Lelaki itu bernama Langit. Ia muncul kembali setelah sekian lama menghilang dari peradaban kami. Dulu ia kakak kelasku, di sekolah ini. Semenjak kehilangannya yang misterius itu, tak ada lagi siswa yang berani naik ke loteng sekolahan itu. Dan kini ia muncul kembali, dalam balutan seragam putih abu-abu yang tak lagi cling. Kemeja putihnya sudah mendekati warna lap dapur emak sehabis dicuci bersih, tetap kekuningan. Sepatunya pun jelas bukan merek converse atau filla. Tanpa merek, lebih mirip sepatu butut di pasar maling yang dijual hanya sepuluh ribu per pasangnya.
Namun tak ada yang berani membantahnya, guru sekalipun, ketika ia berbicara. Dan tak ada yang menegurnya saat ia mengisi meja terdepan di kelas dan meletakkan tasnya di bangku sebelahnya. Serakah juga ia, mengambil dua tempat. Dan lagi, itu tempat untuk teman-teman yang matanya minus. Yang tak bisa melihat dengan jelas ke papan tulis pada jarak normal. Tapi, sekali lagi, anehnya, tak ada yang berani menegurnya.
Banyak bisik-bisik di antara siswa tentang Langit. Ada yang bilang, dia bisa menghilang. Ada yang bilang, dia bisa berubah rupa menjadi kelinci yang bisa terbang. Namun Langit tak pernah menanggapi, meskpun jelas ia pernah mendengar bisik-bisik itu sesekali. Tak terlampau sering, karena kami tak pernah membicarakannya.
Setahuku, Langit itu siswa yang cerdas. Ia selalu bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan para guru, namun sebaliknya, tidak. Guru-guru sering disekak olehnya. Namun anehnya, beliau-beliau itu tak pernah protes. Atau menghukumnya. Sosok itu semakin misterius di hadapan kami.
Ketika Langit dipanggil kepala sekolah untuk mengikuti kompetisi siswa teladan, tak ada satupun dari kami yang heran. Semua maklum, dia jelas siswa paling pandai di sini. Bahkan mungkin dia bukan manusia. Ada yang bilang dia titisan burung hantu. Semua tak bergeming, hingga nama berikutnya dipanggil .
“Ellensi Puspita!”
Aku jelas kaget setengah mati. Siapa aku? Namun Langit kembali muncul, dan memanggilku.
“Ellensi?” ucapnya tegas tapi lembut. Aku tak tahu apakah dia menghipnotisku sehingga aku langsung bergerak mengikutinya, menuju kantor kepala sekolah.
Bercandaan apa lagi ini?
Sesampainya di kantor kepala sekolah, beliau langsung menyambutku bak putri.
“Silahkan, Ellensi, duduk” ucap beliau. Di meja sudah tersedia gelas minuman. Aku semakin bingung.
“Langit meminta kamu untuk jadi anggota timnya saat cerdas cermat nanti”
Aku hendak membuka mulut, protes, tapi anehnya, mulutku serasa terkunci. Langit menatapku sekali lagi, meminta persetujuan. Tanpa bisa kukendalikan, kepalaku mengangguk-angguk mengiyakan.
“Terimakasih nak Ellensi atas kesediaannya. Mulai sekarang, kalian berdua akan latihan pada jam ke tujuh dan delapan. Dispensasi tengah di urus. Kalian mengerti?” Aku dan Langit mengangguk.
“Kalian ini adalah aset berharga sekolah kita. Belajar yang tekun, harumkan nama sekolah kita”
Aku dan Langit kembali mengangguk. Kami pun keluar dari ruang itu tanpa suara, kembali ke kelas. Langit berbisik padaku,
“Terimakasih”. Aku hanya mengiyakan, karena tak tahu lagi harus bicara apa.
