Ketika seorang siswa tunanetra yang mengikuti pendidikan integrasi/inklusi ditanya: ”Kenapa kamu bersekolah di sekolah umum?” Jawabannya adalah ”Saya ingin cari pengalaman”, atau ”saya ingin banyak teman. Saya ingin banyak bergaul dengan anak-anak awas (berpengelihatan) Alasan-alasan tersebut tidak salah. Memang seorang tunanetra perlu meluaskan pengalaman dan bergaul seluas-luasnya dengan orang awas, karena toh pada akhirnya mau tidak mau, suka atau tidak suka, tunanetra akan hidup bersama-sama dengan orang awas.
Namun sebenarnya ada alasan yang paling mendasar kenapa seorang tunanetra harus bersekolah di sekolah umum, yaitu persamaan hak. Semua manusia mempunyai persamaan hak dalam pendidikan, termasuk seorang tunanetra. Jadi ketika seorang siswa tunanetra ditanya alasan: ”Kenapa kamu bersekolah di sekolah umum?” Maka seharusnya jawaban yang pertama adalah: ”Tujuan Saya belajar di sekolah umum adalah karena saya berhak belajar di sekolah umum. Saya punya hak yang sama dalam pendidikan.”
Kalau alasan bersekolah di sekolah umum semata-mata hanya ingin bergaul dengan orang awas, rasanya alasan tersebut kurang tepat dan kekanak-kanakan. Juga alasan seperti ini sudah bisa dibantah. Toh buktinya tak kurang-kurang tunanetra yang bersekolah di SLB dari tingkat dasar sampai tingkat lanjutan yang mampu bergaul dengan orang awas. Mereka punya banyak teman dan punya pengalaman luas. Kalau Cuma ingin bergaul dengan orang awas, dengan ikut pengajian, grup band, dan rajin jalan-jalan rasanya kita sudah bisa punya banyak teman awas.
Berbeda kalau seorang tunanetra belajar di sekolah umum karena memenuhi haknya. Dia pasti punya semangat belajar yang tinggi. Dia akan mampu menghadapi segala macam tantangan dan rintangan. Hinaan dan cemoohan akan menjadi energi baginya untuk mencapai kesuksesan dan prestasi. Tanpa dicari pun, teman-teman awas akan datang dan menghargainya. Dan dia akan mendapatkan pengalaman yang berharga, yaitu pengalaman berjuang meraih kesetaraan yang bisa memotivasi orang lain untuk maju.
Dan yang terpenting lagi adalah ketika seorang siswa tunanetra sudah memutuskan untuk mengikuti pendidikan inklusi, dia juga harus berani mempertanggungjawabkan apa yang telah didapatnya pada masyarakat, yaitu dengan berani bekerja di tempat umum. Banyak siswa tunanetra yang belajar di sekolah umum, tapi ketika kuliah, mereka tetap saja memilih jurusan alternatif seperti jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB), karena kuliah di jurusan PLB mudah dan cepat lulus. Di samping itu mereka ingin setelah lulus bisa mengajar di SLB. Atau ada juga yang kuliah di jurusan umum, tapi mereka tidak mau mencari peluang kerja di tempat umum. Tetap saja mereka ingin mengajar di SLB atau di panti-panti tunanetra.
Bukan berarti kita tidak boleh mengabdikan diri pada teman-teman kita yang senasib. Tapi seharusnya kita berusaha dulu untuk menunjukkan pada masyarakat bahwa tunanetra pun punya kemampuan untuk bekerja dan berkarya bersama-sama mereka. Namuhn apa bila Tuhan menghendaki kita mengabdikan diri kepada sesama tunanetra, itu soal lain.
Tunanetra yang mengikuti pendidikan inklusi karena memenuhi haknya, pada akhirnya dia pun akan punya keberanian memenuhi haknya untuk bekerja di tempat kerja umum di mana pun bersama-sama dengan orang awas sesuai dengan keahliannya.
Apa hasilnya tunanetra mengikuti pendidikan inklusi kalau dia tidak berani mempertanggungjawabkan apa yang didapatnya pada masyarakat? Apa gunanya belajar di sekolah umum kalau pada akhirnya kembali lagi ke habitatnya?(Zulkifli)