Peristiwa Akhir Sekolah

Beberapa hari lagi pengumuman hasil ujian akhir sekolah. Jantung berdebar, pikiran gelisah, semua serba resah. Waktu penantian sungguh tidak menyenangkan. Yang lebih meresahkan ialah harus berpisah dengan kawan-kawan sekolah. Memulai hidup dengan arah dan tujuan masing-masing dan bertemu dengan kawan-kawan baru di sekolah baru. Meninggalkan bangku SLTP untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. 

Rasa bimbang mulai menghantui pikiran, apakah harus mengambil SMK atau SMA? Apakah tetap sekolah di kota ini atau melanjutkan di kota lain? Sungguh pikiran ini mulai berhamburan liar. Padahal pengumuman hasil ujian belum kunjung datang.

Aku tidak terlalu memikirkan apakah nanti lulus atau tidak. Tetapi berpisah dengan kawan-kawan yang sangat aku takutkan. Takut bertemu dengan kawan baru, takut bertemu dengan suasanan baru, dan yang paling meresahkan adalah aku belum sempat mengungkapkan perasaan cinta pada seorang perempuan yang telah lama aku inginkan.

Suatu saat datanglah waktu pengumuman itu. Dengan penuh semangat aku datang ke sekolah. Sungguh mengejutkan, semua siswa lulus ujian. Tidak ada yang gagal dalam ujian. Semua merayakan kegembiraan dengan mencoret-coret baju seragam dengan cat. Bagi kawan-kawan yang mempunyai kendaraan segera mempersiapkan diri untuk konvoi keliling kota sebagai ekspresi kegembiraan.

Semua kawan berkumpul dan bersiap untuk konvoi dengan kendaraan bermotor. Aku tidak mendapat boncengan dan terpaksa harus pulang mengambil motor. Dengan sedikit rayuan kepada orang tua, akhirnya aku diijinkan membawa salah satu motor yang ada di rumah. Dan peristiwa menyakitkan itu terjadi.

***

Di ujung gerombolan terdepan wajah itu menoleh ke arahku. Wajah yang selalu membuatku resah dan grogi. Seakan ingin menawarkan diri untuk mengajaknya naik motor bersamaku tapi serasa berat bibir ini berucap.

            Terdengar suara seorang kawan dari belakang sambil membonceng motorku. Pikiran kecewa menyelimuti otakku. Ingin rasanya menolaknya, tapi bibir ini tak kuasa untuk mengatakannya.

            Kembali wajah manis itu menoleh dengan raut muka tak secerah tadi. Perempuan yang selama ini aku nantikan. Ia tak punya boncengan dan mulai menepi dari rombongan dengan raut wajah kecewa. Mengeluarkan telepon genggam, dengan mulut komat-kamit dan mulai memencet-mencet telepon genggamnya.

            Tak lama rombongan paling depan mulai berangkat meninggalkannya. Aku pun mulai menyusul dengan sedikit perasaan kecewa.

Baru beberapa meter berjalan, motorku tak dapat aku kendalikan. Sebuah tiang listrik di depan sekolah pun tak luput dari hantaman motorku. Semua orang tercengang dan mengerumuni.

            Tiba-tiba aku digendong ke pinggir jalan tanpa luka sedikitpun. Namun, kawanku penuh darah karena tangan dan kakinya lecet.

            Terdengar sayup-sayup suara seorang perempuan dengan wajah sedih menghampiriku. Perempuan yang sangat aku kagumi. Aku merasa senang. Ternyata dia perhatian kepadaku. Aku merasa tak terjadi apa-apa. Bahkan aku tidak merasa sakit sedikit pun.

            Aku menatap tangan kiriku. Aku terhenyak! Pergelangan tangan kiriku tidak terpasang sebagaimana mestinya. Tanganku patah. Rasa ngilu mulai menjangkit. Pelan dan perlahan terasa sakit. Aku mulai digendong masuk mobil untuk dibawa ke rumah sakit terdekat.

            Aku mengharap ia menemaniku ke rumah sakit. Beberapa kawan ikut masuk ke mobil untuk mengantarku. Dari balik jendela, aku melihat wajahnya. Sedikit pun tak beranjak untuk mengikuti masuk ke dalam mobil. Punah sudah harapan itu. Mobil berjalan dengan cepatnya.

            Dengan penuh coretan di baju dan wajah aku memasuki rumah sakit. Datang seorang dokter laki-laki mendekat dan meminta untuk kawanku yang lain mendaftar pada pihak administrasi rumah sakit. Karena tidak ada orangtua yang bertanggungjawab, pihak rumah sakit menolak merawatku. Dengan basa-basi dokter itu berkata padaku.

            “Tidak apa-apa, Mas. Baik-baik saja kok.” Dokter dengan wajah dingin memeriksa dengan lesu.

            “Tapi tanganku ngilu, Pak. Posisi pergelangan tanganku juga tidak normal.” jawabku sembari menahan sakit.

            “Tidak ada masalah kok. Mas hanya kaget saja,” dokter itu melanjutkan.

Dengan penuh amarah aku mendatangi pihak administrasi rumah sakit. “Apakah kalau tidak ada orangtua yang bertanggungjawab, aku tidak berhak mendapat perawatan yang layak?”

            “Mas benar-benar tidak apa-apa, hanya kaget saja.” Lagi-lagi dokter itu memberikan penjelasan seenaknya.

            Penuh amarah aku membentak si dokter itu. “Yang merasa sakit itu aku bukan anda, Dok. Jelas-jelas tulangku patah, kok dibilang tidak apa-apa hanya gara-gara tidak ada yang menanggung biaya rumah sakit.”

            “Biar kami yang menanggung biaya pengobatan, Pak.” Beberapa kawan mencoba memberi pembelaan agar aku dapat segera dirawat.

            “Apa orangtua mas ini tidak ada?” dokter menyahutnya dengan cepat.

            “Lagi dalam perjalanan, Pak, tolong segera rawat kawan kami.” Kawanku memaksa.

            Dokter itu malah meluncurkan beberapa pertanyaan, seakan ingin mengulur waktu hingga orangtuaku datang. Bagaimana orangtuaku akan datang, sedang mereka tidak ada yang mengabari. Aku takut kalau mereka tahu, pasti aku kena marah, pikirku.

            Aku mulai duduk dan menahan rasa ngilu. Aku tidak tahan, benar-benar sakit rasanya. Bayangan wajah perempuan itu muncul kembali dan aku mulai tersenyum. Sebentar melupakan rasa sakit.

            Betapa tidak adil rumah sakit ini, ketika tidak ada biaya, ia korbankan orang sakit. Aku hanya patah tulang, kalau pun ditunda pengobatannya paling-paling hanya ngilu, tidak bakal mati. Tapi kalau orang yang datang luka parah dan butuh pertolongan segera? Pasti mati kalau si sakit tidak ada biaya. Apakah manusia zaman sekarang lebih mementingkan materi daripada kemanusiaan? Benar-benar aneh hidup di dunia ini.

***

Aku tersenyum bahagia mendapati perempuan yang selama ini aku puja mendatangiku. Pergi bersamakku, merawatku, menemaniku dalam kesendirian. Aku merasa seperti orang yang paling bahagia di dunia ini. Tiba-tiba…

            “Le, ada teman mencarimu.”

            Terpancar wajah perempuan yang tidak begitu asing berada di dekatku. Butuh beberapa saat untuk menginsafi keadaan. Wajah tenang ibuku yang mencoba memberikanku pengertian akan kedatangan seorang teman yang menjengukku.

            Mimpi. Benar, aku hanya mimpi. Sial! Dengan lesu aku menemui teman yang tengah menunggu di ruang tamu.

            “Hei, apa kabar?” sekedar basa-basi untuk menghormati kedatanganya.

            “Harusnya aku yang tanya kabar,” jawab kawanku.

            Lagi-lagi wajah perempuan itu hadir. Seandainya yang datang ialah perempuan itu tentu aku akan bahagia menyambutnya. Tidak seperti ini, hanya basa-basi saja dengan selalu tersenyum.

            “Tanganmu sudah baikan?” Tanya dia.

Aku terhenyak! Ada apa dengan tanganku? Bukankah tadi aku hanya bermimpi? Dengan wajah pucat serta kebingungan yang sangat aku kembali menelusur jejak masa lalu.

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *