Keprihatinan…

Indramayu – Dalam venomena sehari-hari sering kali kita temui banyak terjadi hal yang sama sekali menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan, baik itu dilakukan oleh sasaran aturan tersebut maupun oleh pembuat aturan itu sendiri. Dari pelanggaran demi pelanggaran yang terjadi tentu ada yang menjadi korban, dan akibat dari semua ini menimbulkan gejolak yang tentu saja ditimbulkan dari ketidak sesuaian antara keharusan yang tercantum dalam aturan dengan realita pelaksanaannya. Hal ini mestinya tidak perlu terjadi jika apa yang telah dibuat benar-benar dapat dijadikan sandaran dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat.

Baca:  Perjuangan Disabilitas Melawan Diskriminasi Maskapai

Kalau kita bertanya siapakah yang kerap kali menjadi korban?, jawabannya pastilah kaum-kaum minoritas yang dari sisi kiprahnya dianggap kurang atau bahkan tidak membawa dampak bagi perkembangan dan kemajuan.


Beberapa waktu yang lalu tepatnya hari kamis tanggal 8 desember 2011 telah terjadi aksi damai yang dilakukan oleh komunitas penyandang cacat sejawa barat, yang terdiri dari beberapa ormas seperti pertuni, itmi, PPCI dan lain-lain. Mereka semua menuntut agar perda jawa barat mengenai hak dan kewajiban penyandang cacat sejawa barat dapat direalisasikan serta diimplementasikan, yang selama ini perda tersebut hanyalah onggokan tulisan yang telah disahkan tapi setelahnya belum ada pengaplikasian. Namun sebenarnya bila kit abaca dalam sumber hukum Negara kita yaitu UUD 1945 tidak akan kita temui pasal-pasal yang mengandung pendiskriminasian terhadap siapapun. Dalam bidang pendidikan, pekerjaan, berorganisasi, dan lainya yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, selama mengindikasikan kearah kemajuan dan perkembangan, maka sudah menjadi hak dan kewajiban semua warga tanpa membedakan suku, ras, jenis kelamin, kecacatan dan lain sebagainya. Pelaksana dari undang-undang dasar itulah yang dalam menterjemahkan kalimat yang tercantum didalamnya sering kali salah dan kadang sengaja memelintirkan aturan supaya terlihat benar tapi jauh dari makna yang sebenarnya. Akibatnya terjadilah apa yang dilakukan komunitas penyandang cacat dijawa barat yang merasakan hak-hak mereka tidak terpenuhi dan apa yang menjadi kewajiban harus mereka lakukan tidak mendapat akses. Apa yang dilakukan mereka hanyalah salah satu contoh gejolak dari akibat ketidak sesuaian antara apa yang termaktuf dalam peraturan dengan pelaksanaan aturan itu.


Lalu siapa yang salah dalam hal ini?, jawabannya tentu sulit dijawab karena menyangkut kepentingan orang banyak. Tapi jika mengacu dari kasus diatas maka kita bisa katakan kesalahan berada dipihak pembuat aturan, namun kalau setelah aturan dibuat, dan sasaran dari aturan tidak pernah melakukan control misalnya terhadap pelaksanaan aturan, maka kita tentu harus mengatakan sasaran itulah yang salah mengingat sasaran aturan ini pun terdiri dari berbagai macam orang yang dengan vikiran dan kepentingan berbeda. Ada dua kemungkin yang bisa terjadi jika berbicara mengenai penerapan aturan yaitu:

Baca:  Kritik Terhadap Kebiasaan "Cime'eh" di Suku Minangkabau


  1. Aturan sudah memungkinkan untuk direalisasikan, tapi yang menjadi sasaran aturan belum atau tidak mempunyai kesiapan, misalnya undang-undang penyandang cacat mengharuskan bahwa setiap perusahan paling tidak menerima penyandang cacat sebagai pekerjanya satu orang dari seratus kariawan. Ketika pengusaha sudah siap menerima ternyata dari pihak penyandang cacat tidak siap menerima pekerjaan yang ditawarkan. Kita bisa mengatakan ini terjadi karena tidak adanya akses yang memungkinkan penyandang cacat melakukan pekerjaannya, tapi saat akses tersedia? Lagi-lagi masalah muncul yaitu tidak adanya skil menggunakan akses tersebut. Ini tentu saja menjadi boomerang bagi para pejuang hak-hak penyandang cacat khususnya yang berhubungan dengan kesempatan bekerja.

  2. Tenaga kerja sudah siap, tapi saat berusaha mencari pekerjaan sesuai dengan kemampuannya, sering kali menemui benturan, dan penolakan yang terkadang tidak beralasan. Misalnya dari pihak penyandang cacat sebagai sasaran undang-undang sudah memiliki keahlian dan siap bekerja dan tentu saja menggunakan media yang mereka bisa akses, masih mengalami kesulitan karena memang dipersulit, belum lagi sekarang ini pekerjaan tidak cukup dengan skil atau keahlian tapi juga harus memakai uang sogokan dan akhirnya memunculkan tambahan kesulitan tersendiri bagi penyandang cacat.

Dua hal diatas tentunya dapat dijadikan pertimbangan dalam kita memperjuangkan kaum disabilitas mengingat keadaan Negara kita yang masih saja tidak memberi kesempatan secara merata untuk rakyatnya dari segala bidang, disamping itu dari pihak kaum disabilitas juga agar tidak terlalu progresif dalam menyuarakan tuntutannya, sebab jangan sampai apa yang menjadi tuntutan malah menjadi penyebap kita tertelanjangi oleh karena saat tuntutan kita akan direalisasikan, dari pihak disabilitas sendiri banyak yang belum siap menerima, yang akhirnya anggapan masyarakat bahwa kaum disabilitas adalah kaum yang gampang emosi dan tidak terkendali menjadi semakin meluas, padahal anggapan itu harus kita kikis perlahan.(Yusron)

Baca:  Ada 'Missing Link' dalam Penyerapan Tenaga Kerja Disabilitas

Bagikan artikel ini
Yusron Hafiz
Yusron Hafiz
Articles: 2

Leave a Reply