Madu dan Zaitun

Perkampungan kumuh. Di tengah menjulang tingginya bangunan megah bak singgasana. Deretan rumah beratap seadanya. Terlihat rumah kardus diantara deretan rumah itu. Rumah kardus itu dihuni oleh dua bocah. Mereka tak punya sanak saudara, apalagi ayah dan ibu. Keduanya setiap hari jualan asongan di rel  ibukota.

Entah siapa yang membuang keduanya. Mereka ingin menuntut tapi pada siapa? Adakah yang peduli dengan nasib mereka? Ahh…rasanya akan diacungi jempol jika ada yang prihatin dengan kondisi mereka. Menangis? Sampai kapan mereka harus menangisi nasib? Takdir? Huuh…patutkah takdir-Nya disalahkan?

“Kemana jalur hari ini, Du?” Zaitun melirik Madu yang lagi asyik menyusun dagangannya di kotak kardus kecil.

“Tempat biasa, tapi jangan melintas di area rel ya. Kita dagang di sekitar stasiun saja.” Madu menyerahkan Zai satu kotak dagangan.

“Oke!” ia mengacungkan jempolnya.

“Nggak pake makan ya, Du?” tanyanya lirih.

Madu melempar senyum,

“Udah, jangan cengeng. Biasanya lo juga kagak makan.” Madu beranjak sambil menarik tangan Zai. Zai merintih, menahan lapar. Tapi ia tetap turut beranjak pergi.

                                                            ***

Di stasiun. Zai melihat ada anak yang mau copet.

“Woooi…berhenti nggak lo!” ia mengejar anak yang mengambil dompet seorang wanita.

Anak itu terus saja berlari. Zai tetap mengejar, akhirnya anak itu mengalah.

“Kenapa lo ngejar gua? Bukannya mencopet udah lumrah di kalangan anak jalanan kayak kita?” Boy, nama anak itu, Madu dan Zaitun mengenal pencopet ini.

 “Hmm…begitu yang banyak orang tahu. Tapi gua nggak bakal melakukan itu. Gini-gini gua masih takut azab Allah, Bro.” Zai menyanggah ucapan Boy.

“Ya, gua tahu lo nggak pernah nyopet. Nih dompet cewek itu, lo yang balikin.” Boy menyerahkan dompet ke Zai.

“Atas alasan apa lo nyopet? Bukannya kita udah ada kerjaan? Toh kalo nggak bisa beli baju, untuk makan sekali cukup, kan?” ia menatap wajah rekan seprofesinya itu.

“Adik gua sakit. Kemarin gua mau bawa ke rumah sakit tapi gua nggak berani. Gua nggak punya duit. Gua nggak tahu harus gimana. Gua nggak mau kalo adik gua sampai mati.” Tetesan air mata menghujani wajahnya yang lusuh, selusuh bajunya.

“Niat lo bener Boy. Tapi cara lo salah. Percuma kan. Tetep nggak dapet pahala. Nggak barokah?” Zai mencoba memberi pandangannya pada Boy.

“Iya, gua tahu. Tapi adik gua butuh diobati segera.” Ia masih terisak.

“Ya udah, gua mau balikin dompet ini. Lo tunggu disini. Gua akan segera kesini. Oke?” ia menepuk bahunya. Secepat kilat jejaknya tak kelihatan lagi.

                                                            ***

“Kemana aja Zai?” Madu khawatir. “Maaf, tadi gua baru ngejar copet. Dan gua baru balikin dompetnya.” Zai masih ngos-ngosan.

Zai kemudian menceritakan perihal adik si Boy  pada Madu.

“Hebat…” ia acungi jempol sohibnya itu. Dirangkulnya dan mereka kembali beraktivitas di stasiun.

“Ups…sebentar. Gua tadi janji mau nemuin si Boy. Lo mau ikut gua nggak?”

“Oke…ayoo. Gua juga mau lihat kondisi adiknya.” Mereka beriringan menuju tempat dimana Boy ditinggal Zai tadi.

Setibanya di tempat itu. Keduanya tak melihat seorangpun disana. Zai bingung. Ia masih berjalan bolak-balik di tempat tadi. Kemana Boy? Batinnya.

“Zai, lihat tuh ada kerumunan orang!” Madu menunjuk kerumunan orang tidak jauh dari tempat mereka berdiri.

Keduanya segera berlari menerobos kerumunan. Dilihatnya Boy sudah kaku. Ia sudah tak bernyawa lagi. Tubuhnya berlumuran darah. Ia ditabrak truk. Tak ada yang berusaha menolongnya. Zai dan Madu saling memandang.

Dalam keadaan apa  tadi Boy menemui azalnya? Apakah ia sedang bermaksiat pada Allah? Atau ia sedang berbuat kebaikan? Ternyata ia ditabrak ketika ia hendak menolong seorang nenek menyebrang jalan. Astagfirullah…setidaknya ia tidak mati ketika mencopet, batin Zai.

Jasad Boy sudah diurusi polisi yang datang ke tempat kejadian. Bayangan adik Boy yang sedang sakit dan pasti akan sangat bersedih mendengar berita bahwa kakaknya meninggal dunia, mengahantui Madu.

 “Zai, gimana dengan adiknya?” Madu tiba-tiba berbalik dari kerumunan.

 “Iya, kita harus menjenguknya. Pasti ia sedih kalo tahu kakaknya udah nggak ada.” Zai menarik tangan Madu.

Mereka pun berlari mencari tempat tinggal Boy. Setelah tanya-tanya ternyata Boy tinggal di rumah kardus di dekat tempat tinggal mereka. Adik Boy, Bima, terbaring lemah. Zai segera melarikan Bima ke rumah sakit. Ia tak berpikir masalah biaya. Mereka naik becak menuju rumah sakit terdekat.

Madu berbisik khawatir, “Zai, kita nggak punya duit? Gimana kalo biayanya mahal?”

Rumah sakit, bagi Madu, hanya diperuntukkan untuk orang kaya saja namun bukan untuk mereka. Biaya rumah sakit terlalu mahal untuk mereka yang bisa makan sehari sekali saja sudah untung.

“Udah, kita coba dulu. Ntar gua yang urus.” Kata Zai percaya diri.

Ia melanjutkan,”Kita bisa kerja, Du.”

Sikap yang berbeda ditunjukkan oleh pihak rumah sakit. Mereka bilang kalau mereka tak bisa mengobati penyakit Bima. Setelah didesak Zai mereka tetap berkilah. Mereka malah meminta surat tidak mampu dan surat-surat lain. Madu hampir emosi tingkat tinggi. Tapi ditahannya. Zai masih memohon agar segera ditangani. Pihak RS tetap dengan pendiriannya.

“Hai manusia dengarkan aku!” Zai berteriak.

Semua mata tertuju padanya. Seisi rumah sakit memicingkan mata pada ketiganya,

“Apakah manusia lemah seperti kami tak layak untuk sehat? Apakah kami dilarang sakit? Atas dasar apa kami tersisihkan? Bukankah layanan kesehatan hak seluruh rakyat? Apa kami harus mati meregang rasa sakit?….” belum selesai teriakannya seorang satpam memegang kedua tangannya.

“Lepaskan gua. Dengarkan gua. Adik gua sakit, dia butuh pengobatan. Itu saja…!” ia terus diseret satpam.

Madu membawa Bima keluar dari rumah sakit. Dengan kasarnya si satpam menghempaskan tubuhnya keluar rumah sakit.

“Pak, tolong kami. Apa bapak tak sedikitpun iba melihatnya?” Madu menunjuk Bima yang masih lemah dipapah Madu.

“Maaf, Nak. Bapak disini kerja. Bapak melakukan ini atas perintah pemiliknya.”

 

Zai ingin bersumpah serapah. Tapi diurungkannya. Ia tak mampu menahan tangis, bukan karena perlakuan itu, tetapi memikirkan nasib Bima. Ia hendak menghardik tapi kepada siapa hardikannya tertuju? Semua mata dan telinga tak hiraukan pekikannya. Mereka malah bertindak sebagai penonton.

Begitu tak adilkah dunia? Mereka juga tak pernah meminta agar terlahir menjadi anak jalanan. Menjerit, siapa yang akan mendengar jeritannya? Akhirnya mereka pulang dan memapah tubuh lemah Bima. Bima tak mampu bicara. Terlalu kusut benang kehidupan untuk diurainya.

Zai tak ada tempat mengadu. Ia membawa Bima ke puskesmas. Untung saja pihak puskesmas mau memeriksanya. Diberi beberapa obat. Hmm, setidaknya mereka tahu penyakit Bima tidaklah bisa disembuhkan dalam sehari. Dokternya menjelaskan kalau Bima menderita leukemia.

Zai menghela nafas panjang, “Du, penyakit itu emang bukan kuasa kita mendatangkannya. Tapi setidaknya apapun ketetapan-Nya, kita sudah berusaha.” Ia melirik ke Madu yang sedari tadi merenung.

“Ya Allah, hanya pada-Mu kami memohon ketika manusia tak mendengarkan kami. Kami percaya Maha adilnya pengadilan-Mu kelak.” Madu mengusapkan kedua tangannya ke wajahnya.

“Aamiin. Apapun kondisi kita itu ujian. Allah pasti punya rencana lain dibalik semua ini.” Zai kembali menghela nafas.

“Gua nggak sanggup kalo harus mengabarkan tentang Boy padanya. Gua bener-bener nggak kuat.” Madu melemparkan pandangannya ke langit luas penuh bintang.

Keduanya larut dalam keharuan. Tak ada yang perlu disesalkan tentang keterciptaan mereka di dunia. Nikmat hidup adalah sesuatu yang disyukuri. Karena hadirnya ke dunia itu artinya diberi kesempatan mengumpulkan amal shaleh sebagai bekal ke syurga-Nya.

Malam kian larut. Keduanya tidur beralaskan kardus di dekat pembaringan Bima. Miskin dan kaya adalah sebuah ujian. Penentu mulia tidaknya manusia bukan status sosialnya. Tapi diukur dari kadar ketaqwaannya kepada Allah.

Dunia memang memberi seribu satu kenikmatan. Tapi nikmat dunia tak ada nilainya dibanding nikmat syurga.

Kesabaran mereka, ketangguhan mereka menghadapi getirnya kehidupan siapa yang peduli? Sisi kehidupan mereka tak ada yang coba menjamah. Bahkan kerontangnya tenggorokan mereka tak ada yang coba memberi seteguk air pelepas dahaga.

Semangat hidup. Harapan dan mimpi agar roda kehidupan berbalik selalu dalam bayang. Hari-hari mereka bergelut dengan debu jalanan. Bersahabat dalam gelap tanpa cahaya lilin sekalipun. Siang pun malam adalah sebuah perjuangan. Perjuangan untuk menyambung nyawa. Air mata hanya pelipur kala jeritan tak mampu dilakukan.

Hanya cinta dan rahmat-Nya yang kerap menghujam kuat disanubarinya. Jika bukan karena sebuah janji kehidupan layak di syurga-Nya, mungkin telah lama menenggak racun. Atau hal tragis melompat jembatan agar kesulitan dunia tak lagi mengiris. Tapi keyakinan akan janji-Nya itulah yang tetap menguatkan keduanya meretas kehidupan.[]

editor: Putri Priyatna

Last Updated on 11 tahun by Redaksi

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *