ANDAI DIA TAHU

Buat yang pernah jadi pemuja rahasia, pasti tahu rasanya jadi tokoh di #Cerpen ini. Apalagi di zaman ketika cinta masih bermodalkan sekantong uang koin Rp 100 untuk dapat mendengar suara yang terkasih dari kotak telepon umum. #KisahKlasikMasaLampau

Andira adalah wanita yang murah senyum, ramah, baik hati, dan cantik. Banyak orang yang menyukai kepribadiannya itu. para guru pun juga selalu memujinya dalam setiap kesempatan. Memang Andira wanita yang pantas mendapatkan pujian. bukan hanya cantik dan baik, ia pun juga  pintar. Tidak heran jika banyak laki-laki yang mendekatinya.  Berharap bisa menjadi pacarnya. Namun semua laki-laki yang mendekatinya selalu mendapat penolakan. Entah laki-laki itu pintar, tampan, atau kaya raya. Itu membuatku heran dan cemas, kalau-kalau aku pun juga akan ditolaknya.

pagi ini seperti biasanya aku duduk di depan warung seberang gerbang sekolah. tujuannya Cuma satu, yaitu menantikan kedatangan Andira. Seperti biasa, ia diantar menggunakan sepeda motor oleh kakak laki-lakinya. Andira tidak pernah berubah, selalu terlihat cantik meski sedang menggunakan helm. Kecantikannya itu terpancar dari setiap bagian dari dirinya. Apapun yang dikenakannya selalu terlihat cocok dan bagus dalam pandanganku.

“mau beli apa de?” tanya ibu warung kepadaku yang memang duduk di depan warungnya itu. “iya bu, saya mau beli helm.” Jawabku dengan spontan. “apa de?” tanya ibu warung dengan heran. “iya maksudnya mau beli helmnya Andira. Eh, bukan, maksudnya mau punya pacar.” aku jadi kikuk karna perhatianku yang sepenuhnya terserap oleh aura dari Andira yang baru saja turun dari motor dan sedang melepas helmnya.

“pagi-pagi kok sudah nglantur de. Sekolah dulu, baru mikiran pacar.” Oceh ibu warung sambil melayani pembeli. “untuk beli bakso saja masih minta orangtua, mau kasih makan anak orang pakai daun emangnya.” Ia melanjutkan. Namun aku sedikit pun tidak menanggapi ocehan si ibu warung, ngangguk pun enggak, mataku hanya terus tertuju pada setiap langkah dan gerak gerik yang Andira ciptakan. Saking kesalnya si ibu warung pun meneriakiku dan mengetuk-ngetuk panci dengan sodet pas di samping telingaku. tung, tung, tung, tung. “iya ampun, ampun bu!” ujarku terkejut, sambil menutup kedua telingaku, aku segera berlari dari warung itu menuju gerbang sekolah. “makanya lain kali siapin dulu modal, baru boleh lirik cewek, jangan maunya numpang duduk di sini.” Triak ibu warung kepadaku yang sedang menyeberang jalan.

Baca:  Kebahagiaan Selalu Menunggumu

Jam  istirahat pun tiba, Andira lekas merapihkan barangnya dan bergegas keluar untuk makan siang. Ini adalah waktu yang tepat. Aku harus langsung beraksi untuk melancarkan rencanaku. Aku segera melangkah ke meja Andira untuk menyelipkan surat di bawah mejanya. Pelan-pelan tapi pasti, aku terus melangkah semakin mendekati meja Andira. Sesampainya di meja itu, langsung kuselipkan surat itu ke kolong meja. “eh, apa ini?” ujarku terkejut. Kurogoh kolong meja itu, dan ternyata kutemukan banyak sekali surat yang menumpuk, dan sudah berdebu. Aku sangat terkejut. Jadi ternyata banyak sekali cowok yang menaruh surat cinta di bawah meja ini namun tidak ada satu pun yang dibacanya.

Minggu demi minggu pun berlalu, Andira tidak pernah membalas, bahkan membaca suratku. Mulai timbul pertanyaan dalam hatiku, mungkinkah dia jatuh hati? Seperti apa yang kurasa. Mungkinkah dia jatuh cinta? Seperti apa yang kudamba.

Suatu kali, dengan keberanian yang penuh aku akhirnya mencoba untuk menyapa dan menanyakan sesuatu padanya. “hai, kenalin, aku Angga.” Aku berdiri di depan kelas dan segera menyapanya ketika ia ingin masuk dalam kelas.  Ia menatapku ramah. Mata indah itu selalu memancarkan kedamaian dan pesona yang kuat. “hai.” Satu kata yang terucap dari bibirnya yang manis. aku pun jadi grogi, semua kata-kata yang sudah kususun dengan baik segera buyar. “aku Andira. Salam kenal ya.” Lanjutnya lagi sambil terus menatapku. ia menunggu jawabanku selanjutnya. Aku pun tetap terdiam, terus terdiam, sampai-sampai itu membuatnya heran dan berkata: “aku masuk dulu ya.” Dengan senyum yang menghiasi wajahnya, ia melangkahkan kakinya kembali untuk masuk ke dalam kelas. “eh, tunggu.” Aku yang telah tersadar dengan kebodohanku segera menyusulnya masuk ke kelas. ia menoleh, dan kembali tersenyum. “iya, ada apa?” tanyanya ramah.

Aku mengumpulkan segenap keberanianku untuk membuka mulutku, “boleh gak aku minta nomor telpon rumah kamu?” tanyaku singkat. Ia tidak menjawab dan hanya menganggukan kepalanya. Dengan rasa girang yang hampir meledak, aku segera berlari ke mejaku dan mengambil kertas serta pinsil untuk diserahkan padanya. ia pun mengembalikan kertas itu dengan nomor telponnya yang tercantum di atas kertas itu. betapa girang dan bahagianya aku berhasil menerima nomor telpon rumahnya itu.

Baca:  Nur the First Time

Hari lepas hari berlalu dengan cepat. Tidak ada pembicaraan apapun lagi diantara kami. aku hanya mengamatinya dari kejauhan. Bilahkah dia mengerti apa yang telah terjadi. Hasratku tak tertahan tuk dapatkan dirinya.  Tapi mungkinkah dia jatuh hati? Seperti apa yang kurasa. Mungkinkah dia jatuh cinta? Seperti apa yang kudamba.

hari ini adalah hari minggu. Sudah 3 minggu lewat setelah kejadian di kelas itu. kurasa ini saatnya aku untuk mengeluarkan kertas berisi nomor telpon rumah Andira. Kertas yang setiap malam kubelai-belai dan kupandangi. Kertas yang berisikan nomor telpon wanita pujaanku. Tuhan, yakinkan dia tuk jatuh cinta hanya pada diriku. Itulah doaku setiap malam sebelum tidur. Tanpa berlama-lama, aku segera membawa kertas dan sekantung koin 100 rupiah ke telpon umum yang ada di seberang jalan yang tidak jauh dari rumahku. Aku menghampirinya dan aku langsung mengambil gagang telpon, lalu memasukan koin 100 rupiah itu ke lubang telpon. Segera kutekan angka-angka di telpon itu sesuai dengan nomor yang tertera di kertas. Tut,.. tut… telpon itu tersambung dan tidak lama terdengarlah suara dari seberang telpon itu. “hallo.” Sahut orang diseberang telpon itu, itu bukan suara Andira, melainkan suara anak kecil. ini mungkin suara adik laki-laki Andira. “hallo juga. Kak Andiranya ada?”, “kakak Andiranya ada, tapi enggak bisa angkat telpon.” Jawab anak llaki-laki itu. “oh kenapa?” tanyaku heran. Tulalit…  tulalit… telpon itu diputuskan oleh lawan bicara di seberang sana.

Tut… tut… aku berusaha mencoba menghubunginya lagi. Tut… tut… tidak ada jawaban sama sekali. aku sedih dan heran. Kenapa Andira tidak mau menjawab telpon. Namun aku akan mencobanya lagi minggu depan. Aku akan mencobanya terus-menerus sampai Andira sendiri yang menjawab telponnya.

Beberapa minggu pun berlalu, Andira tidak pernah menjawab telponku. Selalu adiknya yang mengangkat telpon, dan selalu adiknya berkata hal yang sama. Selalu kata-kata itu yang kuterima, dan ketika kumencoba menelepon untuk yang kedua kali, selalu tidak diangkat.

Tidak terasa 2 tahun pun berlalu dengan cepat. Aku yang tidak pernah berhenti untuk menghubungi Andira setiap hari minggu melalui telpon umum yang terletak di seberang jalan. Andai dia tahu apa yang kurasa. Gumamku dalam hati sembari memandangi koin 100 rupiah yang ada digenggamanku. Pernah kuberpikir ingin berhenti melakukan semua ini. karna kutahu, percakapan di telpon pasti akan sama lagi. Hanya suara anak kecil saja yang terdengar. Dengan jawaban yang tidak pernah berubah. “kakak Andira ada, tapi enggak bisa angkat telpon.” Selalu itu dan entah mengapa selalu begitu.

Baca:  Sendiri..

Kami pun akan segera lulus dari SMA, dan Andira tidak pernah berpacaran atau terlihat menyukai cowok. Andira tetap ramah, tetap baik hati, tetap pintar, dan tetap disukai banyak orang. Meski sesekali kumemergokinya terlihat murung. Namun aku tidak pernah berani untuk berbicara atau menanyakan suatu apapun padanya.

Menjelang kelulusan kami, aku pun tetap dan selalu menelepon rumahnya setiap hari minggu. Entah mengapa meski sudah puluhan kali aku terus menemui kejadian yang sama, namun hatiku tak pernah ingin berhenti menekan nomor telpon rumah Andira, bahkan lama-lama aku pun mulai menyukai suara anak laki-laki yang selalu menjawab telpon itu dengan kalimat pembuka yang sama. Pernah satu kali anak laki-laki itu bicara hal yang lain, yaitu menanyakan nama dan tempat tinggalku. Aku tidak tahu untuk apa, namun waktu itu aku menjawabnya saja tanpa berpikir apapun.

Akhirnya kami pun lulus SMA dan tidak bertemu lagi. Aku pun memutuskan untuk berhenti menelepon Andira, lebih tepatnya lagi adik laki-lakinya Andira.

1 tahun berlalu, aku pun mendapatkan sepucuk surat. Nama pengirimnya membuatku terkejut sekaligus gembira. Nama itu selalu ada dalam hatiku. Bayangannya tak pernah sirna dari benakku. Siapa lagi kalau bukan Andira. Ya, Andira mengirimi aku surat. Mungkin ini adalah keajaiban dunia. Tanpa berlama-lama, aku membuka surat itu dengan sangat hati-hati. Seusai membacanya, tanpa sadar mataku sudah berlinangan air mata. Ternyata selama ini ia sudah punya tunangan. Ia dijodohkan oleh kedua orangtuanya untuk urusan bisnis. Ia selalu berusaha menutup pintu hatinya bagi setiap laki-laki yang menarik baginya.  Ia tidak berani dan tidak mungkin menolak perjodohan itu. ia merasa tidak berhak memilih masa depannya sendiri. Dalam surat singkat ini, ia meminta maaf karna tidak pernah bisa mengangkat telponku. Sebagai penutup ia mengucapkan terima kasih dan meminta aku untuk mendoakan agar rumah tangganya langgeng.

oh Andira, aku tidak menyangka bahwa ini adalah jawaban dari setiap pertanyaanku selama ini.  andai dia tahu apa yang kurasakan. Andai dia tahu bahwa dia akan selalu menjadi wanita pujaan dalam hatiku. Dia akan selalu kukenang sebagai wanita yang sempurna di mataku selamanya. Ya, andai dia tahu.

 

TAMAT

Download:

ANDAI DIA TAHU BY Grace Carolina

Bagikan artikel ini
Grace Carolina
Grace Carolina

Saya seorang disabilitas tunanetra low vision, dan saat ini saya masih seorang pelajar

Articles: 1

11 Comments

Leave a Reply