Menakar Kebebasan Politik Disabilitas

Jakarta – Puncak hiruk-pikuk Pilkada Jawa Barat sudah berlalu pada 24 Februari lalu. KPU pun sudah melansir hasil suara yang menetapkan pasangan nomor urut empat menang tipis di antara kandidat-kandidat lainnya. Sebuah kemenangan rakyat Jawa Barat yang diharapkan berasal dari pemilihan yang Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia. Namun apakah benar-benar “bebas”?

Meski tak disadari oleh media massa mainstream, Pilkada Jawa Barat telah meninggalkan satu fakta ironis bagi penyandang disabilitas. Tak hanya terjadi di Jawa Barat, akan tetapi berpeluang besar pula terjadi di daerah-daerah lainnya. Apalagi menjelang Pemilu 2014, dimana segala cara dihalalkan politisi untuk mendulang suara untuk kedudukan di Senayan atau Istana Negara.

Sebagai kelompok yang rentan, penyandang disabilitas sangat mudah untuk dieksploitasi oleh onkun-oknum dunia politik. Tak perlu cara kekerasan atau paksaan untuk mendapatkan suara dari mereka, cukup dengan cara menggiring simpati yang dikemas dalam cakupan pengetahuan yang dipersempit, maka suara itu akan tergiring.

Contohnya, ketika Pilkada Jawa Barat baru saja berakhir. Ada pernyataan di sebuah media dari Persatuan Penyandang Cacat Indonesia cabang Jawa Barat  yang mendukung penuh salah satu kandidat karena aksi simpatik kandidat yang membuatkan paparan visi dan misi dalam format huruf braille. Pada pernyataan tersebut, diyakini bahwa sejumlah 90.000 suara tunanetra di Jawa Barat akan mendukung kandidat karena hanya kandidat tersebut yang berinisiatif membuat visi misi dalam huruf braille.

Secara permukaan, inisiatif dari kandidat tersebut perlu diberi apresiasi karena telah peduli untuk memberikan informasi bagi para tunanetra yang juga memiliki hak suara. Bahkan hal tersebut perlu dicontoh oleh banyak pihak untuk ikut melibatkan penyandang tunanetra dengan menyediakan media informasi aksesibel. Namun bentuk perhatian itu menjadi masalah karena beberapa hal yang tentu bukan kebetulan semata.

Pertama, upaya tersebut dilakukan saat momentum kampanye pemilihan calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Barat 2013. Publik yang kritis akan dapat menilai bahwa inisiatif membuat paparan program kandidat dalan huruf braille tersebut akan lebih cenderung ke upaya untuk mendulang suara dari penyandang disabilitas netra, bukan motif kemanusiaan semata. Jika momentumnya bukan karena sedang Pilkada, tentu akan sangat mulia tujuannya. Namun agak diragukan juga jika bukan karena sedang Pilkada apakah akan ada inisiatif tersebut.

Masalah berikutnya yang menyebabkan persoalan di atas menjadi krusial adalah tidak adanya inisiatif yang sama dilakukan oleh kandidat-kandidat lain di Pilkada Jawa Barat 2013. Sederhananya dapat disimpulkan bahwa selain kandidat nomor empat, kandidat lain tidak terlalu menganggap penyandang disabilitas, dan tunanetra pada khususnya, kelompok yang cukup penting untuk dijadikan konstituen. Namun dampak besarnya adalah para penyandang disabilitas tersebut tidak memiliki referensi alternatif selain yang memberikan paparan program dalam format braille tersebut. Tak heran, jika secara bulat pimpinan Persatuan Penyandang Cacat Indonesia di Jawa Barat tersebut menyatakan dukungan pada kandidat yang telah peduli pada mereka.

Fenomena ini menggiring pada pertanyaan: apakah ada yang salah? Jika iya, siapa yang perlu untuk dipersalahkan? Salahkah kandidat yang mungkin saja benar tulus memiliki niat untuk menyediakan paparan program dalam huruf braille yang dapat diakses oleh tunanetra seluruh Jawa Barat? Salahkah para penyandang disabilitas di Jawa Barat yang menyatakan dukungan kepada kandidat tersebut karena merasa diperhatikan kepentingannya dengan pembuatan 1000 naskah braille untuk dipakai 90.000 orang?

Kombinasi fakta penyandang disabilitas sebagai kelompok rentan atau marginal dengan dipersempitnya pengetahuan mereka atas pilihan-pilihan yang ada dapat dianggap sebagai perampasan asas bebas pada Pemilu. Bayangkan saja jika hal tersebut terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia. Diakui atau tidak, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia yang mencapai angka 10% dari total penduduk cukup potensial untuk meloloskan sebuah partai bertahan di parlemen. Amat berbahaya jika keadaan ini dibiarkan secara sistemik dengan apapun alasan keterbatasan penyelenggara Pemilu.

Sejauh ini, hak penyandang disabilitas baru mendapat perhatian sebatas untuk menunaikan kewajibannya untuk memilih di bilik suara. KPU sudah memperbaiki kebijakannya dengan menyediakan alat bantu pilih bagi tunanetra yang dinamakan template braille. Dengan alat tersebut, seorang tunanetra tidak mengalami kesulitan lagi ketika ingin menentukan pilihannya di bilik suara. Bagi penyandang disabilitas lain seperti pengguna kursi roda pun sama halnya; sudah ada peraturan KPU yang menentukan standarisasi fasilitas dan lokasi TPS agar aksesibel bagi mereka.

Namun, hal tak kalah penting yang belum mendapat perhatian adalah bagaimana proses seorang penyandang disabilitas menentukan pilihannya. Tak perlu dulu berbicara tentang hak untuk dipilih bagi penyandang disabilitas yang kadang masih dipersulit. Hak mereka atas informasi yang aksesibel sehingga dapat menentukan pilihan secara objektif pun masih kurang. KPU dalam kapasitasnya bertanggung jawab dalam menyediakan media informasi Pemilu yang aksesibel dan mencerdaskan bagi pemilih dengan disabilitas.

Misalnya, bagi tunanetra. Memang sebagian sudah ada yang mampu mengakses informasi Pemilu melalui internet dan televisi, tapi masih banyak tunanetra di daerah yang perlu bahan informasi berupa braille untuk semua kandidat peserta Pemilu. Belum lagi untuk tunanetra yang tak dapat membaca huruf braille. Media informasi Pemilu dalam bentuk audio diharapkan dapat menjadi solusi yang diakomodasi oleh KPU. Berbeda dengan tunarungu, mereka pun memerlukan informasi berupa tayangan televisi yang dilengkapi dengan bahasa isyarat. Selama ini KPU belum mengakomodasinya sehingga pemilih tunarungu tak mendapatkan informasi yang lengkap mengenai Pemilu.

Pada kesimpulannya, tulisan ini tidak bertujuan untuk menyalahkan pihak manapun. Redaksi hanya menyampaikan harapan kepada KPU sebagai eksekutor Pemilu untuk lebih mengakomodasi dan menghargai hak suara penyandang disabilitas. Tidak hanya untuk meningkatkan jumlah memilih, akan tetapi juga bagaimana proses mereka dapat menentukan sebuah pilihan. Kebebasan secara politik yang benar-benar bebas, termasuk bebas memilih dari pilihan-pilihan yang sehat. Jangan sampai terbatasnya informasi pemilih disabilitas dibiarkan secara sistemik dan berpeluang untuk dieksploitasi oleh oknum-oknum politik. (DPM)

Editor: Muhammad Yesa Aravena

Last Updated on 8 tahun by Redaksi

Oleh Dimas Prasetyo Muharam

Pemimpin redaksi Kartunet.com. Pria kelahiran Jakarta 30 tahun yang lalu ini hobi menulis dan betah berlama-lama di depan komputer. Lulus dari jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia 2012, dan pernah merasakan kuliah singkat 3 bulan di Flinders University, Australia pada musim semi 2013. Mengalami disabilitas penglihatan sejak usia 12 tahun, tapi tak merasa jadi tunanetra selama masih ada free wifi dan promo ojek online. Saat ini juga berstatus PNS Peneliti di Puspendik Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Kunjungi blog pribadinya di www.dimasmuharam.com.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *