Ceritaku (3-4)

Hai, ketemu lagi denganku di hari yang cerah ini. Udara yang masih segar membawa efek positif bagi ingatanku yang langsung berjalan mundur melewati alur-alur waktu yang berwarna-warni dengan suka duka yang silih berganti. Seingatku aku sudah bercerita tentang awal perjalananku menuju dunia tunanetra. Kini saatnya bagiku melanjutkannya, yaitu ke akhir tahun 2004.

Ketika itu aku tinggal di rumah sakit selama dua minggu setelah menjalani operasi pengangkatan cairan pengganggu di kepalaku. Benar-benar masa yang tak terlupakan. Saat-saat aku harus bergulat dengan waktu yang terasa berjalan sangat lambat. Berkurangnya daya penglihatanku menjadikan aku merasa bahwa hari-hariku di sana dipenuhi kebosanan. Bagaimana tidak? Aku tidak lagi bisa menjalankan kegemaranku membaca.

Meskipun harus kuakui keadaan itu tidak selamanya membosankan. Sering aku mendapatkan mimpi-mimpi indah. Ingat bukan? Soal itu sudah kuceritakan di bagian kedua dari tulisanku ini. Mohon maaf jika aku terkesan memaksa, namun ini hanyalah untuk menjaga kesinambungan alur ceritaku.

Bukan itu saja. Orang tua dan saudara-saudara yang datang menjenguk secara bergantian membacakan berbagai hal untukku. Mulai dari koran, majalah hingga apapun yang dapat mereka temukan. Semua itu membuatku terhibur meski tidak seperti jika aku membacanya sendiri. Saat itu perlahan kusadari bahwa duniaku sudah berubah. Semula aku tidak begitu menyadarinya namun seiring perjalanan waktu aku tahu bahwa banyak sekali hal yang menjadi rutinitasku dahulu yang tidak dapat kulakukan lagi.

Contoh paling nyata adalah sekolah. Aku tidak bisa lagi pergi ke sekolah setiap hari seperti dulu. Karena itulah saat itu rasa sepi kian menekan. Teman-teman yang dulu biasa kutemui di sekolah kini tidak lagi bisa kutemui seperti biasanya. Sekarang mereka seperti suara-suara tanpa wujud yang hanya bisa kurasakan hadirnya jika mereka berbicara. Itu pun tidak setiap hari terjadi karena kesibukan yang makin menjadi di sekolah membuat mereka makin jarang mengunjungiku.

Lama-kelamaan aku mulai mengerti bahwa sekarang ini aku tidak lagi bisa berbuat sesukanya seperti dulu. Tidak bisa lagi aku berharap terlalu banyak karena dibatasi oleh kepentingan orang-orang lain. Demikianlah Allah telah memberiku pengertian dengan cara yang unik. Aku yang dulu hampir selalu berbuat sesukanya tanpa memedulikan orang lain di sekitarku sekarang mulai mengerti bahwa orang-orang lain pun memiliki kehidupannya sendiri sehingga dalam interaksi sosial di antara kami aku harus menghargai mereka sebagaimana aku memandang diriku sendiri.

Mereka pun punya kesibukan yang menyebabkan mereka tidak bisa datang terlalu sering walaupun mereka ingin. Begitulah, dunia memiliki batasan-batasan yang saling terkait antara satu hal dengan lainnya. Semua hal ada alasannya masing-masing dan tidak ada pilihan lain bagiku selain mencoba memahaminya agar tidak melukai diri sendiri dengan kekesalan dan berbagai prasangka.

Salah satu orang yang dapat kuharapkan akan datang setiap hari adalah pamanku. Beliau harus datang untuk memantau kesehatan Nenek yang pada saat itu tinggal bersama denganku, yang membuatku senang adalah kadang-kadang beliau membawa serta putra-putrinya yang kebetulan memiliki hobi yang sama denganku yaitu membaca. Dengan demikian mereka dapat membacakan buku untukku dan juga bercerita ini dan itu. Namun tentu saja sebagaimana lazimnya pelajar mereka juga sangat sibuk. Sekolah yang selalu menghujani mereka dengan segudang tugas itu mau tidak mau membuat mereka tidak bisa mengunjungiku setiap hari.

Pada saat sendirian itulah aku terpaksa mencari kegiatan yang bisa dilakukan untuk mengusir kebosananku. Tidak jarang aku marah-marah nggak jelas karena sudah tidak tahu lagi apa yang mesti kulakukan. Kondisi itu mendorongku untuk pasrah. Aku belajar menerima keadaan meski sulit sekali rasanya.

Satu hal yang paling membuatku terpukul adalah dugaan bahwa aku tidak dapat lagi melanjutkan pendidikan. Rasanya sudah kusebutkan di bagian pertama bahwa aku dibesarkan di lingkungan keluarga yang sangat mengutamakan pendidikan sehingga sejak kecil aku telah dibiasakan dengan berbagai target. Ambisi dan cita-cita yang tinggi bukan barang aneh lagi bagi pikiranku waktu itu.

Tidak hanya aku. Semua kerabatku seperti paman, bibi dan sepupu-sepupuku pun dididik dengan cara yang sama sehingga tidak mengherankan jika mereka dapat meraih prestasi yang mengagumkan. Ingin sekali aku seperti mereka. Sehingga saat itu aku sangat merasa putus asa. Aku merasa seolah dipaksa berpisah dengan cita-citaku. Itu benar-benar perasaan yang sangat berat. Namun orang tuaku terus memberikan dukungan moril kepadaku. Mereka bilang bahwa apapun yang terjadi harus disyukuri karena pasti Allah punya maksud tertentu dengan menjadikanku seperti ini. Bukankah Dia yang Maha Kuasa selalu mengajari makhluk-Nya dengan cara yang tak terduga? Pasti ada rencana Allah yang belum kuketahui.

Lama-kelamaan aku semakin mengerti apa maksud kedua orang tuaku. Namun salah satu sisi hatiku selalu memberontak dengan berkata bahwa aku harus melakukan sesuatu. Aku tidak bisa berdiam diri terus seperti itu. Hingga pada suatu hari aku nekat meminta pada Mama untuk dibelikan buku tulis dan pensil. Ya, teman-teman tidak salah baca. Buku tulis dan pensil. Saat itulah aku mulai menuliskan apa yang bergolak di pikiranku.

Tulisan yang sudah tergores di kertas itu tentu saja tidak dapat kubaca lagi namun apa peduliku? Yang penting aku punya kegiatan sekalipun hanya menulis sesuatu yang tidak bisa dibaca. Maksudku adalah tulisanku yang jelek pastilah tidak akan bisa dibaca oleh orang yang berpenglihatan sempurna sekalipun. Maklum, waktu itu aku sudah tidak menulis selama hampir dua tahun. Bisa dibayangkan bukan, betapa kakunya tanganku ketika itu?

Novel-novel terjemahan yang biasa kulahap sejak kecil memberi andil besar pada jalan cerita yang kutulis pada waktu itu. Sehingga saat itu aku terkejut sendiri ketika mencermati kalimat-kalimat yang bermunculan di otakku. Padahal ketika zaman sekolah tak sedikitpun terlintas pikiran untuk menulis. Kecuali cerpen yang kadang kutulis di sela-sela jam pelajaran. Ketahuan juga ya akhirnya, kalau aku ini kadang mencuri waktu di kelas. Tapi jangan khawatir karena itu kulakukan setelah guru meninggalkan kelasku.

Kurang lebih selama empat tahun aku menganggur di rumah dengan keseharian yang tidak jelas. Aku mulai frustasi dengan kehidupanku yang serba tidak jelas ini. Memang selama empat tahun itu orang tuaku membawaku berobat ke mana-mana, mulai dari medis hingga pengobatan alternatif. Capek sekali rasanya pontang-panting ke sana kemari sementara kehausanku akan kegiatan yang berguna tidak terpenuhi.

Suatu hari pamanku yang baru saja pulang dari mengantarkan istrinya yang mengalami glaukoma ke sebuah rumah sakit memberitahuku mengenai bagian Low Vision di sana yang merupakan tempat latihan bagi orang-orang yang memiliki kelemahan dalam penglihatan sepertiku. Singkatnya aku yang sudah menghentikan semua terapi pada waktu itu langsung meminta diantar ke sana untuk sekedar mencari info bagaimana aku bisa mengisi waktuku. Dari sanalah akhirnya aku berkenalan dengan Yayasan Wyataguna. Benar-benar surprise rasanya waktu aku dianjurkan ke sana oleh rumah sakit itu karena sebenarnya aku dan orang tua sudah mengenal nama yayasan tersebut sejak dulu. Bahkan Mama ketika masih menjadi mahasiswi salah satu sekolah tinggi di Bandung sering bermain bola voli di GOR yang terletak di dekatnya.

Ketika datang ke sana rasanya luar biasa. Ternyata banyak sekali yang bisa kulakukan di sana. Bahkan kemudian aku diberitahu bahwa aku tidak harus melepas cita-citaku. Dengan semua fasilitas dan usaha keras semua itu tidak mustahil untuk dicapai. Sejak saat itu duniaku kembali terang, aku benar-benar merasa bersyukur karena perkataan kedua orang tuaku dulu terbukti sangat benar. Memang jalan hidup manusia tidak bisa ditebak sebelumnya. Allah memang Maha Pemurah. Dia memberiku kesempatan untuk mengetahui sisi lain dunia, yaitu dunia tunanetra yang bagiku justru penuh dengan seluk beluk dan permasalahan yang menuntut kita semua lebih mengoptimalkan segala potensi yang diberikan Allah kepada kita. Sungguh, ini adalah hal yang tidak ternilai harganya. Selalu ada hikmah yang terkandung di balik segala sesuatu yang dialami manusia. Selalu ada jalan yang tersedia jika kita mau mencarinya. Demikianlah segala sesuatu yang dilandasi keikhlasan dan rasa syukur akan selalu terasa manis.

Satu hal yang kita semua harus pahami, tuhan tidak pernah tidur dan apapun yang ia berikan pada kita di dunia ini tak pernah di luar kemampuan kita. Selamat berjuang teman-teman, baik yang normal dan bisa menggapai cita-cita atau yang memiliki kekurangan tapi tak pernah menyerah. Nantikan bagian selanjutnya.

Editor: Putri Istiqomah P

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Oleh Cchrysanova Dewi

Chrysanova Prashelly Dewi adalah alumni Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Subang. Gadis yang mengalami ketunanetraan sejak berusia lima belas tahun ini gemar menulis, membaca, dan mendengarkan musik

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *