Aksesibilitas jadi dasar bagi siapapun untuk dapat hidup mandiri, berkembang, dan berkarya. Begitu pula yang dibutuhkan oleh penyandang disabilitas. Mereka perlu dipenuhi hak untuk dapat mengakses informasi fasilitas umum yang layak, layanan publik, dan berbagai hal yang dapat diakses dengan mudah oleh warga pada umumnya. Saat ini, meninjau infrastruktur fasilitas umum dan layanan publik di kota Jakarta masihlah jauh dari kata aksesibel. Hal ini yang mendorong kelompok bernama Barrier Free Tourism (BFT) Jakarta memohon audiensi dengan gubernur DKI Joko Widodo di Balai Kota (11-Juni) yang aku juga ikut di dalamnya.
BFT Jakarta adalah kegiatan swadaya yang digagas oleh beberapa penyandang disabilitas terdiri dari Faisal Rusdi, Ridwan Sumantri, dan Cucu Saidah yang kesemuanya pengguna kursi roda untuk mengajak “jalan-jalan” masyarakat umum bersama penyandang disabilitas menikmati fasilitas kota. Kegiatan ini diadakan sekali tiap bulan pada akhir pekan, dan sudah dimulai tahun lalu dengan total 15 edisi telah diadakan. Bukan sekedar “jalan-jalan”, BFT Jakarta mengajak masyarakat agar lebih mengenal dan berinteraksi dengan penyandang disabilitas, serta meninjau sisi aksesibilitas fasilitas umum yang seharusnya untuk semua warga, termasuk yang dengan disabilitas. Beberapa tempat sudah pernah dijajaki BFT seperti Monumen Nasional (Monas), Kota Tua, Trans Jakarta, Kereta Commuterline, Istana Keprisidenan RI, dll.
Kemarin lusa, BFT Jakarta mendapat undangan dari pihak gubernuran untuk audiensi langsung dengan pak Jokowi setelah beberapa lama mengajukan surat permohonan. Perwakilan yang hadir dari teman-teman disabilitas itu ada Cucu Saidah, Faisal Rusdi, dan mas Ridwan Sumantri (tunadaksa), ada pula bang Jonna (tunanetra) dari Majalah Diffa, dan bu Pingkie (nondisabilitas) sebagai volunteer tunarungu, serta Hadianti Ramadhani dan aku (tunanetra) dari Kartunet.com. Disepakati, topik yang akan dibahas bersama pak Jokowi adalah tentang aksesibilitas infrastruktur kota.
Ketika malam hari aku dihubungi oleh mas Faisal untuk ikut audiensi, dikatakan jadwal meeting pukul 10:30 WIB. Aku memutuskan pergi naik bus Trans Jakarta dengan ditemani Bimo adikku, baru setelah dari audiensi bergegas ke Hotel Shangri La untuk workshop mengenai perlindungan hak-hak penyandang disabilitas. Berangkat dari rumah sekitar pukul 08:30, baru jam 11:00 sampai di Balai Kota. Aku agak khawatir jika sudah terlambat dan perjuangan menaiki Trans Jakarta yang masih belum aksesibel terbuang sia-sia karena tak dapat langsung dialog dengan gubernur. Bukan tanpa alasan menggunakan Trans Jakarta menuju ke lokasi. Aku ingin sekali lagi merasakan moda transportasi yang sesungguhnya dapat dijadikan prototipe alat angkut yang aksesibel, akan tetapi gagal karena pembangunan yang “setengah hati” dan tak melibatkan penyandang disabilitas sejak awal.
Sudah hampir jam 11 siang baru sampai di halte Monas dan ternyata harus transit lagi ke satu halte yaitu Balai Kota. Bukan hanya infrastruktur yang belum aksesibel sehingga membuat penyandang disabilitas sulit mandiri menggunakan moda transportasi ini, jumlah bus yang masih terbatas menyebabkan lama menunggu setiap transit meski jalan relatif lancar karena jalur tersendiri. Sudah lebih dari pukul 11 baru memasuki area Balai Kota. Aku kembali gusar jika acara sudah bubar karena ketika datang ada beberapa orang tak dikenal membubarkan diri dari gedung pendopo Balai Kota. Ternyata, audiensi reschedule jam 11 dan pak Jokowi belum datang juga. Kami masih harus menunggu hingga pukul 12 siang baru ditemui oleh gubernur.
Ada yang menarik selama menunggu tersebut. Seperti biasa, setiap perwakilan disabilitas hadir selalu ditemui terlebih dulu oleh pihak dinas sosial atau kesejahteraan rakyat (kesra). Pada audiensi sebelumnya, beberapa bulan yang lalu dan aku tidak ikut, audiensi dilakukan dengan dua pihak tersebut sebagai pertemuan pendahuluan. Ini sebetulnya mindset yang masih salah ketika melihat disabilitas. Perspektif para birokrat, ketika ada orang “cacat” datang ke pemerintah, maka identik dengan ingin meminta sumbangan. Padahal kepentingank kami saat itu adalah untuk membahas soal aksesibilitas infrastruktur kota yang seharusnya ditanggapi oleh multisektor dari mulai dinas Perhubungan, Pekerjaan Umum, dll. Namun tetap, yang hadir menemui sebelum kedatangan pak Jokowi yaitu dinas sosial dan kesra.
Selain itu, karena sudah lama menunggu, salah satu oknum dari dinas sosial atau kesra menawarkan solusi untuk sekedar mencatat penjelasan yang diberikan teh Cucu danm as Faisal mengenai maksud kehadirannya saja, lalu nanti ketika bertemu pak Jokowi cukup salaman dan foto-foto. Namun, teh Cucu tetap menginginkan diskusi langsung dengan pak gubernur dan menjelaskan bahwa kami memang sudah mengalokasikan waktu hingga dapat bertemu beliau. Tentu ini sebuah upaya agar para dinas terkait yang masih belum memperhatikan mengenai aksesibilitas tidak kena koreksi dari pak Jokowi. Kami sudah datang jauh-jauh, menerjang macet Jakarta di selasa pagi, terus mau pulang tanpa menyampaikan secara langsung kepada orang nomor satu di DKI Jakarta itu dan hanya sekedar salaman dan foto-foto? Hai pak oknum, kami bukan ingin meminta sumbangan, tapi ada hal lebih mendasar dan penting dari sekedar itu. Semoga ke depan mindset seperti itu dapat hilang dari birokrat di pemprov DKI Jakarta yang sejatinya harus melayani.
Akhirnya, setelah lewat jam 12 siang, pak Jokowi keluar untuk menemui kami. Pembahasan dimulai dengan memperkenalkan BFT Jakarta dan track record kegiatan yang sudah mengadakan 15 kali “jalan-jalan”. Disampaikan pula beberapa hasil pantauan pada masih banyaknya fasilitas umum yang tidak akses bagi penyandang disabilitas. Seperti minimnya ramp untuk kursi roda, terlampau jauhnya pijakan untuk naik dan lantai bus Trans Jakarta, tidak berfungsinya lift pada jembatan Trans Jakarta, dll. Aku di sana juga menyampaikan bagaimana seorang penyandang disabilitas, ketika ingin mobilitas mandiri di Jakarta itu taruhannya nyawa. Melihat kondisi trotoar yang tidak memadai dan alat transportasi yang jauh dari ramah. Ada pula masukkan bahwa agar merubah persepsi yang selama ini menganggap jika mengakomodasi kebutuhan yang “normal” saja sulit, apalagi yang “tidak normal”. Bahwa seyogyanya fasilitas umum dan layanan publik yang aksesibel adalah hak seluruh warga, termasuk penyandang disabilitas. Persepsi yang harus dipakai adalah accessibility for all, karena tiap warga punya hak dan kebutuhannya masing-masing yang harus dipenuhi oleh pembuat kebijakan.
Oleh Pak Jokowi, dinyatakan bahwa upaya perbaikan aksesibilitas akan menjadi salah satu perhatiannya. Beliau menerima masukkan mengenai dimana saja fasilitas yang belum aksesibel. Namun ia tidak dapat menjanjikan banyak, karena fasilitas seperti Trans Jakarta dan Kereta Api sudah dibangun. Solusi terbaik saat ini adalah dengan melibatkan sedari awal pihak penyandang disabilitas pada proses pembangunan MRT yang sedang proses realisasi. Seperti di Solo, dimana pembangunan kota melibatkan semua pihak sejak proses peremcanaan hingga monitoring, sehingga mengakomodasi semua kebutuhan, termasuk penyandang disabilitas. Selain itu, pak Jokowi juga berjanji untuk ikut kegiatan “blusuan” bersama BFT Jakarta di awal Juli untuk secara langsung bersama penyandang disabilitas meninjau aksesibilitas infrastruktur kota. Beliau juga meminta agar BFT Jakarta diadakan pada hari kerja agar dapat sekaligus mengajak para dinas terkait, dan langsung dieksekusi.
Sosok pak Jokowi ternyata masih luar biasa dan mau mendengarkan. Pertama bertemu beliau ketika Indonesia Young Changemakers Summit (IYCS) di Bandung, Februari 2012. Aku jujur terharu dan salut dengan leadership pak Jokowi yang sederhana dan punya solusi-solusi cerdas untuk mengatasi masalah tanpa masalah. Semoga ke depan, meski kota Jakarta sudah cukup hopeless untuk perbaikan aksesibilitas, masih ada harapan pada pembangunan fasilitas-fasilitas baru yang kelak dibuat pemprov DKI. Semoga tulisan ini juga menjadi pengingat untuk kita semua agar selalu mengawal proses ini, dan bagi yang membaca, jangan lupa ikut blusuan bersama pak Jokowi pada seri BFT Jakarta di awal bulan Juli nanti. Agar pemerintah dan masyarakat tahu, bahwa pembangunan kota ini belum adil buat semua.(DPM)