. Dan ternyata memang benar, setiap aku nangis aku pasti dikasih gulali”.

“Maka dari itu kamu nangis setiap hari”. Dan perkataan Subangga bukanlah pertanyaan melainkan pernyataan. Maharani meringis dan mengangkat bahu.

“Tadinya begitu. Tetapi entah mengapa walaupun aku gak nangis dan merasa sedih, aku jadi ingin tetap makan gulali. Karena menurut aku kesedihan itu bisa datang kapan saja. Jadi sebelum kesedihan itu datang, lebih baik aku menghimpun tenaga melalui gulali-gulali yang aku makan supaya ada tambahan energi”. Subangga mendengarkan perkataan Maharani sambil menatap ke depan dan seperti sedang memikirkan sesuatu.

“Jadi aku yakin siapa pun yang makan gulali apa lagi ketika sedih maka perasaannya akan membaik”. Subangga tersenyum kecil lalu mengangguk-angguk.

“Terima kasih ya”. Maharani yang mendengar hal itu tidak paham mengapa Subangga tiba-tiba berterima kasih padanya.

“Terima kasih untuk apa?” tanyanya dan memiringkan badannya ke arah Subangga.

“Saya berterima kasih sama kamu. Karena sepertinya kamu memberikan saya sebuah filosofi kehidupan melalui gulali”. Maharani yang tidak mengerti hanya mengerjapkan matanya.

“Ya sudah kalau begitu kita balik saja. Ini sudah hampir sore, nanti kamu dicariin orang tua kamu”. Maharani tersenyum lebar.

“Tenang aja kak, aku udah bilang ke mama kalau aku pulang telat”. Subangga yang mendengar hal itu mengangguk paham.

“Tapi saya harus pulang karena besok pagi saya sudah harus kembali. Cuti saya sudah selesai.”. Saat Maharani mendengar hal itu tiba-tiba hatinya menjadi sedih karena harus berpisah dengan partner gulalinya. Bahkan sepertinya lebih dari sekedar itu. Maharani telah jatuh cinta kepada pemuda di depannya ini. Ya sepertinya ia memang sedang jatuh cinta.

 

“Kamu harus sekolah yang benar ya”. Tangan Subangga yang terasa hangat itu menepuk puncak kepalanya. “Sampai ketemu lagi ya” pamitnya.

 

Maharani hanya mengangguk sambil meremas tangannya. Saat Subangga berjalan meninggalkan taman itu, ia baru saja melihat bahwa tidak jauh dari tempat yang diduduki Subangga ada kartu pos. Maharani mengambilnya dan membaca nama pengirimnya dan kepada siapa surat ini dikirim. Dan ia melihat nama Subangga di sana. Ini pasti kartu pos Subangga. Ia berusaha mengejar Subangga yang untung saja belum terlalu jauh.

“Kak!” teriak Maharani dan mengejar Subangga. Dan karena merasa ia dipanggil, akhirnya Subangga berbalik mendapat Maharani berjalan cepat ke arahnya.

“Ada apa?” tanya Subangga ketika Maharani sudah berada di depannya.

“Ini punya kakak ada yang jatuh”. Saat Subangga menerimanya ia baru sadar ternyata kartu pos yang ia terima tadi terjatuh.

“Wah terima kasih ya”. Ucap Subangga tulus.

“Ini kartu pos dari pacar saya. Dan saya tadi belum sempat membacanya, karena takut telat bertemu dengan kamu”. Subangga kembali menepuk kepala Maharani yang tubuhnya kini menjadi kaku. Bukan karena tepukan di kepala, tetapi karena perkataan Subangga. Bahwa kartu pos itu dari pacarnya. Pa… car… nya…

 

Hal itu membuat hati Maharani yang tadi sedih karena Subangga akan pergi ke luar kota, kini hatinya menjadi hancur karena perkataan Subangga. Subangga yang tidak menyadari hal itu lalu mengatakan sesuatu yang seperti sampai jumpa lagi, tetapi tidak didengar oleh Maharani yang kini tiba-tiba dunia di kepalanya menjadi gersang karena terbakar oleh api.

 

 

Siang itu Maharani menelusuri jalanan menuju rumahnya. Kini ia seperti tidak ada semangat seperti hari-hari sebelumnya. Langkah kakinya pun nampak berat. Perkataan Subangga selalu terngiang-ngiang di kepala. Dan tanpa sadar ia hampir saja menabrak gerobak bang Tem yang pas sekali sedang berhenti.

“Awas mba”. Maharani langsung mengangkat kepala dan hampir saja tubuhnya menabrak dorongan bang Tem.

“Yaelah bang Tem, kenapa pakirnya di sini sih bang” kata Maharani sebal.

Lah tadi sudah saya kasih tau, eh mba Rani masih jalan sambil nunduk”. Maharani yang mendengar hal itu tidak menjawab. Matanya menelusuri barang dagangan bang Tem.

“Mau beli gulali mba? Udah dua hari ini mba Rani gak beli gulali saya”. Maharani mehat ke arah gulali merah itu dan tiba-tiba ia kembali teringat pertemuan ia dengan Subangga. Percakapan mereka selama beberapa hari. Bahkan hari terakhir sebelum Subangga pergi. Semua ingatan manis dan pahit itu berputar di kepalanya.

 

“Mba Rani mau gulali gak?”. Maharani menggeleng tidak minat. Tetapi bang Tem yang melihat wajah pelanggannya itu sedang sedih, akhirnya tetap memberikan gulali merah itu ke tangan Maharani.

“Tapi bang…” tolak Maharani. “Ini gratis. Bang Tem kasih gratis supaya mba Rani seneng lagi”. Kata bang Tem lalu begitu saja bang Tem dan barang dagangannya pergi dari sana meninggalkan Maharani yang termenung sendirian di sana.

Maharani melihat gulali merah di tangannya. Lalu langkah kkakinya membawa dirinya ke tempat duduk yang berada di taman seberang. Taman yang memiliki banyak cerita untuk dirinya. Tiba-tiba air matanya mengalir. Ia tidak berusaha menghapusnya, tetapi ia membuka bungkus gulalinya. Ia makan sedikit demi sedikit memasukan gulali itu ke dalam mulut. Rasanya manis dan jadi terasa asin di lidah karena air matanya mengalir masuk ke bibirnya yang terbuka. Tetapi Maharani terus memasukan gulali itu ke dalam mulutnya sampai rasa asin itu hilang. Sampai rasa pahit di dalam hati lenyap. Dan ternyata itu terbukti, karena kini perasaannya mulai membaik. Rasa manis di mulutnya ia resapi dengan benar sambil mengingat masa-masa bahagia di hidupnya. Dan ia jadi ingat ada satu hal yang belum ia beritahukan ke Subangga, bahwa jika kesedihan itu akan lebih cepat hilang jika kita makan gulali sambil memikirkan kejadian yang membahagiakan hati. Dan hal itu yang sebenarnya Maharani lakukan setiap kali ia bersedih. Gulali merah memang bisa membuat dirinya bahagia, tetapi untuk melupakan kesedihan itu hanya bisa dengan cara memikirkan tentang kebahagiaan yang kita alami bahkan memikirkan kebahagiaan apa yang akan kita dapatkan di hari depan.  Karena hidup ini terus berjalan. Menciptakan kebahagiaan itu adalah kunci dari kehidupan ini, karena di dalam kebahagiaan pasti ada sebuah harapan.

 

~ TAMAT

 

Download:

~gulali merah by precilia

Last Updated on 4 tahun by Redaksi

Oleh Precilia O

Saya orang yang mudah tersenyum

20 komentar

  1. nice story… memberikan gambaran dan penyajian yg sangat mudah dimengerti tapi memiliki banyak arti…

  2. Bagus , bgmna kalau identitas Rani itu di jelaskan lbh awal . Dan apa itu gulali ?. Bravo Prissi .

  3. Nice strory… light hearted one… keep writing Eci… one day you will publish a hard cover story book… who knows!

  4. terima kasih sudah ikut berkontribusi. Bagikan ke sebanyak mungkin orang untuk mendapat suka dan komentar sehingga jadi cerpen terfavorit. Tetap semangat dan terus produktif berkarya 🙂

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *