Menjadi TKI, Untuk Mengajar Anak Negeri

Yanti mengenakan Jilbab biru dan baju hitam, berdiri tepat di tengah anak-anak didiknya

Matahari begitu gagah menghuni langit, siang ini kota Medan belum juga berubah, masih sama, macet dan hiruk pikuk menjadi fanorama bagi sepasang mata. Panasnya sangat menyengat, namun tidak memutuskan semangatku untuk terus menyusuri setiap sudut jalan, semakin lama gedung-gedung tinggi yang mencakar langit mulai hilang, tersisalah dahi yang menyerengit sekaligus haru, menyaksikan anak-anak datang menjabat dan mencium hikmad tanganku. Sosok wanita muda menyambut ramah, mempersilahkanku duduk, aku masih belum percaya masih ada sosok sepertinya, anak muda yang rela mengabdikan diri di tengah keterbatasan

Dia adalah Cut Darmayanti Sihombing,  sosok wanita muda yang berharap bisa kuliah di salah satu universitas idaman. Namun sayang, keterbatasan dana membuatnya untuk menjatuhkan pilihan menjadi seorang TKI di Malaysia, berharap gaji yang akan terkumpul kelak bisa digunakan untuk biaya kuliah. 2 tahun bekerja, wanita yang biasa disapa Yanti ini kembali ke Indonesia, hari itu langkahnya tertuju pada sebuah Daerah Bagan Kecamatan Percut Sei Tuan, bermaksud untuk berkunjung ke rumah kakeknya.  Betapa tak heran, setibanya disana, Yanti disambut oleh anak-anak yang datang dengan memasang mata heran. “ Saat itu saya berkunjung ke rumah Atok,  anak-anak mendatangi saya, dan kelihatannya mereka senang kalau ada orang kota yang datang”.Ujarnya

Timbullah rasa penasaran Yanti, mengapa anak-anak ini selalu berkumpul kala dia datang. Dia mulai melontarkan pertanyaan kepada salah satu anak, bertanya apakah dia tidak sekolah. Dengan lugu Si Anak menjawab bahwa dia tidak bisa baca. “ saya gak bisa Buk, sudah 2 tahun tidak naik-naik kelas, saya malu.” Kenang wanita kelahiran 12 Februari 1985 itu. Belum lagi jawaban seorang anak yang mengaku tidak pandai mengaji dan baca Alquran, bahkan seorang warga mengaku pada Yanti, di daerah itu sudah 20 tahun tidak pernah ada sekolah mengaji.

“ Kalau ibuk buat sekolah mau gak?” tanya Yanti, alumni MAN 2 Model Medan pada anak-anak daerah Bagan, kala itu. Mereka menyambutnya dengan semangat, dari mulut ke mulut sampailah berita itu, didengar oleh anak-anak yang lain. Kerena melihat semangat mereka, mulailah dia bingung, bagaimana bisa membuat sekolah, sedangkan dana yang dihasilkannya dari bekerja menjadi TKI sejatinya akan digunakan untuk biaya kuliah.

Tidak ada cara lain, Yanti wanita mudah yang seharusnya duduk di bangku kuliah seperti anak muda lainnya, berfikir maju. Dia memutuskan menjadi TKI untuk kedua kalinya ke Malaysia, gaji pertama kali yang dia dapat sudah dibelikan sebidang tanah. Kali ini gaji sebagai TKI keduanya ini akan dialokasikan untuk membangun sekolah. Sebuah keputusan yang nadir, sulit ditemukan dalam jiwa-jiwa anak muda di zaman mutakhir.

Pantang Putus Asa

Sepulangnya bekerja dari Malaysia, Yanti  berhasil membangun sebuah gedung sekolah yang jauh dari kata mewah, gaji yang dihasilkannya selama menjadi TKI hanya bisa menghasilkan sebuah bangunan terbuat dari papan kayu kelapa. Tapi sayang,setelah bangunan berdiri, hanya ada beberapa anak saja yang berkenan masuk. “ sudah dibuat sekolah kok sedikit yang mau masuk, tapi saya gak patah semangat, ada juga yang bilang, sekolahnya ecek-ecek,” ungkapnya

Semangat muda Yanti masih terus menggebu, di tengah keterbatasan dan kemampuan dia tidak menyerah, mencari ide bagaimana nanti anak-anak di daerah bagan kecamatan percut sei tuan itu bisa tumbuh menjadi generasi yang bermoral. Saat itu hanya tersisa 5 murid, dan sekarang mencapai 100 orang. Entah bagaimana Yanti bisa bertahan dan  merelakan masa mudanya untuk mengabdikan diri untuk bangsa. Saat kebanyakan kita shoping dan jalan-jalan ke Mall, dia memilih untuk sibuk membimbing muridnya, berbagi ilmu dari pagi hingga malam. Jika pagi hari di isi oleh anak-anak TK dan siang hingga sore anak-anak SD, barulah pada malam hari anak-anak remaja yang datang ke rumah untuk belajar mengaji.

Sekolah Pintar; Dari Yanti Untuk Bangsa

Sepanjang jalan menuju lokasi tempat Yanti berkarya, kedua mata ini dimanjakan dengan pemandangan rumah-rumah panggung dari papan, dibawahnya tergenang air laut, pohon-pohon bakau masih tumbuh subur, begitu juga dengan pohon-pohon nipah. Berhentilah di depan bangunan yang sederhana, di depannya berdiri perosotan, ayun-ayunan yang jauh dari kata layak dan aman dan ngerinya tepat dibelakang bangunan, masih hijau hutan terbentang.

Tempat ini memang tidak terlihat seperti sekolah, tapi kenyataannya disanalah Yanti berbagi ilmu dengan puluhan anak didiknya. Dia senang dengan kegiatannya, masa mudanya dirasakan lebih berarti dari pada jalan-jalan atau kegiatan anak muda lainnya. Tempat ini dinamakan Sekolah Pintar, dia berharap anak-anak didiknya bisa merubah pola pikir hidup, bahwa sekolah itu penting dan belajar itu harus.

Aku sempat membayangkan, lebih tepatnya membandingkan, di kota Medan tempatku tinggal sebagai mahasiswa perantauan. Disana gedung-gedung sekolah terbangun megah, segala macam wahana mainan anak juga sangat mewah. Tapi disini, di depan mataku, anak-anak lugu, generasi bangsa ini berhimpitan, duduk lesehan untuk belajar. Itulah yang pernah membuat hati Yanti sedih. “ saya kadang kasihan melihat mereka belajar duduk dilantai dengan fasilitas seadanya, tapi mau apalagi, inilah yang bisa saya buat” kata Yanti.

Tidak ada rasa takut, jauh dari perkotaan, Yanti memutuskan untuk tinggal di Sekolah Pintar, sebab dia khawatir, terulang kembali kejadian dimana binatang seperti monyet datang dan masuk merusak isi rumah, termasuk fasilitas belajar dan buku-buku. Perlahan, seiring dengan berjalannya waktu, bantuan untuk melengkapi fasilitas bertambah, dari mulai meja belajar , buku-buku dan lainnya.

Seperti menonton kembali film Laskar Pelangi, sosok Yanti begitu mengagumkan dan membanggakan, niatnya untuk bisa kuliah harus dikurung sementara, ingatanya hanya diliputi dengan semangat mendirikan sekolah pintar untuk anak-anak. Tidak peduli, bahkan jika harus menjadi TKI kedua kalinya di Malaysia.

Semoga ada sosok-sosok anak muda seperti Yanti, tidak menyerah pada keterbatasan, jauh dari apatis, selalu optimis  dan dinamis. Di tengah kehidupan anak mudah yang hedonis, Yanti melupakan sejenak usia mudah untuk bersenang-senang dengan cara tampil mewah, bertidak anarkis dan berpoya-poya, bagi yanti cukup membuat dia senang, saat anak didiknya bisa membaca, semangat sekolah untuk masa depan yang cerah, biar cerah juga kemajuan bangsa.

Yanti, mungkin tidak akan terlihat di tengah-tengah anak mudah yang sedang nonton konser boy band korea, atau di bioskop di pusat perbelanjaan megah. Tapi Yanti terlihat di puluhan pasang mata anak-anak didiknya, dikenang sebagai pahlawan. Mengajarkan pada mereka arti masa depan. Membantu mereka pindah dari gambaran laut dan pantai, menuju wajah langit yang tinggi, dipenuhi bintang-bintang yang harus digapai.

Jika matahari esok masih cerah, langit masih biru menyapa. Yanti berharap, sekolah pintar bisa makin maju, fasilitas belajar bisa bertambah baik, agar anak-anak didik belajar di tempat yang laik, dengan hasil yang baik, untuk masa depan yang apik. Benarlah kata Soekarno, cukup sepuluh pemuda untuk mengguncang dunia, ciri pemudanya yang punya semangat seperti Yanti.

Last Updated on 7 tahun by Redaksi

1 komentar

  1. halo kak, terima kasih sudah ikut partisipasi dalam Lomba Artikel Inspiratif #Kartunet 2015. Sungguh kisah yang sangat menginspirasi. Salam kami untuk sosok mbak Yanti yang luar biasa itu. Silakan sebarkan tautan ke artikel ini via social media dan ajak sebanyak mungkin orang untuk Like, Retweet, dan beri +1 untuk jadi artikel terfavorit. Oia, mohon dilengkapi pula user profile khususnya di bagian biografi dengan deskripsi singkat diri kakak ya, agar lebih mudah dikenal oleh Kartuneters lainnya 🙂

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *