Jakarta, Kartunet.com – “Dulu aku nggak ngerti, kenapa orang tuaku harus menepuk pundak dan berisyarat dengan gerakan tangan saat memanggilku. Padahal kalau bicara pada kakakku, pakai bahasa verbal.” dengan intonasi yang sedikit tersendat, Rachmita memulai ceritanya. Ia baru memahami keterbatasan pendengaran yang disandangnya ketika menginjak usia 9 tahun. “Waktu itu dikasih alat bantu dengar oleh dokter. Katanya untuk membantu komunikasi. Di situ aku baru ngerti kalau ternyata aku tuli.”
Mita, demikian sapaan akrabnya. Rachmita Maun Harahap merupakan anak keempat dari pasangan Masniari Siregar dan Ali Panangaran Harahap ini memang menyandang tunarungu sejak lahir. Meski empat di antara enam orang anak mereka menyandang keterbatasan pendengaran, Masniari dan Ali tidak pernah malu. Pada pertemuan dengan rekan-rekan kerjanya di Departemen Keuangan, Ali tidak pernah segan memperkenalkan anak-anaknya yang tunarungu. “Aku salut sama Ayah dan Mama yang selalu mengenalkan anak-anaknya pada siapa aja, walaupun kami tunarungu,” cerita Mita.
Pekerjaan sang ayah menuntut keluarga tersebut sering berpindah-pindah tempat tinggal, dari satu kota ke kota yang lain. Karena itu, sejak kecil Mita dan saudara-saudaranya pun terbiasa berpindah-pindah sekolah. Mita sendiri sempat bersekolah di SLB, namun kurikulum SLB yang lebih banyak mengajarkan keterampilan daripada akademis, membuatnya tidak puas. “Aku merengek minta dipindahin ke SD umum,” katanya.
Kelas 6 SD, Mita pindah ke sekolah umum. Meski awalnya sang ibu sempat khawatir putrinya itu tidak bisa mengikuti pelajaran, toh nyatanya Mita berhasil membuktikan kesungguhannya. Ia mampu lulus dengan hasil memuaskan di SMPN 6 Surabaya, kemudian dilanjutkan ke SMAN 1 Serang, di mana keduanya merupakan sekolah favorit saat itu.
Mita semakin percaya diri. Berbagai kegiatan ia ikuti, mulai dari les Bahasa Inggris, renang, tenis, sampai marching band. Suatu ketika, guru Mita mengajaknya ikut serta dalam sebuah kompetisi marching band. “Aku kaget. guru itu tahu kalau aku punya kekurangan, tapi aku diajak ikut serta dalam lomba,” ujarnya. Tak ingin menyia-nyiakan kepercayaan sang guru, Mita pun giat berlatih bersama teman-temannya. Tanpa disangka, wanita tunarungu itu berhasil meraih gelar mayoret terbaik dalam lomba Marching Band se-Jawa Barat tersebut.
Seperti layaknya lulusan SMA, Mita pun ingin melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Tes seleksi masuk jurusan Arsitektur Lingkungan IPB dan Kodokteran Gigi Universitas Indonesia gagal ia lalui. Mita sempat berpikir untuk berwirausaha, ia mencoba mengikuti kursus salon dan menjahit. Akan tetapi harapan sang ayah agar putrinya itu menjadi seorang sarjana, membuat Mita kembali ke jalur akademis.
Tahun 1990, Mita memilih universitas swasta Mercu Buana untuk meneruskan studinya. Mita yang mengambil jurusan Teknik Arsitektur kembali menikmati masa belajarnya. Terkadang, ia kurang memahami pelajaran karena penjelasan dosen di kelas yang tidak bisa ditangkap pendengarannya. Namun, teman-teman Mita bersedia membantu kesulitan belajarnya dengan meminjamkan buku catatan. Mita tetap mampu mengikuti pelajaran.
“Ayah, aku pengen ngelanjutin kuliah sampai S2.” Itulah sebuah permintaan yang pernah Mita utarakan pada ayahnya. Kondisi sang ayah yang sudah mendekati masa pensiun, ditambah lagi adik-adik Mita yang masih butuh biaya, membuat Mita harus memendam mimpinya. Namun, siapa sangka, rupanya Tuhan telah menyiapkan skenario indah untuknya.
“Seorang anak tunarungu-wicara, berhasil lulus tepat waktu, meraih predikat cum laude dengan menyandang gelar mahasiswa terbaik.” Itulah sepenggal kalimat yang terlontar dari mulut sang rector pada upacara wisuda. Tentu saja, Mita dan kedua orang tuanya terkejut, Bagaimana tidak, hanya Mita satu-satunya mahasiswa Mercu Buana yang menyandang tunarungu-wicara saat itu. Lebih terkejut lagi ketika ia diberitahukan bahwa prestasinya itu membuahkan tiket beasiswa S2. Mita bebas memilih universitas yang dia inginkan. “Ayah ‘kan udah mau pensiun, nggak ada biaya. Eh, tahu-tahu aku dapat beasiswa,” kenang Mita.
Kebanggaan pun terpancar jelas pada ekspresi Masniari, ibunda Mita, saat mengingat peristiwa tak terduga itu. “Waktu itu nggak tahu lagi deh perasaannya gimana. Bayangkan, dipersilakan ambil S2, ke mana saja boleh!,”
Lantas, tahun 1997, Mita pun resmi menjadi mahasiswa program Magister jurusan Desain Interior, ITB. Bukan hal mudah menempuh pendidikan di kampus favorit itu. Tidak seperti saat S1, teman-teman Mita di program Magister tampaknya enggan membantu dirinya yang tunarungu. “Gengsi kali ya, banyak saingan,” komentarnya. Tidak ada uluran tangan bukan berarti Mita patah arang. Ia tetap berusaha semaksimal mungkin menyelesaikan tugas dan melewati ujian. Usahanya berbuah manis, Mita lulus Magister Desain Interior di tahun 2000.
Perjalanan hidupnya memang tak pernah lepas dari dunia pendidikan. Pasca kelulusannya dari ITB, Mita kembali ke almamaternya, Mercu Buana. Ia menjadi dosen pada jurusan Desain Interior. “Aku satu-satunya dosen Desain Interior di sana. Aku yang usulkan pada rektorat supaya jurusan itu dibuka.” Ujar ibu dengan satu anak itu.
Meski menyandang tunarungu-wicara, Mita tidak menemui hambatan berarti dalam mengajar mahasiswanya yang nondisabilitas. Penjelasan Mita yang disampaikan dengan intonasi bicaranya yang tersendat, terbantu dengan multi media. Sehingga materi yang ia sampaikan dapat diterima dengan baik oleh mahasiswanya. “Ya, kalau memang rezekinya begitu, tentu nggak akan ada masalah,” komentar Masniari tentang pekerjaan putrinya.
Lima tahun Mita mengajar. Beberapa kawan Mita yang sama-sama bergelar Master telah diangkat menjadi pegawai tetap, tapi Mita masih menjadi pegawai kontrak. Mita memang telah memenuhi persyaratan, ia juga sudah lulus psikotes. Namun, pada hasil psikotes terlampir kalimat, “Komunikasi diragukan”. Wanita 43 tahun itu merasa ada diskriminasi. Dengan dorongan dari PPCI, Departemen Sosial, dan Komnasham, Mita terus mengupayakan haknya. Sejumlah peraturan perundang-undangan penyandang cacat ia kumpulkan untuk mendorong sang rektor agar mengangkatnya menjadi pegawai tetap.
Beberapa bulan berlalu, belum juga ada tanggapan. Mita mulai kehabisan kesabaran. Kembali ia datangi sang rektor, lantas berujar, “Bapak harus segera ambil keputusan. Kalau tidak, saya akan menempuh jalur hukum karena Bapak sudah melanggar undang-undang No. 4/1997 tentang penyandang cacat dan bisa dikenai denda Rp 200 juta.” Hasilnya? Satu minggu kemudian, ia diangkat menjadi pegaawai tetap.
Kemandirian wanita kelahiran Padang Sidempuan itu dalam hidup tidak membuatnya melupakan kaum tunarungu. Meski bekerja sebagai dosen, di akhir pekan Mita tetap aktif dalam kegiatan sosial bersama para tunarungu. Banyak tunarungu yang tak seberuntung dirinya dalam hal memperoleh pendidikan dan pekerjaan. Rasa ingin membantu sesama, membuat Mita memutuskan untuk mendirikan Yayasan Sehjira pada 5 Desember 2001.
Berbagai program ia jalankan di Sehjira. Mulai dari pengajaran bahasa isyarat, terapi wicara, pelatihan pembuatan CV, teknik wawancara kerja, dan sebagainya. Mita berupaya memotivasi tunarungu agar dapat memiliki rasa percaya diri untuk berbaur dalam masyarakat. Sehingga merepa dapat menjadi manusia yang mandiri.
Menurut Mita, pendidikan merupakan hal yang sangat penting. Mengingat masih minimnya kualitas kurikulum di SLB, Mita selalu mendorong teman-teman tunarungu untuk masuk sekolah umum. Ia tak pernah lelah menerapkan terapi wicara agar para tunarungu-wicara dapat berkomunikasi dengan masyarakat, sehingga dapat diterima di sekolah umum, baik itu sekolah inklusi maupun sekolah terpadu. Sebuah cita-cita pun tertanam dalam hati Mita. Ia ingin suatu hari nanti mendirikan sekolah ufntuk tunarungu, mulai dari TK sampai perguruan tinggi . (RR)
Editor: Herisma Yanti
salut buat bu Mita yang saat ini jadi komisioner KND