Mangrove, Es Teh, dan Rasa

Sampah yang tidak baik terkelola, deru pasir memedihkan mata, terhempas angin musim kemarau yang kian memanas tiap harinya. Udara terasa kering, menimbulkan ketidaknyamanan bagi tenggorokan dan kulit. Lebih-lebih bagi yang bertempat tinggal di dataran rendah dan pesisir pantai laut selatan sepertiku.

Sebagai putra salah satu pedagang cinderamata sebetulnya tiap tahun telah terbiasa mengalami hal ini. Tetapi sungguh, baru kali ini betul-betul merasakan titik tertinggi sirkulasi cuaca yang tidak nyaman. Sehingga enggan sekali untuk beraktivitas pada tengah hari.

“Topan! Tolong belikan es kelapa muda!.” Hampir setiap hari kudengar permintaan itu dari ibu. Menjengkelkan, memang. Tapi apa dayaku buat menolak?

Pada akhirnya aku hanya mengambil uang dari laci meja bapak, lekas bergegas menuju penjual es kelapa yang berada di bawah keteduhan sebuah beringin yang letaknya tidak jauh dari lapak para pedagang yang kini mulai menyepi seiring memanasnya terik mentari. Selesai menuruti permintaan ibu, aku ambil satu gelas untukku, lalu melangkah menuju rerimbun mangrove yang berjarak seratus meter dari rumah untuk menikmati kesejukan. “Tidak seperti dulu. Semakin banyak kelapa yang ditebangi demi lahan ekonomi kreatif dan pariwisata, makin hilang pula harapan kesejukan dan harapan keamanan dari bencana alam..” Ucapku pada sederetan pohon, seraya menikmati es kelapa muda. “Dalam beberapa tahun terakhir saja, abrasi Parangtritis kian meningkat. Pencemaran kian parah. Aku curiga, jangan-jangan dampak kapitalis telah bertahap menyabotase kearifanlokal kami?.” Lanjutku bertutur, makin resah, makin galau.

“Jangan berpikir picik seperti itu, Pan!.” Sebuah suara lembut tiba-tiba muncul mengagetkanku. Aku menghadap pada suara itu. Seorang gadis berkulit hitam manis tengah tersenyum kepadaku. Ada seplastik es teh di tangannya.

“Maksudmu, Rum?,” heranku bertanya. “Memang, kian hari, kian terkikis lingkungan alam kita. Entah karena perilaku beberapa oknum atau kepentingan kolektif, yang jelas realitanya seperti itu, kan?.” Aku mengangguk setuju.

“Semua itu karena kita sebetulnya, Pan..”Arum, gadis itu duduk di atas sebuah batu sebesar kepala kerbau, kanan pohon tempatku bersandar sedari tadi. “Hah, bisakah lebih jelas?,” kejarku. “Kita yang enggan membuka mata, enggan beradaptasi dengan perubahan sosial yang cepat, besar, dan struktural. Kita juga enggan berasimilasi dengan globalisasi sehingga tidak sadar telah memposisikan diri sebagai penganut globalis negatif..” Aku mengangkat tangan, menghentikan bicara Arum.

“Pusing aku, Rum! Kamu anak SMA, bisa bagus menjelaskan suasana sekarang ini. Lah, aku? Hanya lulusan SMP!,” lirihku, menundukan kepala. “Bodoh!.” Tanpa disangka, Arum menamparku dengan tangan kiri. Aku tersentak, tak percaya menatapnya.

“Aku tidak percaya, Topan yang pekerja keras bisa seburuk itu pandangan hidupnya! Rasanya percuma, kamu punya kemampuan literasi, berwirausaha, dan nguri-nguri kebudayaan! Otakmu dipakai tidak, sih? Semua pengetahuan itu, tidak mesti bersumber dari sekolah..” Mata gadis itu memerah, hendak menangis. Aku tertegun, tanpa sadar es kelapa mudaku terjatuh, membasahi celana. “Aku minta maaf, Rum. Aku… Aku… Tidak akan mengulangi lagi!.” Tanganku terjulur, meminta maaf pada Arum.

Gadis itu mengambil sebuah es batu yang tersisa satu-satunya untuk menyeka air mata. “Janjimu akan aku ingat. Manfaatkan setiap peluang dengan sebaik-baiknya, Pan! Aku tidak akan menuntutmu berkembang melalui jalur formal sepertiku. Asalkan kamu mau berdaya dan memahamiku, itu sudah cukup..”Kesejukan angin mangrove kian terasa. Tetapi kehangatan di hati sebab kepercayaan Arum sebagai kekasih melebihi semuanya.

“Terima kasih, Rum. Aku…” Arum meletakkan telunjuknya di bibirku. Tersenyum di kulum, “Aku percaya, Pan! Tidak perlu kamu jelaskan. Sebab penjelasan tidaklah berguna apa-apa..” Dia membuang es teh yang telah habis. Menggenggam hangat tanganku.

“Janji, ya? Kalau aku salah, kalau aku tidak sesuai harapanmu.,” Arum menarik napas dalam. “Tolong, ingatkan aku!.” Lanjutnya, lirih. Aku tersenyum, setuju dalam diam. Lalu menariknya ke dalam dekapan.

Detak jantungnya yang kurasa, lebih indah dan mengharukan daripada irama gelombang samudra yang menerpa bibir Parangtritis. Rasa hormatku pada Arum, seperti seniman yang mencintai karyanya, budayawan yang melestarikan warisan leluhurnya, dan nelayan pada lautnya. Barangkali berlebihan, tetapi itulah aku. Yang lebih senang berterus terang tentang rasa yang semakin memfosil tiap detiknya. Semoga semesta mendukung dan memupuk kekuatan rasa antara aku dengan Arum. Serta menuainya secara tepat pada saatnya nanti.

Last Updated on 10 bulan by Redaksi

Oleh Akbar Ariantono Putra

Seorang yang masih perlu banyak belajar dan berusaha memahami diri sendiri juga orang lain

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *