Setiap orang pasti menginginkan kesempurnaan. Kesempurnaan hidup, keadaan, rencana, usaha, bahkan hasil dari usaha yang dilakukannya. Itu sudah tabiat manusia sebagai makhluk tuhan yang memang diciptakan dalam keadaan sempurna. Tetapi apakah kesempurnaan selalu didapatkan? Apakah tuhan selalu menciptakan manusia dalam keadaan sempurna? Mutlakkah jika seseorang yang memiliki kesempurnaan kelak akan menjalankan misi Tuhan di dunia ini? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berkejaran di benakku saat menatap sorot ketakutan di mata Uloh.
“Beraninya kau!” bentak Kang Sardun menahan amarah. ”Apa belas kasihan aku kurang cukup untuk membiarkanmu tetap hidup hingga kau mengadu pada kepala desa??!!”
Aku melirik Mang Deden, pria paruh baya itu masih mengatur napas. Ia menghampiriku dan berbisik panik.
”Mamang sudah berusaha agar Sardun tidak melakukan hal ini, tapi sepertinya ia tidak percaya kalau Uloh ingin kembali padanya. Ia tidak percaya kalau anaknya mampu untuk melakukan yang terbaik bagi keluarganya.”
”Saya mengerti, Mang, tapi Uloh akan semakin tertekan kalau Kang Sardun berbuat seperti ini! Haruskah menambah tekanan mentalnya dengan membawa dua orang tak waras itu?” Aku menatap punggung kedua orang yang membawa bambu runcing.
”Siapa mereka?!” tanyaku, sementara Uloh masih dibentak-bentak oleh ayahnya.
”Mereka saudara Uloh.”
Aku melangkah menghampiri keluarga Uloh. Ku coba untuk menenangkan diri, walau sebenarnya jengkel juga melihat perlakuan orang semacam ini pada anaknya.
”Kang, punten sabar dulu, Kang!”
Kang sardun menatapku galak.
”Sudah ku bilang jangan kau ikut campur masalah keluarga kami! Masih keras kepala juga!”
”Sabar, Kang, saya hanya berusaha meyakinkan Kang Sardun kalau Uloh ingin berusaha seperti apa yang akang inginkan.”
”Kamu teh gak mikir ya dia cacat, kakinya yang bengkak gak mungkin bisa di gunakan!”
Baru kali ini aku mendengar aksen sunda kasar dari mulut Kang Sardun. Ia benar-benar tak percaya anaknya bisa bangkit, ia sukar diyakinkan anaknya punya kemauan yang keras, semangat tinggi untuk bersatu dengannya. Aku meraih pundak Uloh. Ia ku dudukkan di batu besar yang mengarah ke telaga.
”Kang, duduklah yang tenang! Mari kita memecahkan persoalan ini dengan pikiran jernih.”
Dua orang saudara Uloh bergerak gelisah, bambu runcing ditangan mereka bergoyang mengerikan.
”Begini cara kalian memperlakukan saudara kalian!?” Sekilas aku menangkap kejijikkan diwajah mereka.
”Silaing pikir dewek hayang boga dulur ciga kitu!?” Salah seorang melotot ke arah Uloh.
”Kami tak sudi punya dulur yang memalukan keluarga Sardun!” timpal yang lain.
”Siapa kalian berani mengatakan itu!? Kalian nabi? Malaikat? Atau kalian mau mengaku titisan dewa?” Kang sardun nampak gusar melihat kedua anaknya ku bentak.
”Dan kau pikir kau siapa!? Berani-beraninya membentak putraku!”
”Saya memang bukan bagian dari keluarga Akang, tapi saya hanya ingin keluarga Sardun utuh dengan kehadiran Uloh!”
”Tanpa kehadirannya pun keluarga kami utuh!” Teriak kang sardun.
”Tidak! Abah bohong, kalau keluarga kita utuh, kenapa aku tidak melihat Umi disini? Dimana dia? Panggil Umi kemari kalau memang keluarga kita utuh, aku hanya melihat Abah, Idris, dan Yayat. Dimana umi?!”
Aku menoleh. Uloh terlihat menegang. Kemarahan terpancar kuat dari sorot matanya saat ia menunjuk satu persatu keluarganya. Kata-kata itu sepertinya lama ingin keluar dari nuraninya, ketiga keluarganya terhenyak mendengar kalimat Uloh yang terasa menusuk ulu hati dengan bambu runcing ditangan mereka.
”Umimu tewas gara-gara kamu juga, anak setan!” Caci kang sardun.
”Dia mati gara-gara ulah penya …”
”Tidak! Umi meninggal bukan karena saya, abah yang memaksanya agar membolehkan aku diasingkan!”
”Kau pikir kami sanggup menanggung malu punya anak cacat?? Aku dan umimu tertekan pu ….”
”Bukan Umi yang tertekan tapi Abah! Abah gak kuat nerima ejekan warga desa punya anak sepertiku! A …”
”Diaaaaam!” Yayat berteriak, aku agak terkejut nada suaranya terdengar perih dan aku melihat airmata menetes perlahan.
”Umii! Umii!” Panggilnya lirih
Suara itu! Ya, suara yang memberitakan kerinduan seorang anak, suara yang hampa, sepi, tersiksa dalam keterpurukkan keluarga. Yayat melempar bambu runcing di tangannya. Sorot matanya menunjukkan keraguan untuk menyudutkan Uloh, ia tersungkur meraung-raung terus memanggil uminya.
”Yayat, kunaon silaing!?” Teriak Kang Sardun.
Ia menghampiri Yayat seraya berusaha memegangi anaknya.
”Lepaskan aku, aku ingin Umii! Kang Uloh panggil Umi sekarang, bilang sama Umi aku rindu sama dia, aku gak kuat lagi hidup bersama Abah, ayo Kang Uloh! Panggil Umi!”
”Yayat, eling! Eling! Kenapa kau?” Idris mencoba menenangkan adiknya.
Yayat bangkit sambil terisak.
”Sudah lama aku gak dengar panggilan Umi di rumah kita, Abah! Sudah lama aku tidak mendengar suara bacaan qur’an Umi. Aku kangen, kangen waktu aku sama Kang Uloh dinyanyiin kidung pujian kalau mau tidur, kangen sama gula aren bikinan umi. Apa Abah sama Kang Idris gak pernah ngerasain itu semua?!” Remaja itu berusaha mengeluarkan beban hidupnya selama ini.
Kang sardun duduk lemas di tanah, kepalanya tertunduk sambil terisak. Idris menerawang jauh, wajahnya mulai hanyut dalam kesedihan ia pun menangis. Uloh mengamati ketiga keluarganya dengan pandangan sayang seorang anak kepada Abahnya dan perasaan kasih dan cinta saudara pada adik dan kakaknya. Uloh berjalan susah payah menghampiri Yayat.
”Kamu kangen sama Umi?” Tanyanya sambil mengusap ubun-ubun anak itu.
”Aku ingin Umi hadir di acara wisuda kelulusanku nanti, Kang! Aku mau mencium tangannya waktu dia ucapkan selamat padaku.” isakan Yayat semakin keras.
”Kau sekolah?” Yayat mengangguk.
”Sekarang sudah lulus Kang, sebelum Akang di pasung disini saya bertekad untuk menggantikan posisi Akang untuk mengangkat derajat keluarga kita dengan bersekolah.”
”Kenapa tak ada yang memberitahuku kalau kamu sekolah?” Nada miris terdengar dari suaranya.
”Tadinya saya nyuruh Teh Aas buat ngasih tahu akang sekalian nganterin koran. Tapi …” Yayat enggan melanjutkan kalimatnya.
Aku dan Uloh mulai memahami maksud keengganan itu. Uloh melirik Kang Sardun ketika kurasakan tepukan di pundakku.
”Biarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri, sebaiknya kita agak menjauh dari tempat ini.” Mang Deden mengajakku menjauh.
Kami mengawasi keluarga Uloh dari tepi gubuk. Disini masih ku dengar percakapan keras mereka. Uloh tak kuasa menahan diri untuk tidak membentak ayahnya.
”Teganya Abah sampai tidak memberitahu saya keberhasilan Yayat di sekolah. Terlalu hinakah saya sampai gak boleh mengetahui keberhasilan adik sendiri!?”
Suasana menjadi hening.
”Saya terima kalau selama ini kalian mengasingkan saya di tempat ini, tapi kalau sampai tidak ngasih tahu keberhasilan adik saya bisa sekolah ???” Dengan susah payah ia menghampiri idris.
”Aku bisa terima, Dris, kau membenciku, silaing boleh membenciku sampai kapanpun, sesukamu! Tapi beginikah caranya? Aku pun berhak tahu Yayat sekolah!”
“Maafkan saya Loh, saya merasa itu tidak perlu. Kamu sebagai orang terasing rasanya tak harus mengetahui berita membanggakan itu.” Idris bergetar mengucapkan kalimat halus yang tak pernah terlontar untuk Uloh dari mulutnya.
