PELANGI DAN CINTA

Tanggal 27 Juni 1989. Tampak Andri tergesa-gesa menekan tombol-tombol telepon di wartel. Dia tampak tergesa-gesa menghubungi sebuah nomor.

“Assalamu alaikum…, Din, kini… kini… kini tercapai sudah cita-cita kita. Tercapai Din tercapai…,” kata Andri sambil berteriak kegirangan sambil menelepon Dini yang ada di seberang sana.

“Ada apa gitu bang? Ada apa kok sampai teriak-teriak begitu,” tanya Dini yang malah kaget karena teriakan Andri tadi.

“Kepala sekolah tadi bilang, berkas pengusulan pegawai negeri untuk para guru  honorer sudah disetujui. Itu artinya, saya akan jadi pegawai negeri Din. Alhamdulillah…,” jerit Andri kembali sambil tak terasa dia jatuh tertelungkup di meja telepon wartel itu.

“Alhamdulillah…,” suara Dini di sebrang mengucap syukur.

Dan tak terasa, air mata kebahagiaan mendengar berita gembira dari Andri itu membuat air mata Dini luruh.

“Aku…, aku…, aku sudah mengira pertolongan Allah ini akan turun bang. Allah tidak akan mungkin melupakan hamba-Nya,” lanjut Dini sambil menghapus air mata kebahagiaan itu.

“Betul Din, betul, Allah bersama orang yang sabar. Sungguh, Allah bersama orang yang sabar,,” ucap Andri dengan suara bergetar.

Kini terjawablah semua keraguan yang selama ini menghantui mereka. Setelah selesainya kuliah Dini beberapa bulan yang lalu. Pertanyaan keluarga Dini kepada Andri adalah bagaimana nanti Andri memberi nafkah kepada Dini? Berapa emangnya gaji Andri? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang belum bisa dijawab Andri dengan pasti. Andri sadar berapa gajinya satu bulan hanya cukup untuk dia hidup. Itupun dengan pas-pasan.

 

***

Tanggal 27 Desember 1989. Andri berdiri di pinggir sungai ditemani istrinya Dini Sarwani Hasibuan. Mereka berdiri menghirup segarnya bau tanah yang tersirami rintik hujan.

“Kamu sedang melihat apa istriku?” tanya Andri lembut sambil menggandeng tangan istrinya.

“Bang, aku sedang melihat indahnya pelangi di atas sana. kini aku bisa menjelaskan kepadamu bagaimana menghadirkan pelangi itu dalam hatimu.” Kata Dini seraya meremas tangan Andri pelan.

“Betulkah itu istriku? Betulkah kau bisa menghadirkan pelangi itu di hatiku?”

“Bang, bagaimanakah perasaanmu ketika dekat bersamaku? Bagaimanakah rasa hatimu ketika mengandengku seperti ini?” tanya Dini lagi tak menghiraukan pertanyaan Andri tadi.

“Aku merasa tenang, aku merasa tentram. Sejuta cinta seakan bergejolak di dadaku saat aku bersamamu seperti ini.” Jawab Andri sambil tetap menggenggam tangan istrinya.

“Terus, apakah engkau pernah meraba bagaimana bentuk cinta itu bang? Bagaimanakah kasar atau halusnya cinta itu dalam indra perabaanmu bang? Apakah kau juga bisa merasakan adanya cinta dalam hatimu?”

Andri tampak tercenung sejenak, tanpa sadar dia tersenyum.

“Din, aku tidak pernah tahu bentuk cinta itu seperti apa. Namun aku bisa merasakan bahwa cinta itu hadir dalam hatiku. Cinta itu tidak perlu diraba tapi pasti aku yakin ada dalam hatiku.” Jawab Andri sok puitis.

“Begitulah keindahan pelangi bang. Mungkin selamanya engkau tidak akan pernah melihat indahnya pelangi. Tapi rasakanlah indahnya ciptaan Allah itu dalam hatimu. Rasakanlah indahnya pelangi itu dari cerita indahku yang akan terus kubisikan kepadamu.”

***

 

Last Updated on 4 tahun by Redaksi

Oleh Fidi Rukmana

seorang tunanetra yang ingin terus belajar

2 komentar

  1. terima kasih untuk kontribusinya. Cerpen yang menarik. Namun ada baiknya dapat dibuat lebih ringkas dengan satu konflik dan klimaks cerita. Tetap semangat dan terus produktif berkarya 🙂

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *