Catatan Simpang Tiga

Selalu ada melodi di setiap rintik hujan. Tetesannya adalah perpaduan harmonis antara kekuasaan Tuhan dan rangkaian proses kehidupan. Saat hujan berhenti, biasanya akan terlihat pelangi. Itulah yang kuyakini selama ini. Pelangi pun tak kalah indahnya dengan hujan.Pelangi adalah perpaduan warna yang sungguh menakjubkan. Merah, kuning, hijau, biru, ungu, dan nila. Untuk menatap pelangi tidaklah mudah. Karena itu, aku selalu pergi ke tempat ini, saat hujan turun.

 

Bumi basah. Air turun dari langit secara indah dan harmonis melalui tetes-tetes hujan. Tampak kubangan-kubangan air terbentuk di jalan yang sudah tidak mulus ini. Hujan adalah salah satu hal yang kusukai. Selagi hujan, aku bisa berlari–lari kecil membuat cipratan air disana–sini.Konyol. Namun hal ini selalu aku lakukan sejak dulu. Setelah hujan akan muncul pelangi. Tak ada kata yang pas untuk melukiskan indahnya pelangi. Harmonisasi warna yang dilukis Tuhan di langit yang biru.

 

Hm, tak ada yang salah dari hujan.Satu – satunya hal yang aku benci saat hujan adalah banjir yang ditimbulkan oleh sampah. Bukan salah hujan. Sampah itu mereka buang begitu saja. Tentu saja sampah tidak ikhlas dan menimbulkan masalah bagi manusia. Aku benci mereka.

 

Kedua kakiku melangkah riang. Mengikuti irama hujan dan musik romantis yang sedang diputar di playlist Ipod-ku. Aku tak peduli lirikan tajam dari mata – mata asing yang ingin menertawakan ulahku. Atau wajah ibu tua yang geram karena langkahku membuat rok panjangnya basah. Maafkan aku ibu, aku hanya sedang bahagia. Terlewat bahagia.

 

Langkah panjangku berubah perlahan saat aku tiba di tempat ini. Kusandarkan punggungku pada dinding yang telah usang.

Baca:  Dongeng Gemericik Suara Hati (34)

 

“ Selamat hari Sabtu kawan, kali ini aku agak terlambat. Maklumlah hujan sedang indah – indahnya, aku ingin menikmati perjalananku.“ Ucapku sambil tersenyum.

 

Lagu di playlistku terus berputar. Kali ini sebuah lagu romantis. Dalam liriknya tersemat kata – kata hujan dan pelangi. Aku tersenyum lagi.

 

Hujan pun berhenti, berubah menjadi gerimis. Gerimis juga merupakan bagian dari hujan, jadi aku tetap menyukainya. Kutatap sekelilingku. Pertigaan ini memang selalu sepi. Jarang terjadi suasana bising, apalagi kegaduhan. Jalan klasik peninggalan Belanda dahulu, menjadi daya tarik. Pelukis – pelukis jalanan menjajakan karya mereka dengan harapan sang kolektor akan melirik dan membeli semua karya mereka. Café – café unik berjajar di salah satu ruas jalan. Tetap saja sepi.

 

Beberapa muda – mudi tampak melangkahkan kaki mereka menuju café – café tersebut. Aku ingat. Hari ini kan malam minggu, pasti sebentar lagi pertigaan yang sepi ini akan ramai dikunjungi para muda – mudi. Hujan berhenti.Bergegas aku naik ke lantai atas bangunan yang kucintai ini. Ke balkon utama.Keindahan Tuhan itu terlihat dengan elok.Pelangi.Tak henti – henti aku menatapnya.Sesekali, aku memotretnya dengan kamera SLR ku.Bila dilihat lagi, sebagian besar bahkan 90% memori kameraku berisi foto pelangi, dan foto saat hujan.Dimana lagi kalau bukan berlokasi di pertigaan ini.

 

Hari sudah semakin sore .Aku memutuskan untuk pulang.Segera kulangkahkan kaki keluar bangunan.

 

“ Hey” sapa seseorang yang menyadarkanku  bahwa aku tidak sendiri disini. Aku menengok sedikit lalu mengalihkan pandanganku ke jalanan yang mulai ramai.

