Mengajar, antara Keterbatasan dan Pengabdian

Setia Ningsih (kanan), seorang guru honorer SMP IT Mahkota Al-Munawaroh, Dermasuci, Pangkah, Kabupaten Tegal
Aku dan my inspiring teacher saat berpose di area sekolah.

Di tengah-tengah lingkungan yang sejuk nan asri serta jauh dari hiruk-piruk keramaian, perempuan berbadan kurus dan berbaju cokelat sibuk dengan rutinitasnya. Sembari memegangi tumpukan kertas dan mengitari anak-anak usia belasan tahun, ia menghidangkan sesuatu yang menjadi mimpinya dan mimpi negerinya, Indonesia. Raut wajahnya yang bersahaja menebarkan aura optimisme bagi orang-orang di sekitarnya.

Perempuan itu bernama lengkap Setia Ningsih, seorang guru honorer di SMP IT Mahkota Al-Munawaroh, Dermasuci, Pangkah, Tegal. Rumahnya cukup jauh dari tempat ia bekerja. Tepatnya di Tegal Kubur, Lebaksiu, Tegal. Usianya yang terbilang relatif muda, tak menyurutkan keyakinannya untuk bisa terlibat dan mengabdi kepada negerinya, memberikan manfaat kepada sesama, dan menularkan motivasi untuk menjadi pribadi yang baik.

Baca:  Kenangan Di Auditorium Prof Mattulada Unhas

Tia, sapaan akrabnya, menyadari bahwa terdapat kekurangan pada dirinya. Kondisi matanya yang memiliki kelainan sejak lahir, tak lantas menggadaikan mimpinya untuk menjadi pahlawan tanpa tanda jasa. Baginya, itu adalah pekerjaan mulia meskipun dijalani dengan segala keterbatasan dan ejekan dari orang-orang di sekitarnya.

“Karena saya ingin mencerdaskan anak bangsa. Walaupun banyak kekurangan dalam tubuh saya, tetapi menjadi guru adalah mimpi saya,” ujarnya dengan penuh keyakinan dan meruntuhkan dinding-dinding pesimisme, Selasa (24/2).

Tentang Keterbatasan

Bagi mayoritas, keterbatasan adalah penghalang utama untuk berbagi dengan sesama, untuk mengabdi kepada masyarakat, bangsa, dan negara. Namun baginya, keterbatasan justru modal utama untuk merajut mimpi di atas rata-rata, yaitu mimpi yang orang lain pada umumnya pun ‘sukar’ meraihnya.

Sejak lahir, Tia memang memiliki kelainan pada bagian mata. Bahkan dokter telah memvonis bahwa syaraf matanya tak berfungsi secara normal. Namun keluarganya selalu memberikan dorongan moril untuk menggantungkan mimpi setinggi mungkin, setinggi bintang di langit yang tak dapat disentuh oleh tangan manusia.

Mulanya, ia bercita-cita untuk menjadi Polwan. Bak jauh panggang dari api, mimpinya itu pun mendapat jalan terjal. Ia justru mendapat olok-olok dari tetangga dan orang-orang kampungnya sendiri. Bukan tanpa alasan, karena profesi menjadi Polwan menuntut kualifikasi fisik sempurna! Ya, fisik sempurna! Dengan penuh optimisme, ia mendirikan bangunan kokoh yang bernama kepercayaan diri. Perlahan tapi pasti, ia pun mengubah impiannya itu.

Kemudian ia memutuskan untuk bermimpi menjadi pelita dalam kegelapan: guru. Usahanya dimulai sejak tahun 2010, yakni dengan lebih dulu mengenyam bangku perkuliahan. Universitas Pancasakti Tegal menjadi destinasi keilmuannya. Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan menjadi bidang yang digelutinya. Di kampus itu, ia pun semakin mengerti apa arti penting pendidikan bagi dirinya, bangsa dan umat manusia. Semua lika-liku ia jalani untuk meraih gelar Sarjana Pendidikan.

Baca:  Jaminan Rezeki Dan Cara Mencarinya

Tuhan Yang Maha Bijaksana tak pernah berbohong kepada hamba-Nya. Siapapun yang bersungguh-sungguh, maka ia akan menemui jalan menuju kesuksesan. Jadi, kesungguhan dan daya juang setiap individu yang sejatinya menentukan takdirnya sendiri. Ya, takdir untuk menjadi orang sukses.

Demi merajut cita-citanya, ia mengandalkan keberanian dan kemampuan dirinya sendiri. Meskipun ada kelainan pada bagian mata, tetapi itu bukan akhir dari segalanya. Guru PKn tersebut memahami kondisi fisiknya saat ini sebagai wujud kasih sayang Tuhan kepadanya, dan dijadikan pelecut untuk memacu semangat dua kali lipat dari orang biasa.

