Pernahkah sejenak terdiam dan menikmati suasana hujan? Dengarkan gemuruhnya dan tatap butiran kristal yang jatuh membasahi bumi. Angin dingin membawa partikel air, lengkap mengiringi kedatangannya.
Saat hujan turun, bumi seakan berhenti beraktivitas. Hampir semua makhluk memilih untuk berteduh mencari perlindungan. Mereka yang mencari sesuap nasi atau mereka yang terus berlari mengejar ambisi, semuanya berhenti sejenak. Selimut yang hangat atau makanan panas yang tersaji adalah apa yang diinginkan kala hujan turun. Lengkap rasanya ditemani dengan segelas wedang jahe di sisi.
Diam terpaku, mencoba mengerti akan kasih sayang alam lewat hujannya yang turun. Mencoba memahami dan masuk pada kesadaran spiritual yang hadir melalui perantara rasa. Menyadari bahwa tanpa hujan, mungkin bumi ini tak lagi nyaman untuk ditinggali. Gersang, panas terbakar matahari. Suhu akan naik tak lagi bisa terkendali. Tanaman akan kehilangan sumber air lalu kemudian layu, mati. Hewan akan kehilangan makanan untuk bertahan hidup, suhu yang terlalu panas akan membuatnya dehidrasi, kekurangan cairan, dan akhirnya mengalami kematian yang sama layaknya tumbuhan. Lalu apa yang dapat dimakan oleh manusia untuk bertahan hidup? Masih adakah makanan yang menjadi keinginan untuk memuaskan nafsu? Masih tersisa ambisi untuk minuman bermerek karena gaya hidup dan terlihat trendi? Bumi telah tak sama lagi, pakaian bukan lagi menjadi sesuatu yang menjadi identitas skena.
Sejatinya hidup kembali saat itu. Ambisi cukup pada bertahan dan tidak mati lebih cepat. Hilang segala mimpi dan harapan semu hanya karena status sosial. Perlombaan bukan lagi karena identitas dan mobil yang digunakan. Hidup, HIDUP, dan HIDUP, menjadi satu-satunya harapan setiap makhluk.
Hujan, sesuatu yang kedatangannya diharapkan kala kekeringan datang, namun diusir saat banjir menggenangi jalanan.
Banyak penyesalan yang terdengar kala aktivitas terganggu, banyak manusia yang memilih menghangatkan diri di bawah selimut. Dan hanya sedikit, sedikit sekali orang yang mau mencoba meluangkan waktunya untuk merasakan hadirnya hujan. Menikmati desir angin dan menatap perlahan kristal-kristal lembut yang pecah kala menabrak bumi. Ada pesan yang harus disampaikan, ada kelembutan dalam gemuruh yang mengalun tak henti-henti. Gemuruhnya yang berubah tergantung di mana kita menikmatinya. Ruang berpendingin udara tempat bekerja, kamar tidur di depan jendela sendiri merenungi kerinduan, ruang tamu keluarga dengan ayah dan ibu, atau di depan teras rumah milik orang lain dengan orang yang kita sebut pasangan kala berteduh sehabis pulang berkencan. Nikmatilah meski hanya sebentar. Semoga bisa terdengar bisikan pesan yang harusnya dimengerti.
Huruf-huruf ini tertulis karena keresahan saat hujan turun sore ini. Seberapa lama kehidupan ini berjalan? seberapa jauh kaki ini telah melangkah dan tak menyadari apa artinya hujan pada kehidupan? Silakan bercerita tentang cinta, berkelindan dengan rindu yang katanya merasuk pada hidup. Tapi jika tak menyadari bagian hujan pada kehidupan, semua itu hanya omong kosong tak berarti. Hanya suara tanpa makna, hanya kata tanpa nada, hanya mata tanpa telinga, hanya cerita tanpa nyata, hanya logika tanpa rasa.
Sukabumi: 5 November 2024
Kok dalem sih, Mas.