Problematika Dunia Kerja pada Disabilitas

Jakarta, Kartunet.com – Dunia kerja adalah sisi kehidupan yang baru setelah manusia melalui berbagai macam jenjang pendidikan. Dalam dunia kerja, seluruh manusia dapat mengimplementasikan seluruh kemampuannya, sesuai dengan kreatifitas yang dimiliki. Jenjang-jenjang pendidikan yang telah dilalui hanya sekedar menjadi pijakan dalam memperkuat keilmuan. Setelah pondasi-pondasi keilmuanya berdiri kokoh, berarti keilmuan yang telah didapat harus segera diimplementasikan dalam dunia kerja.


 


Masalah pekerjaan mulai menjadi perhatian penyandang disabilitas ketika mereka memasuki akhir masa remaja atau setelah menyelesaikan pendidikan setingkat SMA. Penyandang disabilitas, terutama yang tingkat pendidikannya rendah, memiliki kemampuan lebih sedikit dibandingkan individu yang tidak menyandang disabilitas sehingga mereka yang mengalami disabilitas ini memiliki kesulitan untuk berkompetisi dengan individu lainnya (Groce, 2003).

Baca:  Disabilitas mental (Psikologi)

Penelitian di Amerika menunjukkan bahwa dibandingkan dengan individu yang tidak mengalami disabilitas, lebih sedikit penyandang disabilitas yang memiliki pekerjaan dan mereka yang memiliki pekerjaan pun memperoleh penghasilan lebih rendah dibandingkan individu lainnya (dalam Perry dkk, 2000). Penelitian lain menunjukkan bahwa tingkat pengangguran di kalangan dewasa penyandang disabilitas di berbagai negara berbeda-beda, namun diperkirakan rata-rata sekitar 40-60% lebih tinggi dibandingkan dengan dewasa yang tidak menyandang disabilitas (dalam Groce, 2003). Perry dan koleganya (2000) mengemukakan bahwa rasa tidak ingin untuk merekrut pegawai dengan disabilitas muncul akibat adanya pandangan bahwa individu dengan disabilitas memiliki produktivitas yang lebih rendah, serta tingkat kecelakaan dan turnover yang lebih tinggi. Wlaupun demikian, penelitian membuktikan bahwa individu dengan disabilitas memiliki produktivitas yang sama dengan individu lainnya, serta tingkat absensi, kecelakaan dan turnover yang sama atau bahkan lebih rendah (dalam Perry dkk, 2000).


Perry dan koleganya (2000) mengemukakan bahwa penyandang disabilitas mengalami berbagai diskriminasi dalam dunia pekerjaan. Diskriminasi ini dapat dialami ketika mereka hendak memasuki tempat kerja (access discrimination) atau setelah individu diterima bergabung di dalam organisasi (treatment discrimination) (Jones, 1997; dalam Perry dkk, 2000). Access discrimination meliputi kegagalan dalam menerima pegawai untuk alas an yang tidak relevan, gaji awal yang lebih rendah, kurangnya akses untuk pekerjaan dengan level lebih tinggi, serta kegagalan untuk merekrut pegawai untuk posisi-posisi tertentu. Sementara itu, treatment discrimination meliputi tingkat promosi yang lebih rendah, permintaan untuk melakukan tugas yang lebih tidak menyenangkan atau menantang, peningkatan gaji yang lebih sedikit serta lebih sedikitnya peluang untuk mendapatkan pelatihan (Perry dkk, 2000). Mendukung pernyataan tersebut, Groce (2003) mengemukakan bahwa selain menjadi yang terakhir untuk direkrut, penyandang disabilitas juga menjadi yang pertama untuk diberhentikan jika situasi perusahaan sulit, jarang mendapatkan pekerjaan yang memiliki prospek untuk berkembang dan kurang mendapatkan keamanan dalam bekerja.

Baca:  Ganti Pengumuman Audio, Angkasapura I Disomasi

Masalah ketenaga kerjaan bagi penyandang disabilitas di Indonesia diatur dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1997 mengenai penyandang cacat. Menurut Undang Undang tersebut, setiap badan usaha milik negara dan swasta harus memperkerjakan individu dengan disabilitas yang memenuhi kualifikasi, sekurang-kurangnya 1% dari jumlah seluruh karyawan. Akan tetapi, walaupun sudah lama disahkan, peraturan ini belum juga dilaksanakan dengan benar (dalam Suara Pembaruan, 2009 dan Kompas, 2010). Ketua umum Persatuan Penyandang Cacat Indonesia (PPCI), Siswadi (dalam cakrawala, 2009) mengemukakan bahwa rasio penyandang disabilitas yang dipekerjakan di perusahaan masih kurang dari 0,5%, sehingga dapat dikatakan bahwa penyandang disabilitas ini masih dimarjinalkan dari pasar kerja. Walaupun demikian, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DKI Jakarta mengemukakan bahwa banyak penyandang disabilitas yang memiliki kemampuan bekerja sehingga sejak tahun 2009 telah diupayakan adanya berbagaiprogram guna menyiapkan penyandang disabilitas untuk memasuki dunia kerja (dalam Suara Pembaruan, 2009). Dengan program tersebut diharapkan masalah yang dialami penyandang disabilitas dapat teratasi.(Rafik)


Referensi : Wirastari, Maria. 2010. “Gambaran Kecerdasan Emosional Dewasa Muda Penyandang Disabilitas Fisik di Jakarta”. Jakarta: Unika Atma Jaya

Bagikan artikel ini
Rafik
Rafik

Tiada Mata Tak Hilang Cahaya

Articles: 27

One comment

  1. wah.. tulisan yang sangat menarik. saya sangat tertarik ingin mengangkat topik penelitian terkait penyandang disabilitas. apakah saya boleh meminta refensi bacaan bapak terkait tulisan ini ?
    seperti artikel yang ditulis oleh groce dan perry. jika bapak berkenan mohon bisa di emailkan ke fadri.chaniago@gmail.com
    atas bantuannya saya ucapkan terimakasih

Leave a Reply