Tuhan Saja Yang Baik

Ombak begitu tingginya pagi itu, lambaian angin seperti tangan yang mencengkeram siapa saja yang mendekatinya. Bahkan angin mulai mencari korban cengkramannya sebagai sesembahan pengabdiannya. Namun  tidak ada satupun orang yang berani keluar dari gubuk-gubuk kayu jati berdinding bilik, atau sekedar menengokkan mukanya. Sangat sepi tidak seperti biasanya, hilir mudik nelayan yang biasanya membawa hasil tangkapan semalam tidak terlihat. Mungkin cuaca yang sedang tidak bersahabat atau marah melihat tingkah laku manusia yang tidak mau bersyukur.

 

**********

 

Penduduk berkerumun di tepi pantai, memang matahari sudah mulai memperlihatkan kecantikannya. Setelah bersembunyi ketakutan melihat air langit berjatuhan dengan ganas tanpa memandang siapapun. Sesosok pemuda lusuh dengan robekan disetiap bajunya, terbaring kaku. Penduduk belum bisa memastikan dia masih hidup atau sudah menjadi mayat yang siap untuk dihanyutkan sebagai persembahan warga kepada Sang Pemilik Laut.

 

Kepala dusun yang hanya bersarung menghampiri pemuda itu, menatap tajam dan menempelkan tangannya pada daerah denyut nadi. Beberapa kali dicari tetap saja tidak ada tanda-tanda dia masih hidup. Beranjak ke hidung dan mencoba merasakan ada atau tidaknya udara yang keluar dari hidungnya.

 

“Pemuda ini sudah tidak bernapas”  teriak kepala dusun.

 

“Cepat, ambil perahu di ujung sana!”

 

Kepala dusun menatap Arman, salah satu penduduk yang dari tadi paling depan menyaksikan pemuda itu.

 

“Cepat, kau ambilkan perahu itu!”

 

“Ba… baaaaiiik Pak, tunggu sebentar.”

 

Arman pergi meninggalkan kerumunan penduduk sambil berlari hendak mengambil perahu yang terpaku sejak beberapa hari yang lalu. Pikirannya melayang-layang memikirkan perintah Kepala Dusun itu. Pertanyaan-pertanyaan yang secara sengaja mulai mengganggu pikirannya. Dia bingung untuk apa perahu itu, padahal ada seorang pemuda yang entah sudah mati atau masih sekarat butuh pertolongannya. Kondisi laut saat itu sangatlah tidak bersahabat, ombak belum lelah menari-nari. Tidak mungkin pergi ke kota yang ada hanyalah memberikan nyawa kepada laut.

 

Sesampai ditempat penepian perahu langsung saja dibuka pengikatnya dan menariknya menuju pemuda itu. Nafas yang sudah tidak teratur tetap memaksa menyelesaikan tugas Kepala Dusun. Siapapun tidak ada yang berani dengan dia. Keberaniannya menghadapi terjangan ombak paling ganas di usia yang belum beranjak 15 tahun hanya untuk menyelamatkan temannya yang tenggelam.

 

Di usia 17 tahun, penduduk mempercayakan kepemimpinan tertinggi di daerah tersebut. Bukan tanpa sebab, melainkan keberaniannya yang melebihi orang-orang dewasa. Sikap menolongnya yang tinggi tanpa melihat status atau apapun memperkuat keyakinan penduduk untuk memilihnya sebagai Kepala Dusun. Sebuah jabatan yang terlihat kecil, tapi penduduk begitu patuh dengan perintahnya. Bagi mereka melaksanakan perintah dari pemimpin adalah kepatuhan yang mutlak harus dijalankan. Bukanlah persoalan bagi mereka karena selama ini tidak ada satu pun perintah yang menyengsarakan atau merugikan.

 

Awal massa kepemimpinannya, Kepala Dusun itu langsung melakukan gebrakan dengan menjalankan tugas secara telaten. Sistem perekonomian yang mulai dibangun, ketahanan pangan yang langsung digalakkan. Tidak hanya membuat senang tetapi membuat heran seluruh penduduk. Seorang pemuda umur 17 tahun sudah mengerti perekonomian dan ketahanan pangan. Namun tidak ada satupun yang berani menanyakannya.

 

**********

 

Arman sekuat tenaga membawa perahu, penduduk lain mulai berhamburan membantunya. Kepala Dusun langsung mengangkat pemuda itu. Perahu mulai di arahkan ke laut untuk membawa  pemuda tersebut menuju kota.

 

“Siapa yang mau ikut saya? Dia masih bisa hidup.”

 

Menatap setiap penduduk dengan penuh ketergesaan, lama tidak ada jawaban. Jelas saja tidak ada yang berani, melihat ombak yang masih ganas untuk dilewati. Langsung saja dibawa pemuda ke kota untuk berobat ke kota karena belum adanya dokter di daerah tersebut.

 

Penduduk heran dengan sikap Kepala Dusun yang berkata pemuda itu sudah tidak bernafas, justru hendak dibawa ke kota dan berobat disana.  Bahkan yakin kalau dia masih  hidup.  Keheranan penduduk tidak berlangsung lama, melihat seringnya Kepala Dusun melakukan hal-hal yang aneh.

 

Seminggu berselang Kepala Dusun tiba di kampungnya dengan membawa pemuda yang terlihat lebih baik dibandingkan ketika terbujur kaku seminggu yang lalu. Penduduk berhamburan menolong Kepala Dusun dan pemuda tersebut. Tangan pemuda  disandarkan pada kain yang diikat pada bahunya. Kemudian dibantu oleh penduduk kerumah Kepala Dusun. Sesampainya dirumah, rebahanlah pemuda itu dengan kondisi badan belum begitu bugar.

 

Malam hari, seperti biasanya sebagian penduduk sudah mulai bernelayan karena ombak sudah mulai tenang. Penduduk berkeyakinan ombak kembali bersahabat setelah dikalahkan oleh Kepala Dusun. Namun tidak ada satu pun yang berani memastikan kebenarannya dan hanya menjadi topik pembicaraan penduduk.

 

Pemuda itu bangun dari tidur lelap sejak tadi siang. Untuk bangun masih harus dibantu. Sejak tadi Kepala Dusun menungguinya, meninggalkan kebiasaan tugasnya yang tidak pernah absen mengontrol sekitaran rumah penduduk. Berbeda kali ini, tubuhnya tidak beranjak dari kursi tua semenjak tertidurnya pemuda itu.

 

Beberapa hari berselang, kondisi badan pemuda itu mulai membaik. Tangannya sudah beranjak sembuh. Bahkan mampu membantu penduduk sekitar memotong kayu untuk bahan bakar sehari-hari. Sementara Kepala Dusun kian hari semakin berkurang keceriannya, terlihat jelas dimatanya ada rasa kegelisahan dan ketakutan.

 

“Pak, saya sudah mulai membaik”

 

Pemuda itu mengagetkan lamunan Kepala Dusun.

 

“Bagus kalau begitu, jangan terlalu banyak gerak. Tangan Kau belum sembuh betul itu.”

 

“Siap Pak, oh iya saya belum memperkenalkan diri. Nama saya Sartana.”

 

Kepala Dusun kaget dan terlihat sangat gelisah.

 

“Sartana……. Hmmmm nama yang cukup bagus.”

 

Sartana beranjak menuju rumah Kepala Dusun dan mencari sesuatu yang hilang miliknya.

 

“Kotak itu ada didalam lemari, ambil saja pasti kamu mencari barang itu.”

 

Suara yang tidak begitu tegas mengagetkan pencarian Sartana.

 

Tanpa berpikir panjang diambilah kotak berukuran sedang yang masih lengkap dengan kain penutupnya. Kemudian Sartana menceritakan betapa berharganya kotak itu.

 

Kotak yang  berisi sebuah pisau merupakan titipan dari orang tuanya ketika hendak meninggal dunia. Mereka meminta untuk membalaskan dendamnya kepada orang yang sudah menghancurkan hidup orang tua Sartana, bahkan sampai membunuhnya. Sebelum meninggal ibu Sartana sempat memberikan pesan. Malam sudah sangat larut, sehingga cerita pun terpaksa dihentikan dan mereka tertidur dalam satu ranjang.

 

Pagi terasa begitu bersahabat, kicauan burung dari tadi menghantarkan nelayan yang baru tiba dari laut dengan membawa segala macam ikan untuk dijual. Matahari sudah tidak malu lagi memancarkan cahayanya hingga menembus jendela terbuka rumah Kepala Dusun. Cahayanya yang masuk membangunkan tidur Sartana, dia sudah tidak melihat Kepala Dusun. Biasanya Kepala Dusun setiap pagi mengontrol pasang surut air laut. Entah dengan mantera atau ilmu yang tidak satupun penduduk tahu, Kepala Dusun mampu menenangkan laut seganas apapun.

 

Sartana menghampiri Kepala Dusun sekaligus hendak berpamitan untuk meneruskan perjalanannya. Kepala Dusun tidak bisa memaksa dia untuk tetap tinggal bersamanya, walaupun terlihat berat untuk berpisah. Sartana sudah seperti saudara kandungnya sendiri yang lama tidak berjumpa.

 

Perjalanan Sartana tanpa arah tujuan, setiap penduduk yang ia temui selalu ditanya dengan pertanyaan yang sama.

 

“Pak, tahu atau pernah mendengar laki-laki yang bernama Patrajasa?”

 

Ketika bertemu dengan seorang lelaki separuh baya.

 

“Maaf Nak, bapak belum pernah mendengar nama itu”

 

Beberapa kampung sudah ia lewati dan selalu saja jawabannya sama ketika ditanya tentang lelaki bernama Patrajasa. Sempat putus asa dan hendak kembali ke tempat asal untuk melanjutkan kehidupannya. Namun hal itu urung dilakukan setelah bertemu dengan seorang kakek yang sempat ia tanya tentang Patrajasa. Setelah mengucapkan terima kasih pada kakek tersebut, lantas ia langsung berlari dengan sekuat tenaga menuju perkampungan yang telah menyelamatkan hidupnya.

 

Malam kali ini begitu hening, bulan ataupun bintang tidak memperlihatkan sedikitpun kecantikannya. Semua langit tertutup awan hitam yang siap menghantam siapa saja dengan air hujannya. Tidak ada penduduk yang lalu-lalang, mungkin malam sudah sangat larut. Sartana kembali kerumah Kepala Dusun dan menancapkan pisaunya kepada Kepala Dusun yang sedang tertidur lelap.

 

**********

 

Ketika keputusasaan Sartana memuncak mencari orang yang hendak ia bunuh, pada saat itu ia di bertemu dengan seorang kakek yang sedang lewat. Tanpa basa-basi Sartana langsung menanyakan pertanyaan yang sama dari setiap orang. Sempat ia berpikir pasti jawabannya akan sama dengan penduduk yang lain. Namun tidak disangka-sangka kakek itu tahu siapa Patrajasa dan keberadaannya sekarang.

 

Kakek itu lalu menceritakan bahwa Patrajasa adalah warga seberang timur yang terbawa arus hingga sampai ke pulau ini. keberaniannya sangat terkenal seantero pulau ini. sekarang dia menjabat sebagai pemimpin di kampung sebelah utara pantai. Kaget bukan main ketika mendengar penjelasan kakek itu. Karena kampung tersebut telah menyelamatkan nyawanya, bahkan Patrajasa yang ia cari adalah Kepala Dusun itu.

 

Emosi yang semakin memuncak menutupi kebaikan yang sudah dilakukan oleh Kepala Dusun, bahkan Sartana tidak menanyakan kebenaran kepada kakek itu serta ketidaktahuan warga terhadap Patrajasa yang sebenarnya mereka sangat tahu. Pesan ibunya terus terngiang-ngiang, pesan sebelum tiba kematian kedua orang tuanya. Pesan singkat yang berisi:

 

“Nak, kamu adalah satu-satunya anak kami, tolong balaskan dendam kami kepada Pramunti dan keluarganya. Mereka telah mengambil harta dan kehidupan kita. Itu akan membuat kami tenang disana.”

 

Dalam pikiran Sartana tidak ada kata apapun kecuali pesan dari ibunya, sesampainya dikampung tersebut langsung ia bunuh Kepala Dusun.

 

Sebelum mati kepala dusun mengucapkan sebuah kalimat dengan terbata-bata:

“Sartana, Aku sebenarnya sudah tahu kedatanganmu kesini. Aku sudah mulai khawatir karena engkau akan membunuhku. Aku tahu Pramunti dan suaminya sudah mati dan Kau akan membunuh anaknya, yaitu yang bernama Mandula Patrajasa. Dan itu Aku.”

 

“Lantas kenapa Aku harus membunuh orang baik sepertimu?”

 

“Karena Pamunti telah mengambil harta terbesar orang tuamu yaitu Aku.”

“Maksudmu?”

 

“Aku sebenarnya adalah kakak kandungmu yang diambil paksa oleh Pramunti, karena sejak kecil dia mengasuhku, maka Aku tidak pernah mau disentuh oleh orang tuamu. Padahal mereka telah melahirkanku. Setelah Pramunti membunuh orang tuamu lantas kabur menyeberangi pulau dan di tengah perjalanan perahu itu oleng dan kami tenggelam. Hanya Aku saja yang masih hidup.”

 

“Kenapa penduduk tidak mengenal namamu, Patrajasa?”

 

“Aku memperkenalkan diri dengan nama Mandula, hidupku sudah akan berakhir. terimalah permintaan maaf Kakakmu ini yang tidak terus terang ketika Kau datang pertama kali kesini.”

 

Hujan turun begitu deras bersamaan suara petir yang memekikkan telinga. Ketika itu pula Mandula Patrajasa atau Kepala Dusun itu menghembuskan nafas terakhirnya.

 

Sartana begitu menyesali perbuatannya yang tidak berpikir matang dan hanya mementingkan emosi semata. Air matanya membasahi kepala Kakaknya itu, padahal sebelumnya ia berpikir bila telah membalaskan dendam orang tuanya tentu ia adalah orang yang sangat baik. Dalam penyesalannya dengan suara lirih ia berkata:

 

“Ternyata hanya Tuhan saja yang baik.”

Editor: Putri Istiqomah Priyatna

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

1 komentar

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *