“Hayo lagi ngelamunin apa?” Mas Awan menjatuhkan diri di kursi kosong sebelahku.
Aku menoleh padanya dan tersenyum, tidak menjawabnya. Mas Awan balas tersenyum lalu ikut duduk diam di sebelahku, mengamati halaman belakang rumah eyangnya yang sore ini dipenuhi anggota keluarga besar.
“Lucu ya?” kata mas Awan. Dia menunjuk salah satu keponakannya yang sedang lari-larian sama saudara-saudaranya di halaman. “Anak kita nanti pasti juga lucu.”
Aku menatap mas Awan. Anak, katanya. Percaya diri sekali dia dengan masa depan kami, sudah mempersiapkan semuanya. Tapi aku? Aku masih saja bergulat dengan diriku sendiri, berusaha menghapus jejak Senja dari dalam kepala dan hatiku. Aku masih berusaha membuka hati buat Mas Awan, berusaha membuat jantungku berdebar setiap kali melihat senyumannya atau merasakan sentuhannya, berusaha membuat dadaku disesaki kebahagiaan setiap kali melihatnya tertawa.
“Kok ngeliatinnya sampe segitu?” tanya mas Awan. Dia meletakkan telapak tangannya di atas telapak tanganku.
Aku tersenyum. “Nothing,” kataku.
Aku hanya ingin melihatnya, menunggu debaran di jantungku, menunggu rasa sesak di dadaku. Tapi ternyata selama apapun menunggu, aku tak merasakan semua itu. Dan aku tak tahu lagi apa aku akan bisa menahan semua ini sampai nanti, sampai selamanya.
Lalu tiba-tiba sekarang ini aku ingin melihatnya, Senja. Aku tiba-tiba ingin melihatnya sekarang. Hah, menyebalkan. Padahal berulang kali aku bilang pada diriku sendiri untuk melupakannya. Berulang kali aku meyakinkan diri bahwa aku akan bisa melupakan dia, berusaha melakukan apapun untuk bisa mengeluarkan dia dari dalam kepalaku. Tapi rupanya aku lupa kalau hati tak bisa lupa.
“Dek, kamu mikirin apa sebenernya?” Pertanyaan mas Awan membuatku tersadar. “Beneran deh. Kamu akhir-akhir ini sering banget ngelamun.”
“Masa? Nggak, ah.” Aku menyanggah.
“Aku kan udah pernah bilang, kalau ada apa-apa, kamu cerita ke aku. Siapa tau aku bisa bantu. Kalau kamu diem kayak gini, aku nggak ngerti kudu ngapain.”
Aku tersenyum. “Nggak ada apa-apa, kok!”
Mas Awan melepas genggamannya, hampir memelukku, tapi entah mengapa dia urung dan memalingkan pandangannya ke langit sore yang terbentang di atas kami, yang sudah mulai berubah warna menjadi oranye.
Untuk waktu yang lumayan lama, kami hanya berdiam, larut dalam pikiran kami masing-masing. Hanya memandangi langit oranye di atas kami.
“Kuantar pulang sekarang?”
Aku menoleh pada Mas Awan. Dia mengangkat alisnya, mempertanyakan jawabanku.
“Acara belum selesai. Entar aja. Nggak enak kalau nggak bantuin beberes,” kataku.
Aku berdiri, sudah hampir mendatangi meja besar yang tadi dijadikan tempat makanan ketika tiba-tiba mas Awan menarik tanganku.
“Nggak usah. Udah ada yang ngurusin. Aku anterin pulang aja sekarang.” Dia menarik tanganku, memintaku mengikuti langkahnya.
Ada yang aneh dengan mas Awan sore ini. Tapi aku tidak mengatakan apa-apa, lebih memilih untuk diam, menurut, mengikutinya berpamitan pada hampir setiap anggota keluarga besarnya, lalu membawaku masuk ke dalam mobil dan melajukannya meninggalkan rumah eyangnya.
Perjalanan pulangku sore ini terasa begitu panjang. Hening. Tak ada suara lagu yang biasanya mengiringi perjalanan kami. Tak ada obrolan apa-apa. Sepertinya mas Awan masih larut dalam pikirannya sendiri. Sesekali dia menoleh ke arahku, lebih sering dari biasanya, tapi tidak mengatakan apa-apa.
Mas Awan menepikan mobil tak jauh dari rumah. Untuk sesaat, pandangannya kosong menatap ke depan, sebelum kemudian dia menghela napas panjang dan menoleh padaku.
“Dek,” panggilnya dengan kedua mata menjelajahi wajahku. “Kamu cinta sama dia?” tanyanya.
Aku mengerutkan kening, menatapnya, tak bisa mengatakan apa-apa.
Mas Awan masih memandangku. “Kamu cinta sama Senja?”
“Kamu ngomong apa sih?” tanyaku.
“Aku… aku selalu tahu kalau selama ini bukan aku yang kamu pikirin. Bukan aku yang bisa bikin kamu tersenyum dari dalam hati.”
“Mas…”
“Dek…” Dia memotong kata-kataku, tapi lantas menggantungkan ucapannya, menarik napas panjang sekali lagi. “Harusnya sejak aku ngeliat senyuman bahagia kamu waktu kamu nuntun dia di sekolah sore itu, aku udah ngelepas kamu. Aku belum pernah liat kamu tersenyum kayak gitu. Sore itu kamu beda, caramu tersenyum beda. Sore itu aku tahu kalau dia lebih bisa bikin kamu bahagia daripada aku. Tapi aku terlalu egois.”
Kedua mata mas Awan masih menatapku. Dia tersenyum. Aku tahu jenis senyuman itu. Aku sering melakukannya sewaktu hatiku rasanya tak karuan.
“Selama ini aku terus berusaha bikin hatiku yakin kalau kamu nggak apa-apa, kalau kita baek-baek aja. Makanya sekuat tenaga aku pertahanin kamu. Makanya aku lakukan apapun buat nggak ngelepas kamu.” Dia menghela napas. “Apapun,” ulangnya.
Dahiku berkerut lagi. Aku berusaha mencerna kata-katanya.
“Waktu aku mulai sadar kalau kamu… dia…” Mas Awan diam, mungkin dia berusaha menemukan kata yang lebih tepat. “Maafin aku. Aku pernah datengin dia. Aku pernah minta dia buat ninggalin kamu, buat nggak ganggu kamu. Maafin aku. Waktu itu aku pernah lepas kontrol dan mukul dia.”
Masih saja aku tak bisa mengatakan apa-apa. Aku hanya memandangi mas Awan, tak tahu lagi harus merespon bagaimana.
“Aku pikir yang kita butuhin cuma waktu. Tapi kata-kata Dewi di UKS siang itu nyadarin aku.”
“Ei?” tanyaku.
Mas Awan mengangguk. “Siang itu, sewaktu kamu pingsan, ayah nelpon aku. Aku langsung ke sekolah, langsung cariin kamu ke UKS, tapi aku nggak jadi masuk ke sana. Aku cuma bisa liatin kamu dari jendela waktu aku denger obrolanmu sama Dewi.”
Sebelah tangan mas Awan bergerak cepat menyelipkan rambutku ke belakang telinga.
“Dewi bener, Dek. Hubungan kita ini sebenernya udah kritis. Aku maksain kamu buat bertahan, lalu kamu terpaksa bertahan walaupun harus ngorbanin kebahagiaan kamu. Itu…. itu sama aja aku ngebunuh kamu pelan-pelan.”
Tanpa bisa kucegah, air mataku mulai turun satu-satu.
“Harusnya sejak awal aku udah ngelepas kamu. Harusnya aku nggak nunggu selama ini, nggak nyiksa kamu kayak gini, nggak nyiksa kalian kayak gini. Aku minta maaf udah nyiksa kalian kayak gini,” katanya lagi.
Dia tersenyum, meremas tanganku perlahan.
“Aku sayang kamu, Dek. Aku nggak pengen nyiksa kamu lagi. Aku pengen kamu bahagia. Aku ngelepas kamu,” katanya.
“Mas,” panggilku. Dia memandangku. “Maafin aku.”
Tangan mas Awan membelai kepalaku, sekali lagi menyelipkan rambutku ke belakang telinga.
“Nggak. Aku yang salah. Maafin aku ya?” katanya.
Mas Awan tak mengatakan apa-apa lagi. Tapi dia tak juga melajukan mobil yang kami tumpangi, memberiku waktu untuk menyelesaikan tangisku. Tahu ayah akan mempertanyakan banyak hal jika melihatku dalam kondisi seperti ini. Lumayan lama kemudian, saat aku mulai tenang, dia mengantarku pulang.
“Yuk,” kata mas Awan sambil mengulurkan tangannya setelah membukakan pintu mobil untukku. “Kamu sudah nggak papa? Maaf bikin kamu nangis kaya gini. Aku nggak bermaksud…”
Aku mengangguk, menyambutnya, membiarkannya menggenggam tanganku dan mengantarku masuk ke dalam rumah.
“Om,” kata mas Awan begitu ayah membukakan pintu.
Ayah mengangguk. Kedua matanya memandangiku. Aku ingat ayah pernah melakukan ini sebelumnya, memandangku dengan tatapan itu, sewaktu ayah menjemputku di rumah Senja sore itu.
“Aku ke kamar dulu.” Aku melepaskan genggaman tangan mas Awan, melangkah cepat melewati ayah, lalu menaiki tangga, memasuki kamar.
Tangisku tumpah lagi sewaktu aku sampai di dalam kamar. Dengan cepat aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas lalu menekan panggilan cepat di nomor empat.
“Ta? Kenapa, Ta?” Suara Ei terdengar panik waktu dia menerima telpon dan mendengarku terisak.
Aku menarik napas panjang. “Rasanya ringan banget, Ei.”
“Kamu ngomong apa sih, Ta?” tanyanya.
“Mas Awan ngelepas aku.” Aku mengambil jeda, kembali menarik napas panjang. “Rasanya ringan banget, Ei,” kataku lagi.
Ei tidak mengatakan apa-apa. Tapi aku bisa membayangkan gadis itu pasti sedang tersenyum. Seandainya dia ada di sini, sudah pasti dia akan memelukku erat sekali.
“I’m happy for you,” katanya lumayan lama kemudian, sebelum akhirnya aku mengakhiri sambungan telepon kami.
Pintu kamarku diketuk. Tanpa menunggu jawabanku, pintu itu sudah didorong. Ayah muncul kemudian.
“Kalian putus.” Ayah menyilangkan tangan di dadanya.
Aku tak begitu yakin dengan nada dari kata-kata ayah, apakah sebuah pertanyaan atau pernyataan. Ambigu.
“Kamu tahu kan Awan itu udah ayah anggap anak sendiri?” Ayah masih tak bergerak, masih bertahan di tempatnya berdiri. “Kamu tahu kan dia anak yang baik?”
Aku hanya bisa menelan ludah. Aku sudah tahu akan seperti ini. Aku sudah menebak ayah akan sangat kecewa kalau aku sampai putus dengan mas Awan. Ayah menghela napas, melepaskan tangannya dari dada, lalu mendatangiku, berdiri tepat di depanku.
“Kamu tahu kan kamu anak ayah satu-satunya?” Ayah menatapku.
Aku mengangguk. Air mata lagi-lagi tak bisa kutahan. Mereka mulai menetes. Ada rasa bersalah luar biasa besar yang tiba-tiba merambati hatiku. Aku sudah mengecewakan ayah. Padahal aku sudah tahu kalau aku akan mengecewakan ayah kalau aku melepaskan mas Awan atau membiarkannya melepaskanku. Hanya saja, aku benar-benar tidak bisa membayangkan akan menjalankan hidup dengannya, dengan seseorang yang padanya hatiku tak bisa merasakan apa-apa.
“Kamu tahu kan ayah nggak bisa ngarepin siapa-siapa lagi selain kamu?”
Sekali lagi aku mengangguk. Sekali lagi tangisku pecah, lebih parah dari sebelumnya. Aku benar-benar tak bisa lagi menahan diri untuk tidak menangis, tak bisa lagi mengontrol napasku sendiri. Aku hanya bisa terisak dan menundukkan pandanganku, memandangi lantai yang mulai dijatuhi tetesan air mata.
“Kamu tahu kan kalau yang paling penting buat ayah itu kebahagiaan kamu?” Suara ayah mulai bergetar. Kedua tangannya terulur, lalu memegang kedua sisi kepalaku, menegakkannya.
Aku mengangkat wajahku dan menemukan kedua mata ayah berkaca-kaca. Ayah menangis. Seumur hidupku, baru sekali ini aku melihat ayah menangis.
“Kamu tahu itu, kan?” tanyanya, masih dengan suara yang bergetar.
Aku mengangguk.
“Lalu kenapa kamu nggak pernah bilang sama ayah? Kenapa kamu tahan semuanya sendirian? Kenapa ayah harus tahu dari Awan? Dari orang lain?” tanyanya lagi. “Kenapa kamu nggak pernah bilang ke ayah apa mau kamu sebenarnya?”
Aku tak bisa menjawab pertanyaan ayah. Yang bisa aku lakukan hanya diam, memandangi ayah dengan pandangan yang kabur oleh air mata dan napas yang berupa isakan.
“Harusnya kamu bilang sama ayah kalau kamu nggak pengen jadi dokter.”
“Maaf, Yah,” jawabku pelan.
“Harusnya kamu bilang kalau kamu nggak pernah pengen hari-harimu dipadetin jadwal les kayak gini.”
“Maaf,” jawabku, lebih pelan dari sebelumnya.
“Harusnya kalau memang kamu capek, kamu bilang sama ayah.” Tangis ayah benar-benar sudah tumpah sekarang. Ayah menarikku ke dalam pelukannya. “Kalau kamu nggak bilang apa maumu, gimana ayah bisa tahu?”
“Maaf, Yah,” kataku pelan, hampir tak bisa kudengar sendiri. Aku balas memeluknya.
“Maafin ayah. Harusnya ayah tanya dulu sebelum mutusin segala sesuatu.” Ayah mengendurkan pelukannya, mendorong tubuhku menjauh agar bisa menatap kedua mataku. “Maafin ayah, ya? Ayah pengen banget ngobrol sama kamu dari dulu, tapi nggak tau harus mulai dari mana.”
Aku mengangguk. Aku tahu kalau beliau memang tak pernah banyak bicara, tak pandai berbicara.
“Jadi, siapa namanya?” tanya ayah setelah kami menghapus tangis.
“Senja,” jawabku.
Ayah mengusap kepalaku lembut.
“Senja?” Entah pertanyaan atau hanya sekedar pernyataan. Aku tak memahami nada di suara ayah barusan.
Layar ponsel yang kuletakkan di sisiku menyala, menandakan panggilan masuk. Senja.
Ayah melirik, memberi tanda agar aku menerima panggilan, lalu melangkah keluar dari kamar. Aku langsung menarik napas panjang, menenangkan diri, lalu tanpa sadar memasang senyuman terbaik.
“Ya, Ja?” tanyaku.
“Rekta?”
Lalu senyumanku hilang. Aku bisa mendengar kekhawatiran dalam suara Arik barusan.
Bersambung
What about Arik? Apakah masih ngomel?
spoiler dikit, kalau bagian 20 adalah yang terakir di saga Rekta dan Senja ini lho. oh ya, CMIIW, memangnya di smartphone masih bisa ya panggilan cepat dengan pencet 1 nomor aja seperti di HP2 tactile atau dengan tombol fisik? hehe
Iya, eh, part 20 adalah akhir dari cerita itu, mas. Omon-omon soal panggilan cepat macam tombol 0 smpai 9, masih berlaku di touch screen. So, nggak hanya tombol fisik aja yang pake fitur yang sudah ada di featurephone. Kayaknya, referensinya Mbak Mahardini ini ngambil masa-masa tahun 2017an, waktu masih ada kombinasi touch screen dan tombol kaya Samsung Galaxy Chat, atau Nokia C3. Pengen ganti ponsel yang OS udah baru, tapi ada tombol keyboardnya, so, nggak full layar sentuh. Hahahahahahahahahahahaha.
Tar ketahuan di bagian 20 ya, mas. Ada keterangan setelah kata “tamat”. hehe..
Widiiiiiiiiiiiiiiiih! Beneran, nih?
Aku auto ngecek hape.
Mbak pake yang full touch screen, apa yang kaya Galaxy Chat/BlackBerry?
full touch screen, kakak