Langit Senja Bagian 18

“Ntar jadi kan, Ta?” Tika yang sudah akan meninggalkan kelas, mampir di dekat mejaku.

“Jadi. Jam tiga, yak?”

“Ya udah. Sampe ketemu ntar sore.”

Gadis mungil itu lantas berlalu, meninggalkanku yang masih sibuk membereskan meja dan Ei yang memandang heran padaku.

“Kenapa?” tanyaku.

“Ada kencan apaan kamu sama Tika?”

“Kenapa? Cemburu?” godaku.

“Idih. Ngapain cemburuin kamu? Males. Cuma kok tumben aja kamu janjian sama dia.” Ei pasang muka sok cuek.

“Hehehehe… Ini, dia mau ikut les privat barengan sama aku,” jawabku sambil berdiri. Ekor mataku menangkap Senja yang, aku yakin sekali, sedikit menoleh padaku sewaktu mendengar kata-kataku barusan. Tapi dia tidak bereaksi apa-apa lagi, hanya itu saja. Dia lantas berjalan keluar kelas sambil mengobrol dengan Eko.

“Les privat?” tanya Ei. “Kamu?”

“He eh.”

“Dalam rangka?” tanyanya. “Sejak kapan?” tanya Ei lagi bahkan sebelum aku sempat menjawab pertanyaan yang sebelumnya.

“Udah mau dua bulan,” jawabku. “Habis nilaiku pas semester kemaren jeblok gitu. Nyiapin buat semesteran besok juga.” Aku berdiri. “Pulang, yuk!” ajakku.

“Tunggu! Tunggu!” Ei ikut berdiri lalu berjalan keluar kelas bersamaku. “Jeblok gimana? Kan masih masuk tiga besar.”

Aku menghela napas dan mengangkat bahu. Ei ikut menghela napas, sudah paham maksudku.

“Hemm.. kalau udah nyangkut urusan ayahmu, aku udah nggak bisa komen apa-apa lagi, Ta,” katanya. “Jadi selama ini, ini alesannya kamu selalu buru-buru pulang, selalu nggak bisa diajak jalan. Nyebelin! Aku marah sama kamu!”

Dahiku berkerut. “Karena?”

“Karena kamu sekarang susah banget diajakin jalaaaan. Aku kangen kamu gilak!” Ei menggamit lenganku, lalu menarikku untuk berjalan lebih cepat lagi.

“Hehehehe.” Aku cuma bisa tertawa garing, tidak tahu harus merespon seperti apa lagi.

“Senja, Eko, duluaaan,” katanya sewaktu kami melewati keduanya.

“Duluan.” Aku ikut menyapa mereka sambil mencoba mengikuti langkah Ei yang lumayan cepat.

“Iya. Ati-ati.” Senja tersenyum sewaktu mengatakan itu.

Ada senyuman yang muncul di wajahku sewaktu aku melihat senyuman itu. Rasanya menyenangkan sekali melihatnya tidak apa-apa bahkan setelah beberapa minggu ini, setelah hari itu, setelah semuanya. Dia tidak apa-apa. Kami tidak apa-apa. Kami tetap mengobrol, tetap bercanda. Bedanya, kami sudah sama-sama tahu batasnya. Dan kami bisa menjalaninya. Kami benar-benar baik-baik saja.

“Eh, Ta. Aku boleh nanya sesuatu nggak?” tanya Ei.

“Aku sama dia udah sepakat kok, Ei. Kita cuma mau jadi temen aja. Kita tetep temenan,” jawabku. Aku tahu dia sudah ingin menanyakan hal ini sejak hari itu. Aku sudah hafal gelagatnya.

Ei mengangkat bahu. “Hmm. Yah, baguslah,” katanya. “Kamu selesai les jam berapa?” tanya Ei sebelum melepaskanku di dekat gapura.

“Magrib sih biasanya.”

“Hmmm.. udah malem juga.” Ei menggumam. “Malem minggu mau keluar sama Mas Awan?” tanyanya kemudian.

“Kenapa emang?”

“Nonton yuk! Kita lama banget nggak hangout. Kamu sekarang sibuk banget. Susah banget diajakin hangout.”

“Hehehe.. Ya, ntar aku bilang Mas Awan dulu.”

Ei memutar bola matanya. “Ya udah deh. Ditunggu kabarnya.”

Aku mengangguk mantap.

“Pangeranmu, tuh!” Ei menunjuk ke arah Mas Awan yang melambaikan tangan ke arah kami.

Aku hanya tersenyum lalu mendatangi Mas Awan dan membiarkannya mengantarku pulang.

“Habis ini masih ada kuliah lagi, Mas?” tanyaku di atas motor.

“Nggak.”

“Mau balik kampus lagi?”

“Nggak. Beneran udah nggak ada kegiatan, kok.” Mas Awan memperlambat laju motornya di dekat perlintasan kereta api yang macet karena baru saja ada kereta api yang lewat.

“Mas, malem minggu Ei ngajakin nonton.” Aku tidak tahu ini waktu yang tepat atau bukan untuk membicarakan ini. Tapi, daripada tidak ada yang dibicarakan.

“Sama siapa aja?”

“Berdua aja.”

Tak ada komentar. Mas Awan tidak mengatakan apa-apa. Dia baru mulai bicara setelah kembali memelankan laju motornya dan akhirnya menghentikannya di depan rumah.

“Beneran cuma berdua?” tanyanya begitu aku turun dari boncengan.

“Iya.”

“Tapi Sabtu sore kan ada kumpul keluarga besar, Dek. Kayaknya sampe malem. Kamu lupa?” Mas Awan mengulurkan tangannya, meminta helmku.

Baca:  Ferdi Story (5-15)

“Oh iya.” Aku tersenyum.

Dia membalas senyumanku waktu aku meletakkan helm di tangannya. “Aku pulang, ya?” katanya sebelum kemudian pergi setelah mendapat anggukan kepalaku.

***

Sejak menjemputku ke rumah Senja siang itu, aku sudah tidak lagi bisa menghitung berapa kali aku menemukan ayah sedang menatapku. Sama seperti malam ini, sewaktu kami sama-sama duduk di depan televisi. Ayah memandangiku lagi, seperti ada yang mau ayah katakan. Tapi, setiap kali aku menoleh padanya, setiap kali aku balik menatapnya, ayah akan membuang muka atau, sama seperti malam ini, berdiri lalu meninggalkanku.

“Kok nggak makan?” Mamah yang baru saja keluar dari dapur langsung menjatuhkan diri di sisiku dan membelai kepalaku.

“Udah makan tadi pas habis les.” Aku berbohong. Aku belum makan sama sekali semenjak sarapan tadi pagi. Hanya saja, entah mengapa, semenjak siang tadi perutku rasanya mual, rasanya hanya ingin muntah semenjak tadi, jadi nafsu makanku hilang.

Mamah mengangguk-anggukkan kepalanya. “PR udah selesai?”

“Lagi nggak ada PR,” jawabku.

Mamah mengangguk-anggukkan kepalanya lagi. Lalu tak ada lagi suara di antara kami kecuali suara dari televisi. Lumayan lama sampai mamah tiba-tiba menanyakan pertanyaan itu.

“Dek,” panggil mamah. Aku menoleh padanya. “Kamu baik-baik aja?” tanyanya kemudian.

Aku menganguk cepat. “Iya. Kenapa emangnya, Mah?” tanyaku.

“Nggak papa. Mamah cuma pengen tau kabarmu aja.” Mamah mengangkat bahu dan tersenyum. “Kamu kan sekarang sibuk banget. Leees terus tiap hari.”

“Demi masa depan,” jawabku sambil tersenyum usil.

“Yah, mamah sih seneng-seneng aja kalau memang itu tujuannya, bukan karena lari dari masalah.”

Deg! Aku mencoba memasang senyuman. Tapi aku tahu pasti terlihat jelek dan terpaksa. Jadi aku akhirnya memilih berdiri saja, bersiap masuk ke dalam kamar.

“Mah, ke kamar dulu,” kataku.

Mamah menatapku, terlihat menyesal sudah berkata seperti itu. Tapi akhirnya kepalanya terangguk juga. Mamah melepaskanku, membiarkanku menaiki tangga tanpa mengatakan apa-apa.

***

“Kamu kenapa?”

Aku mengangkat kepala yang kusembunyikan di antara kedua lutut. Ei ikut duduk di sisiku. Gadis itu langsung mengeluarkan botol minuman yang ada di dalam tasnya lalu meneguk isinya.

“Kamu sakit, Ta?” Dia langsung terlihat khawatir sewaktu menengok ke arahku.

“Nggak papa. Kurang tidur aja semalem.” Aku menurunkan kaki dari atas kursi tribun yang kududuki.

Ei kembali meneguk isi botol minumnya. Sepertinya sengaja mengalihkan keinginannya untuk berkomentar lebih banyak lagi. Gadis itu memalingkan pandangannya ke arah kolam renang yang terbentang di hadapan kami. Ada Pak Agus yang sedang berteriak-teriak mengingatkan anak-anak lelakinya untuk berhenti bermain-main.

“Senja nggak masuk lagi. Beneran makin sering nggak masuk sekolah tu anak.” Ei menutup botol minumnya. “Udah pegang rekor sering nggak masuk dia,” katanya lagi sambil menoleh padaku.

Aku berdiri, meraih tas berisi pakaian renangku yang basah dan perlengkapan mandi. “Aku pulang dulu, Ei,” kataku.

Ei tidak ikut berdiri, hanya memandangiku, mengekor dengan tatapannya tanpa mengatakan apa-apa. Bahkan sewaktu aku benar-benar meninggalkannya, melewatinya begitu saja lalu menuruni tangga yang menuju ruang depan dan pintu keluar dari bangunan kolam renang itu. Aku kemudian menyeret langkah ke pintu gerbang. Mas Awan sudah menunggu di sana.

“Lemes banget. Berapa kali bolak-balik emangnya?”

Aku hanya menjawab pertanyaan mas Awan dengan senyuman, meraih helm dari tangannya, memakainya, lalu naik ke boncengan. Badanku rasanya tambah tak karuan, lebih parah dari kemarin, dari beberapa hari lalu. Perutku rasanya juga tambah tak jelas, tambah mual. Dari tadi sudah menahan diri supaya tidak muntah, termasuk hemat-hemat bicara. Dan obrolan pendek dengan Ei barusan sukses membuatku semakin malas bicara.

“Dek, aku ada kuliah jam setengah sembilan, jadi kayaknya nggak sempet sarapan dulu.”

“Nggak papa,” jawabku. Kebetulan. Aku sedang tidak nafsu makan juga.

Aku segera turun dari boncengan Mas Awan, kembali menyeret langkah ke dalam rumah, dan bergegas mengganti pakaian dengan seragam. Untung tasku memang sudah kusiapkan dari semalam. Jadi aku tak perlu menghabiskan banyak waktu.

“Maaf, ya?” Mas Awan menyambutku di teras dengan wajah penuh penyesalan.

“Nggak papa,” jawabku.

Dia lantas langsung menyalakan mesin motornya, dan mengantarku ke sekolah.

“Nanti siang ayah jemput?”

Aku mengangguk dan segera meninggalkannya, berjalan cepat ke dalam sekolah. Tapi kemudian, lagi-lagi, langkahku terhenti di pintu kelas. Lagi-lagi aku mematung di sana dengan kedua mata terpaku ke bangku yang ada di depan meja guru yang pagi ini masih kosong.

Damn! Aku mengumpat dalam hati, mengutuk obrolanku dengan Ei di kolam renang tadi pagi. Kenapa sih dia harus mengungkit masalah Senja semendadak itu? Kenapa harus hari ini? Kenapa harus dibahas lagi?

Baru saja meletakkan tas ke atas meja, perutku tiba-tiba protes, mulai terasa nyeri dan mual sekali. Aku tak tahan lagi sampai akhirnya berlari ke kamar mandi. Saat kembali ke kelas, yang kulakukan adalah sebisa mungkin menghindari tatapan Ei, menghindari obrolan apapun dengannya, tak ingin dia semakin khawatir.

“Kamu nggak papa, Ta?” tanya Ei begitu memasuki jam pelajaran ke enam. Kupikir aku sudah berhasil membuatnya percaya kalau aku tak apa-apa.

Baca:  Ferdi Story (13-15)

Aku buru-buru mengangkat kepala dan memasang senyuman lebar. “Nggak papa, Ei.”

Tapi ini Ei yang pastinya tidak begitu saja mempercayai kata-kataku. Dia bergerak cepat meraba dahiku. Aku pasrah.

“Badanmu anget. Aku anter ke UKS, ya?” katanya.

“Nggak ah, Ei. Bentar lagi juga pulang. Nggak papa,” jawabku.

“Taaa.. Mukamu tuh pucet banget.” Nada khawatir itu mulai terdengar di suara Ei. “Kamu jangan ngeyel. Ayo ke UKS!” Ei ngotot, memaksaku berdiri.

Lagi-lagi aku pasrah, mengangkat kepalaku dari meja, lalu berdiri. Aku membiarkan Ei melingkarkan lengannya ke lenganku, menemaniku berjalan, sebelum kemudian aku merasa dunia berputar dan tubuhku mulai melorot lalu jatuh ke lantai.

Aku masih bisa mendengar panggilan panik Ei dan suara derap langkah mendatangiku. Aku juga masih bisa merasakan tubuhku diangkat, tapi aku tak bisa apa-apa. Badanku rasanya lemas sekali dan kedua mataku tak mau dibuka, sekeras apa pun aku mencoba. Eko adalah orang pertama yang kulihat sewaktu aku membuka mata. Dia berdiri di dekat pintu UKS.

“Akhirnya sadar juga.”

Aku menoleh dan menemukan Pak Sardjono, guru penanggung jawab UKS, berdiri di sebelahku.

“Pusing?” tanya beliau.

“Iya,” jawabku tanpa suara. Kepalaku memang masih lumayan pusing dan badanku terasa lemas.

“Ya udah. Istirahat dulu. Dewi sedang saya minta cari minum manis. Setelah ini, kamu minum, ya?” kata Pak Sardjono lagi. “Bapak sudah telpon orang tuamu. Ayahmu sedang perjalanan ke sini.”

Aku hanya tersenyum pahit, hanya bisa berusaha menyiapkan diri mendengar omelan ayah kalau beliau datang nanti.

“Ya udah. Saya tinggal dulu,” kata Pak Sardjono. “Kamu temenin Rekta sebentar, ya?” kata beliau pada Eko sebelum kemudian keluar dari UKS.

Eko mendekat ke tempat tidur yang aku tempati begitu Pak Sardjono keluar.

“Bukannya masih pelajaran ya?” tanyaku, hampir tanpa suara.

“Iya,” jawabnya pendek.

“Terus?”

“Nggak bisa konsen juga di kelas,” katanya.

Aku memandangnya, menunggu dia memberikan penjelasan.

Eko menghela napas lalu menyodorkan ponselnya padaku. Layar ponsel itu menyala, menunjukkan ada panggilan masuk. Aku hanya bisa ikutan menghela napas waktu tahu siapa yang menelpon.

“Kamu aja yang angkat. Dia udah nelponin terus dari tadi.”

Aku mendorong telpon itu kembali padanya. “Kamu aja. Bilang aja aku nggak apa-apa.”

Dengan berat, Eko menerima ponselnya lantas menekan tombol terima.

“Iya, Ja?” tanyanya. Dia diam sejenak. “Iya. Udah. Dia udah sadar. Udah nggak apa-apa. Iya.”

Eko menghela napas begitu hubungan diputuskan. Dia diam menatapku. Aku tahu, pasti ada yang mau dia bicarakan denganku. Jadi aku menunggu.

“Aku udah lama nahan buat nggak komentar. Buat nggak mencampuri urusan kalian. Tapi kalian berdua beneran udah kelewatan,” katanya. “Terutama kamu!” Eko mengambil jeda lagi, menghela napas lagi. “Aku nggak tahu sebenernya ada apa sama kalian berdua. Cuma, bisa nggak aku minta tolong sama kamu buat nggak egois, buat mikirin orang lain juga? Paling nggak, jangan nyusahin orang lain kayak gini?” Ini pertama kalinya Eko ngomong sepanjang itu. Ini pertama kali aku melihat Eko benar-benar kesal.

Aku membuang muka, tak lagi bisa melihat kedua mata Eko. Jadi, sama saja dengan yang lain, dia menyalahkanku bahkan tanpa tahu keadaan yang sebenarnya. Lagi-lagi aku yang salah. Aku yang egois. Padahal semua ini justru aku lakukan buat orang lain, buat ayah, buat mas Awan, buat Senja, buat kebaikan mereka semua. Tapi tetap saja, aku yang egois.

“Aku sama Dewi udah…” Eko tidak menyelesaikan kata-katanya.

Aku langsung menoleh padanya. Eko berbalik sewaktu Ei datang dengan hebohnya.

“Alhamdulillaaah… Akhirnya sadar jugaaaa,” seru Ei lega.

Eko kemudian memilih keluar dari UKS diiringi tatapan heran dari Ei.

“Minum dulu, Ta.” Dia dengan cepat membantuku duduk lalu membantuku minum segelas teh manis hangat yang dibawanya, tak berkomentar tentang Eko sama sekali.

“Makasih,” kataku sambil mengembalikan gelas kepada Ei.

Ei mengangguk. Dia lantas mengeluarkan ponsel dari saku kemejanya. Ponselku.

“Waktu aku ngambil ini di laci, udah ada beberapa miskol dari Senja sama whatsapp. Aku nggak berani bukanya. Tapi sori, Ta. Tadi aku ngangkat telponnya Senja. Sori aku kasih tau sama dia kalau kamu pingsan. Aku tadi panik banget, nggak sempet mikir panjang.”

“Sepanik itu?” tanyaku sambil membuka daftar panggilan. Ada tujuh panggilan tak terjawab dari Senja.

“Aku belum pernah nemu orang pingsan beneran, tau?! Aku nggak tau kudu ngapain. Apalagi ini kamu yang pingsan. Mendadak lagi. Lain kali kalau mau pingsan bilang-bilang kek biar aku bisa siap-siap!”

Aku tertawa pelan. Tapi tawaku langsung berganti senyuman pahit waktu membuka pesan singkat dari Senja.

Langit Senja: Rekta, kamu baik-baik aja, kan?

“Kenapa, Ta?” Ei menggenggam tanganku lalu ikut membaca pesan singkat itu. “Ini kan pas jam istirahat, sebelum kamu pingsan.”

Tanpa diberitahu pun, aku tahu.

“Mungkin ini yang orang tua bilang namanya numusi, Ta. Kalau kamu mikirin seseorang banget, katanya kamu kayak punya perasaan nggak enak gitu kalau ada apa-apa sama orang yang lagi kamu pikirin.”

“Kamu percaya gituan?” tanyaku.

“Kamu nggak? Emangnya kamu nggak pernah ngerasa kayak gitu? Kayak firasat gitu kalau ada apa-apa sama Sen….. Mas Awan?”

Baca:  Harga sebuah Pengabdian

Aku tak menjawab pertanyaannya. Gadis itu, hanya diam menatapku.

“Kenapa?” tanyaku.

Ei menghela napas sebelum menjawabku. Seperti berat untuk mengatakan apa yang akan dia katakan.

“Kalau ini soal Senja, aku nggak pengen denger, Ei,” kataku cepat sebelum dia menjawab pertanyaanku.

“Ta, kamu beneran nggak pengen tau ada apa sama Senja? Kamu nggak pengen tahu kenapa akhir-akhir ini dia makin sering nggak masuk sekolah?”

“Dia akan baik-baik saja,” jawabku.

Ei masih saja menatapku, ke kedua mataku.

“Gimana kabarmu sama mas Awan?”

“Baik-baik aja,” jawabku pendek.

“Kamu nggak baik-baik aja,” kata Ei, menganalisisku.

“Aku baik-baik, kok,” jawabku sambil tertawa.

“Ta, kamu mau bohongin semua orang, silakan. Tapi kamu itu jangan bohong sama diri kamu sendiri.” Ei melipat kedua tangannya di dada. “Kamu bisa bilang kalau kamu sama mas Awan baik-baik aja. Tapi kenyataannya hubungan kalian itu kritis.”

Aku diam.

“Kamu nggak mau ngelepas mas Awan, nggak mau nyakitin dia. Tapi kamu nggak bisa berhenti mikirin Senja. Kamu pertahanin mas Awan, padahal kamu butuh Senja.”

“Nggak kayak gitu, Ei,” kataku. “Dan aku nggak butuh Senja.”

“Kamu itu udah nggak lagi di tahap menginginkan dia, Ta. Kamu itu butuh dia. Kamu itu butuh Senja. Kamu nyadar nggak, sih? Dua bulan ini tuh kamu udah kayak zombie, nggak ada nyawanya. Mau tertawa sekeras apa pun, tersenyum selebar apa pun, aku masih bisa liat sakitnya hati kamu.”

Kedua mataku masih menatapnya, tapi tak ada yang bisa aku katakan. Aku hanya mengambil napas panjang, mencoba mengurangi sakit di dadaku yang sekarang semakin sakit saja. Padahal ini sudah dua bulan. Padahal aku sudah melakukan semua hal agar bisa melupakannya. Aku sudah memenuhi waktuku dengan kegiatan yang bisa aku lakukan. Aku akhirnya menuruti kemauan ayah dan ikut les privat tiga kali seminggu. Sisanya aku pakai untuk les bahasa Inggris. Tapi tetap saja setiap kali mau tidur, aku masih akan berakhir di laman facebook Senja dan setiap sampai di kelas, aku akan tetap mematung di pintu kelas buat sesaat, hanya untuk sekedar memandangi meja di pojok depan.

“Kamu nggak bisa ngelupain Senja, Ta.”

“Bisa, Ei. Aku cuma butuh waktu,” jawabku pelan.

Ei menghela napas. “Ta, berapa lama sih kita kenal?” tanyanya. Aku tak menjawabnya. “Udah hampir lima tahun kita kenal, Ta. Dan ternyata waktu selama itu belum bisa bikin kamu percaya sama aku?”

“Bukan, Ei,” jawabku cepat. “Aku percaya sama kamu.”

“Terus, kenapa kamu bohong sama aku? Kenapa kamu nggak bisa jujur sama aku? Kamu selalu bilang kamu baik-baik aja. Kamu itu nggak baik-baik aja, Ta.” Ei mengulangi kata-katanya tadi. “Ta, aku tuh sayang sama kamu. Tapi semua itu nggak akan ada artinya kalau kamu nggak sayang sama diri kamu sendiri.”

“Maksud kamu apa?”

Kedua mata Ei menatap lurus ke dalam mataku, mengupas kulitku, menelanjangiku.

“Kamu lebih hidup, lebih bahagia waktu sama Senja. Kamu jadi orang yang berbeda. Tapi, rasanya nyenengin banget buat liat kamu waktu itu. Kamu selalu tersenyum, kamu bisa tertawa lepas, kamu waktu itu manusia yang punya rasa, bukan zombie kayak sekarang.”

“Semua hal punya konsekuensi. Aku nggak mau jadi orang egois. Aku nggak mau aku bahagia, tapi orang-orang di sekitarku nggak.”

“Ta, kita nggak bisa bikin semua orang bahagia.” Ei memaksaku menatapnya. “Oke, sekarang mungkin kamu bisa ngejaga perasaan mas Awan. Kamu nggak nyakitin mas Awan. Sekarang. Tapi kamu itu nyakitin diri kamu sendiri. Jujur, aku nggak rela kamu kayak gini. Kamu juga berhak buat bahagia.”

“Aku nggak apa-apa.” Nadaku sudah mulai meninggi.

“Yang kamu cintai itu Senja, Ta. Bukan mas Awan.”

“Aku kan udah bilang, Ei. Aku cuma butuh waktu. Aku akan berusaha mencintai dia. Lagipula cinta nggak harus memiliki, kok.”

Ada jeda. Ei kembali diam dengan kedua mata yang masih menatapku. Aku memalingkan pandanganku ke arah pintu, ke apa pun selain kedua matanya.

“Kamu itu bunuh diri,” kata Ei pelan. “Lebih parahnya lagi, kamu ngajakin Senja buat bunuh diri!”

“Senja?” tanyaku. “Dia baik-baik aja, kok!”

Ya, Senja baik-baik saja. Dia tidak banyak berubah.

“Ternyata selama ini bukan Senja yang buta, tapi kamu,” katanya. Kata-kata itu menusukku lebih dalam dari kata-kata sebelumnya. “Kamu yang buta. Kamu nggak bisa liat kalau keputusan kamu itu udah nyakitin kalian berdua.”

Sekali lagi aku membuang pandanganku ke lantai. Kepalaku kemudian dipenuhi Senja. Bagiku dia tidak berubah. Dia tetap tersenyum, tetap tertawa, sama sekali tidak ada yang berubah.

“Ta, jangan bikin keputusan yang bakal kamu sesali nanti. Kenapa sih kamu nggak bisa perjuangin kebahagiaan kamu sendiri?”

Pertanyaan itu muncul lagi dari kepala yang berbeda. Mengapa aku tidak bisa memperjuangkan kebahagiaanku sendiri?

“Ei, tolong ngertiin aku. Aku nggak bisa.”

Ei tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Kami diam, sama-sama membuang muka, mencari apa pun untuk bisa kami pandangi selain satu sama lain, tidak mengatakan apa-apa lagi.

Bersambung

Bagikan artikel ini
fmahardini
fmahardini

A Pluviophile who writes fictional stories about random things.

Articles: 19

Leave a Reply