”Baik, saya bisa terima semua itu! Tapi saya ingin tahu sikap Abah dan Kang Idris setelah mendengar ungkapan perasaan Yayat!”
Uloh mencari sosok aku dan Mang Deden. Ia menghampiri kami dengan ekspresi wajah penuh emosi. Berbagai macam perasaan bergolak dalam batinnya, senang karena keluarganya mulai memahaminya, sedih karena ibu yang dikasihinya kini harus melihat momen penting ini di alam sana, geram karena berita adiknya yang tak pernah sampai ke telinganya. Uloh merangkul Mang Deden. Ia menangis terisak dalam dekapan orang tua itu.
”Gusti Allah akan mengabulkan do’amu, anakku!” Mang deden mengusap ubun-ubun Uloh layaknya anak sendiri.
Aku mengambil sebuah boneka semar karya Uloh, melangkah menghampiri kang Sardun seraya menyodorkan boneka itu.
”Ini buatan Uloh, Kang!” Ia mengamati boneka ditangannya, sekilas seringai tawa tersungging dibibirnya.
”Boneka di tangan Kang Sardun, dan puluhan karya Uloh yang lain kelak akan memperbaiki nasib Uloh juga keluarga. Yang Uloh butuhkan hanyalah dukungan Akang, dorongan semangat Akang, juga keluarga Akang mau nerima dia. Tidak selamanya orang cacat itu buruk Kang, Akang pikir dulu saya mau punya keluarga cacat? Kan akang sendiri yang mendorong saya untuk menerima Kak Ilham apa adanya. Nasihat akang sekeluarga amat berjasa buat saya. Andai keluarga Akang tidak menyemangati saya untuk terus melatih Kak Ilham menjalani hari-harinya, mungkin Kak Ilham sudah diasingkan bahkan dipasung!”
Kang sardun terisak semakin keras.
”Uloh bisa disembuhkan Kang, saya yakin itu! Kalaupun tidak, akang harus ngasih semangat sama Uloh. Semar ini jadi saksi perjuangan Uloh Kang, percayalah putra Akang kelak akan membanggakan Akang!”
Ia bangkit lalu berlari kecil menghampiri Uloh. Ayah anak itu bersitatap, kang Sardun mendekap erat anaknya.
”Saya janji, kepergian Umi akan saya jadikan pelajaran untuk bangkit. Saya akan berusaha membanggakan keluarga kita.”
”Iya anaking, hampura Abah nya? Ayeuna Abah rek narima kaayaan anjeun ciga kumaha oge.”
Kami duduk di beranda rumah Uloh. Mengelilingi ubi bakar ditemani air gula aren dan rujak kawung. Uloh menceritakan pengalamannya selama diasingkan pada kami. Aku memperhatikan dengan seksama ketika Kang Sardun memaparkan kisah kepergian Umi Uloh.
”Saya benar-benar menyesal sekaligus marah. Menyesal karena sudah mengecewakan istri saya, keinginannya yang terakhir untuk tidak memasung Uloh saya tolak. Sejak kalimat terakhir keluar dari mulut Umi saya bersumpah tak akan mengakui Uloh sebagai anak. Makanya, Uloh saya asingkan di hutan wangun. Selama tiga tahun keluarga ini tak pernah menganggap keberadaannya, kecuali Yayat dan Aas, sepupu Uloh yang sesekali mengantar makanan dan koran. Terimakasih Jang Kakman, kamu sudah nyadarin Akang!”
”Sama-sama Kang, mudah-mudahan Akang bisa mendorong semangat Uloh!”
Kami terus berbincang diiringi tawa dan gurau, tak terasa hingga kami mendengar kumandang azan magrib di surau.
Terjemaahan:
Kunaon= kenapa
Silaing= kamu dalam aksent sunda kasar
Anjeun= kamu dalam aksent sunda halus
Oge= kata penghubung dapat diartikan “juga”
Rek= kata penghubung, dapat diartikan mau sebagai kata tanya
Hoyong= dapat diartikan ingin dalam aksent sunda halus
Eling= sadar, biasanya digunakan ketika membaca kidung pujian
Dalam kalimat:
”silaing pikir dewek hoyong boga dulur ciga kitu!?” dapat diartikan:
”Kau pikir kami ingin punya saudara seperti dia!?”
Dan dalam kalimat:
”iya anaking, hampura abah-nya! Ayeuna abah rek narema kayaan anjeun ciga kumaha oge.” Dapat diartikan: ”Iya anakku, maafkan Ayah ya! Mulai sekarang Ayah akan menerimamu walau bagaimanapun keadaannya”. (Senna)