 

“ Maaf.” Ucap orang itu kembali.Perlahan kulirik dia. Seorang pemuda yang kutebak usianya tak jauh dariku. Wajahnya bersih, matanya bersinar dibalik kacamata yang ia kenakan.

 

“ Maaf untuk apa?” tanyaku.

 

“ Maaf kalau aku mengganggumu” Jawabnya.

 

“ Never mind “ Balasku.

 

“ Sendirian?”Tanyanya.Aku mulai menjaga jarak dengannya.

 

“Orang asing “ Batinku.

 

“ Kelihatannya?” jawabku.

 

“ Kelihatan sendirian” ucapnya.

 

“ Namaku Guntur” Ia mengulurkan tangan.

 

“ Siapa?” ucapku .

 

” Guntur” jawabnya.

 

“ Siapa yang nanya?!” Tambahku.Ia tertawa untuk sebuah hal yang kurasa sangat tidak lucu. Aku mengambil ancang – ancang untuk berjalan cepat .

 

“ Tunggu !” Ucapnya.

 

“ Aku bukan orang jahat, Jika kamu berkenan, boleh aku mengantarmu pulang?” tanyanya.

 

“Tidak usah ,terimakasih “ Aku segera berlari menuju rumah.

 

Mingggu pagi yang cerah.Siang menuju sore pasti hujan.Aku menantikan saat – saat itu.Benar saja, pukul 15.00 hujan turun.Aku melangkah menuju simpang tiga. Di depan pintu bangunan, aku melihatnya lagi. Orang yang sangat menyebalkan itu ada lagi.

Baca:  PELAJARAN BERHARGA

 

“ Hey” sapanya.

 

“ Mau apa lagi? “ tanyaku.

 

“ Jangan takut Awan” jawabnya. Darimana ia tahu namaku? Aku tidak memakai seragam dan tanda pengenal apapun.

 

“ Darimana kau tahu namaku?” tanyaku. Ia hanya tersenyum. Terbesit di dalam hatiku, dia adalah orang baik – baik.Aku tidak perlu bersikap kasar lagi padanya.Aku meyakini itu.

 

“ Baiklah, tidak usah diperpanjang” jawabku. Nampak ia pun membawa kamera di tangannya.

 

“ Ayo kita foto pelangi, siapa paling banyak dia yang menang “ ucapnya. Aku menyetuji ucapannya.Bunda, apakah aku salah?Kami melangkah ke atas. Bersama – sama mengabadikan momen momen indah saat putri langit muncul.

 

“ 25 foto” jawabku seraya menjentikan jari.

 

“ Ok aku kalah “ jawabnya.

 

“ Aku antar kamu pulang sebagai hadiah” Ia melanjutkan. Aku termenung.Tidak seharusnya aku menyetujui penawarannya.

 

“ Temanku baru saja sms , dia bilang jalan banjir” ucap Guntur.

 

“ Yakin?” tanyaku polos.

 

“ Ya, aku jamin kamu selamat sampai rumah “ jawabnya.  Beberapa menit kemudian aku sudah ada di dalam mobil Guntur. Bunda, katakan padaku bahwa ini semua akan baik- baik saja.

 

Aku tertidur di dalam mobil. Ketika terbangun aku sudah sampai di depan bangunan yang tak lain adalah rumahku.

 

“ Darimana kamu tahu rumahku? “ tanyaku.

 

“ Dari wajahmu “ jawab Guntur misterius. Biar bagaimanapun aku tetap harus berterimakasih padanya.Ia telah mengantarku sampai rumah.

 

“ Terimakasih “ ucapku perlahan. 

 

Hari demi hari kulalui. Masih dengan rutinitas yang sama. Bermain dengan hujan di masa – masa luang.Pergi menemui mereka yang aku sayangi. Hari ini pun akan kujalani rutinitas seperti biasa. Tanpa sadar, kakiku telah sampai di simpang tiga.Hujan belum turun.

 

“ Selamat sore semuanya, apa kabar?” tanyaku. Mereka semua tersenyum.Aku mengelus – elus tubuh mereka yang usang.Keadaan yang mengkhawatirkan dan membuatku menahan tangis.Aku merasa bersalah pada ayah dan bunda atas keadaan mereka.

 

“ Maaf, kalian mau kan maafin aku? “ Aku menangis.

 

Tidak ada jawaban.Dari kejauhan aku melihat Guntur menatapku.Memangnya aku tidak tahu dia selalu mengawasiku?Aku tidak kenal Guntur dengan jelas, tapi kurasa sikapnya terhadapku berlebihan. Walau begitu ia mengingatkanku pada sosok seseorang ,entah siapa. Hujan mulai turun, aku segera naik ke lantai dua dan kembali mengambil foto hujan.

 

“ Awan, sudah selesai foto hujannya? “ Tanya Guntur tiba – tiba.

 

“ Su sudah, kenapa?”

 

“ Ayo aku antar kamu pulang” . Kami berjalan perlahan menuju mobil yang di parkir di depan sebuah café.

Baca:  Sepasang Rembulan Pasi

 

“ Tunggu sebentar , aku ingin membeli minum “ ucap Guntur.

 

Aku menunggu di dalam mobil sambil menatap ke jendela.Aku melihat sebuah album foto di jok belakang mobil. Bolehkah aku..? perlahan kuambil album itu. Foto pertama membuatku terkejut. Wajahnya sangat mirip, ya tidak salah lagi itu kak Mega sewaktu SMA .Perlahan kubuka lagi lembar foto, ternyata semuanya berisi foto kak Mega dari kecil hingga dewasa.Tiba – tiba selembar foto terjatuh.Foto itu membuat aku tercengang, Guntur dan Kak Mega.Sebenarnya Guntur itu siapa? Mengapa ia berfoto dengan kakak? Dan tunggu, nampaknya itu adalah foto pra weeding. Tidak mungkin.Pasti salah orang. Guntur tiba – tiba datang , segera kukembalikan album ke tempat semula, mobil pun meluncur menuju rumahku. Sebuah tanda tanya besar terlukis di depan wajah Guntur. `

 

Keeseokan harinya, aku kembali menuju pertigaan.Segera aku menyapa semua yang ada di bangunan itu. Rasanya aku ingin curhat .

 

“ Hey, apa kabar kalian? Aku baik – baik saja.Aku kangen Kak Mega, ayah, dan bunda.Kapan mereka pulang ke Bandung?Ada seorang pemuda yang terus mendekatiku. Nampaknya ia kenal dengan kak Mega. Andai saja mereka cepat pulang.”Aku menangis tersedu.

 

”Aku ingat setiap hujan turun, ayah dan bunda mengajakku ke sini.Kata mereka, suasana disini nyaman, dan dari sini aku bisa melihat pelangi.Sekarang aku bisa melihat pelangi tapi tanpa ayah dan bunda juga kak Mega.

 

”Hujan perlahan turun.Tangisku semakin pecah.Tiba – tiba Guntur datang dan memelukku.

 

“ Sudahlah Awan tidak usah menangis , kita pergi dari sini sekarang juga. Semuanya akan baik – baik saja. “ Ucapnya.

 

“ Siapa kamu sebenarnya? Aku tidak kenal kamu , sebaiknya kamu yang pergi dari sini !” ucapku.

 

“ Awan, aku Guntur pacar kakakmu, kita memang sudah berencana untuk menikah. Tapi semuanya berakhir. Aku pun sedih , sangat sedih. Semuanya bisa dikendalikan. Jangan menangis Awan, kamu tahu apa yang membuat aku bertahan? Karena kamu.Kamu adalah mega kecil yang dititipkan padaku.Kamu lah semangat hidupku Awan.”Ucapnya.Aku semakin menangis.

 

Guntur menyeretku dari bangunan ini. Kami masuk ke dalam mobil.Meninggalkan bangunan yang aku sayangi, perlahan aku melihat kebelakang, melambaikan tangan pada patung- patung dan lukisan –lukisan ayah dan bunda.Puluhan papan – papan aneh masih berjajar di sepanjang jalan menuju bangunan. Tulisannya samar – samar dapat kubaca

 

Turut Berduka Cita Atas meniggalnya Keluarga Sudibyo” Aku tertawa histeris. Selembar Koran di depan dashboard mobil menarik perhatianku

 

Awan Sudibyo , putri bungsu Keluarga Sudibyo masih hidup dan diprediksi mengalami gangguan mental permanen “ Aku menangis dan kemudian tertawa.

 

Editor: Putri Istiqomah Priyatna

Bagikan artikel ini
Syauqina Hadyani
Syauqina Hadyani
Articles: 1

Leave a Reply