Maka terjadilah. Tiap jam ketujuh dan delapan kami belajar bersama di perpustakaan. Kadang dibimbing oleh Pak Ahyat, guru matematika itu, atau Pak Samsul, guru fisika itu, atau Bu Esti, guru biologi itu. Dan beberapa guru lain. Namun tanpa aku sadari, sudah seminggu ini kami hanya belajar berdua. Mungkin karena Langit dinilai lebih mampu daripada beliau-beliau itu, mungkinkah? Dan ketika aku mulai melamun, Langit selalu berkata,
“Ellensi?”
Satu kata itu cukup untuk membuatku kembali fokus pada hal yang aku baca. Pra kalkulus selalu menarik untuk dikerjakan. Aku tenggelam dalam keasikan, hingga tak sadar bahwa bel sekolah telah lama berbunyi. Hingga Langit memanggilku kembali,
“Ellensi?”
Aku terhenyak dan memandang jam dinding. Pukul tiga sore. Sudah lewat dua jam dari waktu pulang sekolah normalnya. Langit telah mengemasi tasnya sedari tadi. Melihat aku yang hanya bengong, Langit membereskan bukuku dan memasukkannya kedalam tasku.
Aku tersadar kembali. Kuambil tas itu dari tangannya dan aku beranjak pulang. Ia berjalan di belakangku. Entahlah, aku tak sedang ingin bicara sepertinya. Orang itu terus mengikuti di belakangku. Aku seperti tak peduli. Aku bersenandung kecil, menyanyikan lagu band-band yang sedang terkenal disini.
Hingga belokan terakhir menuju rumah, barulah aku tersadar. Langit tak lagi ada! Kemana dia, maksudnya, mengapa aku bisa tak menyadarinya? Tetapi aku berusaha cuek dan kembali berjalan. Pulang.
Esokk harinya Langit tak lagi muncul di kelas. Kembali beredar desas-desus lama, tentang rupanya yang mungkin ada dua wujud itu. Aku ingin membantahnya, namun tak berani. Entahlah, menurutku Langit itu orang yang baik-baik saja. Bukan penyembah berhala, atau pemuja setan. Rasanya ia orang yang biasa-biasa saja, kalau sedang belajar bersama. Pendiam, benar, namun pendiam tidak identik dengan kejaharan bukan?
Ketika sudah tiga hari Langit tak muncul, aku memutuskan untuk mencari di rumahnya. Mungkin ia sakit. Anehnya, tak ada guru yang mempermasalahkan absensinya. Aku tetap diminta untuk dispen pada jam ketujuh dan delapan. Namun kali ini aku tak dapat konsentrasi. Aku harus mencarinya sampai ketemu!
Setelah memperoleh alamatnya dari guru matematika, aku mengunjungi rumahnya.
“Permisi” ucapku sambl mengetok pintu pagar rumahnya. Keluarlah seorang lelaki yang sudah sepuh, namun ramah.
“Ada apa nak? Ada yang bisa saya bantu?”
Aku bingung, namun kembali melanjutkan, “Permisi Pak, benarkah ini rumahnya Langit?”
“Oh benar sekali, silahkan masuk Nak, kau temannya bukan?”
Aku mengangguk, dan mengikuti Bapak itu masuk. Tetapi aku bingung ketika Langit tak kunjung keluar. Setelah meminum sirup yang dihidangkan Ibunya Langit, aku kembali memberanikan diri untuk bertanya. “Apakah langit ada di rumah?”
Kedua orang sepuh itu hanya menggelengkan kepala.
“Apakah dia pergi?” tanyaku sedikit cemas
“Betul. Dia sedang menjalankan tugasnya. Hanya itu, katanya”
“Tugas?” ucapku bingung
“Ya” ujar mereka sambil menganggukkan kepala.
Aku semakin bingung. Aku pun minta diri dari rumah itu. Rumah yang menyimpan kemisteriusan Langit.
Setibaku di rumah, aku merasakan tetes-tetes gerimis turun. Aku memandang ke atas, ke langit. Biru cerah, yah, sudah seminggu ini langit cerah kembali. Namun, darimanakah gerimis tadi? Aku kembali mendongak ke atas. Tak ada satupun awan kelabu. Semuanya putih bersih.
Tak lama kemudian, senja mulai turun perlahan. Langit menjadi semburat oranye. Sungguh indah. Aku memandangnya berlama-lama. Ketika senja telah benar-benar turun dan oranye itu telah digantikan lembayung, aku pun memasuki rumah, mengerjakan tugas-tugas rumah sebelum kembali belajar untuk persiapan kompetisi itu.
Ketika lonceng berdentang sebelas kali, sadarlah aku bawa aku telah terlalu lama belajar. Pukul sebelas malam dan aku belum rehat untuk makan. Entahlah, rasanya tadi begitu nyaman, konsentrasi dengan anatomi tubuh manusia dan mekanika fisika. Begitu konsentrasi. Akupun segera merapikan buku dan menyiapkan makan malam untukku sendiri.
Aku beranjak tidur pukul dua belas malam tepat. Ketika hendak menutup gorden, terlihat kelebatan cahaya kilat kecil. Kecil saja, namun mengagetkanku. Entahlah, aku tak merasa takut. Sekalipun kemudian aku menyadari tak ada awan kelabu di atas sana. Misteriuskah? Aku malah merasakannya sebagai ucapan selamat tidur. Ya, aku akan tidur nyenyak malam ini agar besok tak terlambat tiba di sekolah.
Dan esok-esoknya, kejadian itu terus berulang. Aku menatap langit di atas sana, sebelum berkonsentrasi belajar. Dan entah, ah, rasanya sunggu nyaman dan konsentrasi. Semua hal yang kubaca dapat kumengerti dan kuingat dengan mudah.
Aku mulai mampu menjawab seluruh pertanyaan yang ditanyakan oleh guru. Teman-temanku perlahan mulai segan padaku, hanya itulah yang membuatku khawatir. Aku jelas mendengar bisik-bisik mereka bahwa Langit telah memberikan kemampuannya itu padaku. Padahal sungguh! Bertemu dengannya saja tidak!
Setelah seminggu absen, Langit akhirnya muncul kembali. Tak ada yang berubah dari penampilannya. Ia kembali duduk di bangku paling depan. Tak ada yang berubah, kecuali bahwa ia makin diam. Setiap guru bertanya, ia selalu menuggu aku yang menjawab. Jika aku terdiam cukup lama, barulah ia menjawabnya dengan suara perlahan. Dan entahlah, setiap kata yang diucapkannya untuk menjawab itu terpatri kuat dalam ingatanku.
Dispen kembali dilaksanakan di perpustakaan seperti biasa, dan dengan kembali hadirnya Langit, aku merasa lebih tenang. Kami terus belajar hingga habis waktunya. Terkadang lewat, namun ia selalu mengingatkanku.
“Ellensi?” tanyanya lembut.
Hari ini adalah hari terakhir sebelum lomba dimulai. Kami berangkat menuju asrama karantina untuk pelajar yang mengikuti kompetisi ini. Sepanjang perjalanan, kami tak berbicara sepatah katapun. Namun ketika bis ini berhenti, Langit mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. Benda bening yang terbuat dari kaca itu ditunjukkannya.
“Ini prisma.” Ucapnya pendek.
Kemudian ia mengeluarkan selembar kertas, ditadahinya prisma itu dengan kertas, lalu digerakkannya hingga menemukan sudut yang pas. Terlihatlah pelangi pada kertas itu. Aku memandanginya takjub. Tak apa-apa kami mendapat temapt yang silau cahaya, namun sunggu indah cahaya mentari itu terburai oleh prisma ini.
Setelah keheningan yang cukup panjang, ia kembali melanjutkan kalimatnnya.
“Aku sedang belajar membuat pelangi untukmu.” Setelah mengucapkan kalimat itu, muncul sedikit keraguan di wajahnya. Aku kaget, baru sekali ini aku memandang wajah seseorang dan membaca ekspresinya sedemikian teliti. Sebelum ia berkata apa-apa lagi, aku buru-buru menanggapi.
“Aku suka pelangi. Bianglala, aku senang menyebutnya demikian, itu gambaran keindahan bagiku”
Langit hanya mengangguk.
Tes hari pertama dan kedua berjalan lancar. Tinggal hari terakhir, besok. Setelah makan siang, aku benar-benar kelelahan dan terus tidur hingga sore. Ketika aku mencari Langit, ia sudah tak ada. Aku bingung. Aku mencoba belajar, namun rasanya tak ada satupun hal yang masuk di kepalaku.
“Kita cari angin sebentar yuk!” ajak Mitha, teman sekamarku. Aku mengiyakan. Dan sungguh, langit cerah sore ini setelah dua hari kemarin mendung. Aku memuaskan diri memandang langit itu sungguh-sunggu, birunya, indahnya. Dan tak lama kemudian semburat oranye di langit kembali muncul. Indah sekali. Oranye itu semakin kuat lalu kemerahan, makin merah, dan sebelum lembayung muncul, aku dan Mitha telah kembali ke kamar.
Lonceng jam berdentang sebelas kali, aku terkaget. Sungguhkah tadi aku dapat belajar serius? Akupun merapikan buku, memasukkannya kembali ke dalam tas. Aku ke ruang makan, beharap kalau-kalau masih ada sisanya. Dan memang, tepat sisa satu porsi. Aku menghabiskannya, dan meletakkan piringnya ke dapur.
Esoknya adalah kompetisi bidang mata pelajaran sosial. Aku tak tahu mengapa, rasanya tiap pertanyaan yang diberikan dapat kujawab. Hasil dari babak penyisihan bidang sosial menyatakan tim aku dan Langit boleh melanjutkan ke babak berikutnya, rebutan nilai. Ada sepuluh tim, untuk diambil empat tim menuju babak debat. Hampir seluruh pertanyaan itu dapat kujawab. Pertanyaan terakhir tak dapat kujawab, namun semua regu lain diam. Hening. Tiba-tiba Langit menekan tombol dan perlahan menjawab. Aku hanya melongo, dan ia menatapku sambil tersenyum pias.
Sesi debat bagian awal seolah takkan berakhir. Banyak kali aku tak mampu menjawab, namun Langit selalu menjawab. Sungguh, regu lawan tangguh dan mereka tak mau kalah. Ikhsan, anggota grup lain itu, sungguh mampu membuatku terdiam. Namun ia tak dapat membantah pernyataan Langit, hingga akhirnya kami dinyatakan dapat melanjutkan ke sesi debat akhir.
Rehat limabelas menit, kami bukannya berdiskusi, melainkan hanya terdiam. Dan ketika aku sadar kembali, Langit sudah tak kelihatan. Aku mencoba membiarkannya saja, lalu beristirahat sejenak di dalam salah satu ruangan di sana.
Ketika waktu rehat berakhir, aku keluar dari ruangan tersebut. Aku menarik napas dan memandang ke atas. Langit biru cerah dan awan-awan itu putih semuanya. Namun ada tetesan gerimis yang menyentuh bahuku. Aku hanya tersenyum, dan berdoa sebelum memulasi sesi akhir ini.
Aku duduk di kursi peserta final. Tak lama kemudian Langit sudah muncul di sebelahku. Tanpa bertanya sepatah katapun, aku menegakkan diri, bersiap untuk sesi ini.
Aku tak tahu mengapa tapi sesi ini begitu singkat. Awalnya, aku dan Ken, anggota grup lawan sempat berdebat seru kurang lebih lima menit. Namun saat ia mengajukan pernyataan yang telak dan aku terdiam, Langit mengambil alih. Ken hanya bertahan hingga tiga kali bicara lagi, lalu pada pernyataan Langit yang keempat, dia terdiam. Aku memandangi Langit dengan bingung, namun ia hanya tersenyum. Akhirnya grup kami dinyatakan menang. Tapi tak ada yang istimewa. Tak ada satupun orang yang bertepuk tangan atau berteriak. Semuanya hening. Dan tanpa aku sadari, Langit kembali hilang entah kemana.
Dalam perjalanan pulang, Langit telah kembali. Aku sedang melamun, memikirkan, betapa anehnya kejadian kemarin-kemarin itu. Seolah bisa membaca pikiranku, Langit berkata pelan.
“Kemenangan itu bukan apa-apa. Kita menang, artinya ada orang lain yang dikalahkan, yang kalah, atau mengalah. Ada banyak orang yang memberi kita kesempatan untuk menjadi orang yang disebut pemenang itu. Dan kalau kita, seandainya kalah, kita cuma menjalani takdir kita. Takdir untuk memberikan kesempatan kepada orang lain, untuk mendapat sebutan pemenang. Tak ada yang istimewa dari keduanya.”
Sungguhpun demikian, tingkahnya yang aneh telah membuatku terbiasa. Aku tak pernah bertanya, sampai hari ini, ketika kami menerima rapor semester pertama kelas tiga. Langit membawaku ke telaga.
“Apakah biru telaga ini bagus kalau dipasang di atas sana?” tanya Langit
Aku menggelengkan kepala. Biru mudanya mungkin sama-sama muda, tapi entahlah, di mataku, keduanya berbeda. Mungkin karena belakangan ini selalu mendung. Langit menatapku, mungkin ia menyadari sorotan mataku yang lelah dan bingung. Aku bisa terbiasa dengan tingkahnya, tapi tetap heran dengan pemikirannya. Sungguh, pikiran itu milik masing-masing pribadi semata.
“Sesungguhnya siapakah kau ini?” Pertanyaan itu tiba-tiba saja meletup keluar dari mulutku. Pertanyaan yang telah menunggu sekian lama di kepalaku, yang belum pernah berani aku tanyakan. Aku tak berani mendengarkan jawabannya, kurasa. Itupun kalau ia menjawab.
Langit menatapku kecewa.
“Kukira kau sudah tahu siapa aku. Aku Langit”
Aku terhenyak.
“Aku tahu namamu Langit, tetapi, siapakah kamu?”
Langit hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Sekarang, siapakah kamu?”
“Aku Ellensi. Ellensi Puspita”
“Itu namamu. Aku tidak bertanya. Tapi, siapakah kamu?”
“Aku pelajar SMA”
“Itu pekerjaanmu. Tapi siapakah kamu?”
Aku terdiam sebelum akhirnya mencoba menyawab. “Aku manusia”
“Itu wujudmu, kan? Kau berada dalam raga, bentuk seorang manusia, juga jalan pikir manusia. Tapi, siapakah kau? Aku tak menanyakan wujudmu.”
Aku cuma bisa diam. Entah mengapa aku mulai merasa khawatir. Langit memandangku tenang, sebelum melanjutkan lagi.
“Apakah kamu orang yang percaya dengan bisik-bisik orang lain itu?”
“Tidak”
“Apa kau masih bingung saat aku tidak hadir?”
“Ya”
Langit tersenyum.
“Sebentar lagi aku juga pergi. Tetapi aku tidak pergi, hanya wujudnya yang pergi. Nanti kalau kamu tak tahu jalan pulang, lihatlah ke atas. Dan kamu akan tahu. Tahukah kamu, aku ada untuk kamu, bukan untuk yang lain? Nanti, lihatlah aku di atas. Ohya, sebelum kita berpisah, baiknya kita bersalaman dulu” Langit menyalami tanganku, erat, meremasnya perlahan, sebelum panah pemburu hewan menembus kepalanya. Dan ia menghilang. Hanya angin seperti bertiup ke atas. Ke langit.
Kejadian itu sungguh membuatku takjub. Langit kini benar-benar cerah. Tetapi sungguh, birunya tak seperti biru telaga, biru, seperti yang aku bayangkan selama ini.
Akupun melangkah pulang. Entahlah, aku sama sekali tak tahu jalan keluar. Namun toh, aku sampai juga di rumah.
Seharusnya aku menyesal, menanyakan hal itu padanya. Tapi toh nasi telah menjadi bubur, semuanya sudah terjadi. Aku mencoba tidur, sebelum memulai semester baru minggu depan.
Kadang-kadang aku sungguh kangen dengan Langit. Langit yang aneh, yang misterius. Namun, setelah ia menghilang, tak ada lagi bisik-bisik tentangnya. Juga, tak ada lagi yang duduk di bangku paling depan itu. Seolah-olah ia ada, namun tak ada. Segalanya mencoba kembali normal, namun tetap tak normal. Setidaknya begitu, di mataku
Saat aku benar-benar kangen dengannya, aku memandang ke atas. Tanpa sengaja air mataku turun. Aku teringat semua saat-saat kami bersama. Orang yang selalu dibicarakan jeleknya. Orang yang tidak diberi ucapan selamat ketika menjadi pemenang. Orang yang, tak pernah dipuji. Namun juga tak pernah dibantah. Orang yang kuat, yang menyimpan semua cerita dalam dirinya.
Atau mungkin juga dia bukan orang.
Malam itu aku bermimpi. Kami kembali bertemu di telaga itu. Dan dalam mimpi itu, aku memaksa untuk ikut pergi dengannya. Ia menarik napas panjang.
“Maukah kamu menjadi matahari?”
Aku terhenyak. Sadar aku, aku tak sanggup.
“Sungguhpun aku hanya mampu menjadi lilin kecil” ucapku sambil terisak-isak.
“Jadilah lilin kecil, Ellensi. Lilin kecil yang menerangi seluruh dunia. Lilin yang tak pernah diperhitungkan cahayanya, namun menjadi penyelamat saat kegelapan. Lilin yang tak meminta balasan, yang menyala hingga ujung penghabisan sumbunya.”
Dan akupun terbangun. Hari telah pagi. Aku ingin menjadi lilin, sesuai pesannya.
Sungguhpun demikian, menjadi lilin itu sukar. Banyak kali nyalaku meredup diterpa kerasnya angin. Banyak kali orang yang ingin mematikan nyalaku. Tetapi aku tetaplah lilin. Menerangi, dan menyinari kegelapan, mengusirnya dan mengahdiahkan cahaya. Kejujuran mungkin produknya yang paling berharga. Namun sungguh, sukar sekali.
Kalaupun hasil ujianku ini yang terbaik, tak berani aku berbesar kepala. Perkataan Langit terus terngiang di kepalaku. Kemenangan itu, bukan apa-apa. Tak ada yang istimewa. Hanya saja orang lain memberi kita kesempatan untuk menang. Sungguhpun itu tujuan manusia, berbesarkepala bukanlah cara yang tepat untuk mensyukurinya. Tepuk tangan boleh membahana, tapi kemenangan, belumlah apa-apa.
Tahun-tahun berlalu. Kalaupun aku sekarang menjadi orang yang dianggap berhasil, aku bukan siapa-siapa. Setiap wartawan yang menanyakan apa rahasiaku, kiat-kiatku, ingin sekali kujawab, Langit! Tapi apa daya, rahangku seakan terkunci. Kata-kata yang keluar hanyalah, berusaha keras, bertanggungjawab. Dan yang kemudian juga terpikir olehku adalah, menjadi rendah hati di setiap keadaan. Banyak orang berusaha menirunya, namun belum sanggup mengimplementasikannya. Mereka melupakan kejujuran. Cahaya kebenaran. Banyak pula yang berucap, orang-orang seperti aku hanyalah beruntung. Tidak salah. Lalu mereka menyesali hidupnya. Itu salah. Sungguhpun aku hanya bajingan yang beruntung, aku rindu pada Langit.
Gerimis perlahan menyentuh bahuku, makin deras dan deras. Hanya gerimis. Matahari bersinar di belakangku, yah, sungguh aku hanyalah lilin. Dan didepanku, pelangi mulai merekah, seindah, rasa terimakasihku, pada Langit!
Meski Langit bukan manusia.
(7 Juni 2012)
Editor: Putri Istiqomah priyatna