“Semua orang hidup untuk merasakan kasih sayang dari Yang Maha Kuasa. Janganlah takut untuk meraih cita-cita, dan jadilah orang yang termotivasi,” terangnya dengan penuh kepercayaan diri sembari menegakkan kepala.

Mengajar dan Sebuah Pengabdian

Menurutnya, pengabdian melalui mengajar merupakan salah satu bentuk pembuktian eksistensi kita sebagai manusia yang bermanfaat. Tak penting seberapa besar pengabdian kita, namun yang terpenting ialah seberapa konsisten dan intensif pengabdian kita meski itu dilakukan dengan hal-hal sepele.

Walaupun diselimuti oleh bayang-bayang keterbatasan, Tia sadar bahwa hidup hanya sekali dan harus mengabdi kepada bangsa dan negaranya. Baginya, mengabdi tak mesti menunggu kaya, tua, dan menjadi orang besar. ‘Hal kecil’ seperti mengajar pun bisa dilakukan untuk membuktikan kecintaannya terhadap tanah air.

Bila sebagian guru memilih zona aman dalam mengajar, namun tidak dengan sosok ini, ia rela menempuh perjalanan jarak jauh dari rumah ke sekolah dengan akses jalan yang terbilang ‘sangat’ ekstrem: naik-turun, berliku, berlubang, berbatu, dan licin. Meskipun kerap meminta bantuan dengan orang-orang terdekatnya, tetapi ia menjalaninya dengan penuh keikhlasan dan ketabahan.

“Sebagai manusia, saya juga merasakan lelah (secara lahir), tetapi tidak dengan batin ini. Saya melakukannya untuk mewujudkan impian saya,” ucapnya dengan intonasi datar tapi penuh makna.

Baca:  Jangan Berkarya Kalau Tak Punya Biaya?

Sedikit bercerita tentang kesehariannya menuju sekolah untuk mengajar, ia selalu diantar oleh salah satu anggota keluarga: bapak atau kakaknya. Secara personal, hal itu dilakukan karena ia pernah mendapat suatu pengalaman traumatis saat mengendarai sepeda motor. Beberapa tahun silam, ia mengalami kecelakaan sangat serius. Sampai saat ini, ia lebih memilih mengurungkan niat untuk mengendarai sepeda motor sendiri. Namun baginya, itu bukan alasan untuk berhenti mengajar dan menularkan ‘virus’ motivasi.

Bahkan ia tak begitu memikirkan berapa besar nominal rupiah yang diterimanya. Menurutnya, profesi menjadi guru bukan jalan untuk menjadi kaya, tetapi jalan untuk menjadi bermartabat dan terhormat. Apalagi profesi mulia itu ia jalani demi membanggakan kedua orang tua yang mengharapkan putrinya dapat berguna bagi nusa dan bangsa. Tia pun mesti melalui setiap batu terjal dengan penuh perjungan, harapan, dan cinta.

Sebagai guru PKn, ia menegaskan bahwa tak hanya Polisi dan TNI yang dapat mengabdi kepada bangsa dan negara, malainkan guru pun juga. Apa jadinya bangsa besar ini tanpa sosok guru? Baginya, guru ibarat bintang yang paling bersinar di antara sekian bintang yang berada di langit. Lantaran guru mengemban tugas yang sangat berat: mencerdaskan kehidupan putra-putri Ibu Pertiwi.

Di akhir pembicaraan, ia berpesan kepada semua anak didiknya. “Belajarlah lebih giat agar kalian menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain. Janganlah membantahnya karena ia adalah orang tua kita” pintanya penuh harap dengan tatapan yang sangat dalam.

Lalu, apakah kita masih akan menganggap remeh, berburuk sangka, mencaci, membantah, bahkan melawan sosok pahlawan tanpa tanda jasa?

Bagikan artikel ini
Siti Nurafuah
Siti Nurafuah

Siti Nurafuah ialah anak pertama dari dua bersaudara, lahir di Tegal pada 21 Januari 2001. Tinggal di Dermasuci, Pangkah, sebuah pedesaan yang jauh dari pusat kota. Saat ini, ia merupakan siswi kelas IX SMP IT Mahkota Al-Munawaroh, Pangkah. Ia juga gemar membaca berbagai karya sastra, dan rajin menulis cerpen, pantun, puisi, dan feature. Berbagai kegiatan jurnalistik sekolah pun pernah ia ikuti.

Articles: 1

One comment

  1. hai kak, selamat datang dan terima kasih sudah berpartisipasi dalam Lomba Artikel Inspiratif #Kartunet 2015. Tulisannya bagus sekali dan ditambah dengan sosok guru yang betul-betul inspiratif. Silakan kak dibagikan inspirasi ini melalui social media dan ajak sebanyak mungkin orang untuk beri Like, Retwit, atau +1 untuk jadi artikel terfavorit ya. Terima kasih 🙂

Leave a Reply