ROMANSA DI PINGGIR SUNGAI

“Mbak, turun, mbak!”

 

 

“Nyebut mbak, Astaghfirullah!”

 

 

“Mbak, dengan mbak loncat ke air di bawah sana, semua masalah tidak akan selesai, mbak!” Jakarta, krodit, dan serba padat. Tapi ada yang tak biasa kali ini, dimana aku mendengar ribut-ribut entah apa dari jembatan yang mengarah ke sungai itu. Penasaran, kutepikan mobilku, kutinggalkan menuju kerumunan yang sedang heboh di sana itu.

 

 

Aku melihat beberapa orang yang berdiri – sebagian melakukan aktifitas bodoh dengan menyalakan kamera dan membuat video, sementara seorang gadis dengan sorot mata yang yakin dan seolah tidak bisa dibantah siapapun, tampaknya sudah siap lahir-batin untuk membiarkan tubuhnya menjadi santapan buaya lapar (yang pasti bukan buaya darat, ya), dan atau patah berserakan, remuk terhantam batu-batu tajam di dasar sungai itu.

 

 

“Matikan videonya!” seruku seraya menyibak kerumunan. Dari tadi kudengar semua orang hanya melakukan hal-hal tidak berguna dengan menyuruhnya turun, memintanya jangan melakukan hal itu, tanpa ada yang berani bertindak extrem dengan menariknya langsung. Malahan seperti yang kukatakan tadi, justru ada beberapa orang yang malah mencari keuntungan dengan memvideo-kan semua kejadian ini, berharap untuk viral.

 

 

Aku menyibak kerumunan itu hingga posisiku sejajar dengan gadis itu – di pinggir pembatas jembatan, dan tanpa persetujuan darinya, langsung saja kuangkat gadis itu, dan baru kuturunkan ketika kami sudah tiba di dalam mobilku. Kududukkan ia paksa di jok di sebelahku, memakaikannya sabuk pengaman, lalu, mobil ini kembali membelah deru ramai jalanan.

 

 

“Lancang sekali kamu, menurunkanku paksa dari situ,” si gadis memecah kesunyian. Sejujurnya aku ingin sekali tertawa geli, karena ekspresi suara dan kata-katanya yang terdengar tajam itu berbanding terbalik dengan tatapannya yang sayu, dan wajah ayunya yang meminta pertolongan untuk keluar dari situasi sulitnya, bukan Cuma sekadar turun dari tepi jembatan yang tinggi seperti tadi.

 

 

“Aku hanya ingin menyelamatkan satu nyawa yang masih berharga untuk bumi ini,” ucapku acuh seraya tetap fokus menyetir.

 

 

“Mengapa semua orang selalu mengatakan hal se-klise itu?” tanyanya seraya menghela napas lelah.

 

 

“Maksudmu?”

 

 

“Tentang hidupku yang berharga, tentang semesta yang katanya peduli. Aku sangsi akan semua itu, juga tentang alasan mengapa aku dilahirkan…”

 

 

“Ayo pikirkan hal-hal lain yang pernah membuat hidupmu berwarna dan menyenangkan,” ucapku pelan. Aku tak ingin menghakimi, karena yang kutau dan yang kuyakini, gadis ini hanya butuh didengarkan.

 

 

“Seperti mengetahui siapa namamu?” ucapnya seraya tersenyum. Aku ikut tersenyum, setidaknya, ia mulai percaya padaku bahwa aku tak bermaksud apa-apa padanya, dan hanya berniat untuk membantunya.

 

 

“Aku Arjuna. Kamu?”

 

 

“Namaku Srikandi, panggil aku Kandi.” Jawabnya pelan. Aku mengangguk, lalu berpikir lagi. Sepengetahuanku dan yang pernah kudengar, Srikandi itu adalah lambang kekuatan. Dalam dunia pewayangan, Srikandi adalah istri dari Arjuna yang pintar memanah. Eh, berarti nanti dia akan jadi istriku dong? Yah sudahlah. Berharap yang baik itu tidak ada salahnya, kan? Selain itu, Srikandi juga bisa diartikan sebagai wanita yang kuat dan gagah berani, tapi…

Baca:  Kumohon Pergilah

 

 

“Tidak usah memandang nama dan hidupku melalui perbandingan, karena nyatanya, hidupku tak seindah nama yang diberikan itu, dan mungkin saja, hidupku tidak sedalam itu maknanya, bukan hanya bagi diriku, tapi juga bagi orang lain…”

 

 

“Berhenti menjadi Tuhan atas hidupmu sendiri, Kandi,” ucapku lembut, berusaha mencairkan hatinya yang kini masih sekeras batu.

 

 

“Aku yang tau hidupku Juna, aku yang tau tentang betapa menyakitkannya perlakuan orang-orang yang harus kuterima selama nyaris 25 tahun aku hidup…”

 

 

“Aku tau, Kandi. Oke, aku tidak mau mengingatkan kamu sama rasa sakit yang masih ada itu, sekarang, ayo kita turun dan bersenang-senang di cafe ini. Kamu suka ice cream? Atau cake cokelat? Silakan pilih semuanya, dan nikmati itu sambil bercerita apa saja, dan aku akan mendengarkanmu,” ucapku serius.

 

 

“Tapi kita baru kenal, Juna…”

 

 

“Dan tidak ada alasan untuk tidak menjamu dengan baik teman diskusi baru yang menyenangkan sepertimu,” ucapku tak mau kalah. Dan akhirnya, gadis itu mengangguk juga, menerima ajakanku. Syukurlah, aku sudah sedikit berhasil meruntuhkan kekeraskepalaannya.

***
Sebulan berlalu pasca kejadian di jembatan di pinggir sungai. Pada pertemuan hari itu, aku langsung meminta nomor ponsel dan nama-nama akun sosial medianya, dan kitapun mulai saling follow. Kami masih sering bertukar sapa lewat WA, dan sekarang, kesibukanku akan membawaku pergi ke lain kota, meninggalkannya dengan aktifitas padatnya di kota ini.

 

 

[Kamu ambil penerbangan jam berapa?] tanyanya fia chat, usai aku merampungkan sarapanku yang nyaris terlambat karena kesiangan. Seandainya mama tidak mengomel selama satu setengah jam sebelum aku bangun, mungkin saja aku benar-benar tidak bangun dan jadi kesiangan. Tapi omelannya itu lho nggak banget ; “makanya cari istri, Juna, biar ada yang ngurusin kamu, jadinya gak keteteran gini!” padahal kan mama masih bisa ngurusin aku, huhu.

***

 

[See you there, my good partner, hati-hati..] sebelum pesawatku menuju Surabaya take off, aku melihat-lihat story WA sebentar. Dan aku menangkap kejanggalan pada story WA yang barusan ditulis oleh Kandi, terutama di bagian kata-kata “See you there”, apa maksudnya?

***

 

“Kan bener, beneran ketemu disini kan kita?” aku memutar tubuhku, dan menatap terkejut sosok gadis cantik yang memakai hoodie biru muda, yang kini tengah berdiri seraya tersenyum dan menatapku.

 

 

“Kamu kok bisa ada disini, sih?” tanyaku heran.

 

 

“Aku ngisi acara disini juga…”

 

 

“Eh, Juna, udah sampai?” tanya Mbak Windi, EO yang mengajakku mengisi acara pada event-nya di Kota Pahlawan ini.

 

 

“Iya mbak, tapi terus… Kok bisa ada Kandi disini ya?”

 

 

“Lho, kalian udah saling kenal ta?” tanya Mbak Windi balik.

 

 

“Udah,” jawabku dan Kandi serempak.

 

 

“Ya ini Jun, orang yang mau aku kenalin dan kuminta buat duet sama kamu. Adelia Srikandi ini kan penyanyi yang lagi naik daun…”

 

 

“Aku bukan ulet mbak,” seloroh Kandi. Aku kaget. Oh, My, God. Kenapa aku bisa nggak notice dan nggak nyadar soal ini dari pertama kali melihat wajahnya di jembatan pinggir sungai itu? Pantes familiar!

 

 

“Ja-Jadi?” ucapku.

 

 

“Ya gitu, I can’t explain anything, karena kamu juga udah kenal sama dia kan? Yuk, naik mobil aja, biar cepet sampe hotel,” kata Mbak Windi. Aku mengangguk, begitu juga Kandi. Dan sambil mendengarkan celoteh Mbak Windi, kami berjalan ke mobil sewaan yang telah disediakan untuk kami selaku pengisi acara, mobil yang akan membawa kami menuju penginapan.

***

 

“Gila, aku gak tau lho kalau orang yang aku tolong waktu itu adalah seorang artist…”

 

 

“Tolong, jangan rubah pandanganmu. Pandanglah aku seperti seharusnya, bahkan, pandanglah aku sebagai gadis tolol yang begitu apatis terhadap hidupnya, sampai-sampai mau loncat dari jembatan segala,” ucapnya. Restoran hotel, malam hari. Setelah urusan check in dan perkamaran selesai, sekarang waktunya kami untuk makan malam.

Baca:  Pengganti Hidup

 

 

“Kenapa begitu?” tanyaku heran.

 

 

“Aku tidak ingin esensi pertemanan kita berubah, aku ingin kamu berteman denganku karena apa adanya diriku, bukan apa latar belakangku,” ucapnya pelan. Aku mengangguk, paham. Mungkin ia hanya ingin diperlakukan dengan baik dan tulus ; dihargai keberadaannya, dipandang sebagai manusia biasa yang tentunya tetap dengan cara yang baik. Ia hanya ingin semesta menerima seluruh bagian dari dirinya tanpa terkecuali, bukan hanya yang ada dan tampak di depan layar, gemerlap lampu, dan kamera.

 

 

“Oke aku paham, aku gak akan bahas. Dan, besok kita disuruh duet lagu apa sih sama mbaknya? Kok aku lupa ya?” tanyaku mengganti topik.

 

 

“Nggak tau, aku juga lupa… Ya udah ke kamar aja yuk, istirahat,” ajaknya. Aku mengangguk setuju.

***

 

Beberapa waktu berlalu lagi, cepat sekali. Dan perihal duet kami di Surabaya itu juga sukses kok. Kandi sendiri baru tau kalau aku seorang penyanyi sepertinya. Soalnya ketika aku menolongnya tanpa permisi di jembatan tempo hari, aku sedang memakai jas dan dasi yang tampak formal sekali. Ya iyalah, soalnya waktu itu aku baru selesai menandatangani kontrak kerja baru di sebuah perusahaan rekaman, dan aku harus berformal-formal ria karenanya. Dan soal hubunganku dengan Kandi sendiri, progresnya makin kesini makin baik. Mama juga sudah tau siapa Kandi, karena aku pernah beberapa kali membawanya ke rumah saat sedang kumpul keluarga besar, atau saat mama sendirian juga. Malah kadang-kadang aku bisa menyaksikan kekompakan mereka saat mem-bully-ku yang katanya nggak nikah-nikah, padahal udah dewasa. Seandainya mereka tau, siapa wanita yang sebenarnya ingin kunikahi saat ini.

 

 

“Jun, mama lihat, kayaknya Srikandi orang yang baik ya,” ucap wanita cinta pertamaku itu, seraya duduk di sofa, persis di sebelahku.

 

 

“I think so… Tapi pengen bilang ini gak berani sama mama,” jawabku.

 

 

“Bilang apa?” mama tampak penasaran.

 

 

“I wanna marry her…”

 

 

“Why not? Almarhum papa di atas sana pasti senang, anaknya udah mau belajar bertanggung jawab. Mama sih setuju…”

 

 

“Hah? Be-Beneran, ma?” tanyaku – setengah tak percaya.

 

 

“Yeeee, masak kayak gini dianggap becandaan sih?”

 

 

“Ya udah deh, ma, lagian, aku udah ketemu sama papa dan kakak laki-laki dari Kandi sendiri, Mas Dewa dan Om Rama, dan keliatannya mereka setuju tuh…”

 

 

“Lampu hijau untukmu, Juna. Kalau kamu merasa dia adalah yang tepat bagimu, lakukanlah apa yang juga tepat baginya, atau tepat bagi kalian,” nasihat mama. Aku terdiam sejenak untuk berpikir. Tapi bener juga sih apa yang mama bilang, toh kita udah sama-sama dewasa, kan.

***

 

“Seorang Arjuna Dhirgantara gak mungkin nih se-formal ini, tiba-tiba ngajak private dinner segala, di rooftop hotel pula. Ada apa sih?” tanya Kandi, sesampainya kami di tempat tujuan. Memang sore tadi aku menelponnya, mengutarakan niatku untuk menjemputnya.

 

 

“Di rooftop ini, kita Cuma makan kok, makanya Cuma sebentar. BTW private dinner ini usulnya mama, soalnya katanya kamu lagi gak mau ketemu banyak orang kan?”

 

 

“Ah, Tante Olive, the best deh, selalu tau yang kumau…”

 

 

“Iya dooong, mamakuuu gitu. Eh, mau pesen apa?” tanyaku.

 

 

“Samain sama kamu aja deh,” katanya. Aku mengangguk. Dan sambil disisipi obrolan-obrolan ringan, kami memulai private dinner yang luar biasa indah ini. Dan demi Tuhan, Kandi begitu cantik dengan long dress hitam dan sepatu flat yang berwarna senada. Dan rambut panjangnya itu…

 

 

“Eh, jangan bengong, nanti kesurupan lho, kita disini Cuma berdua woi, aku juga bukan spesialis menangani orang kesurupan…” celoteh Kandi seraya melambaikan tangannya di depan wajahku. Ah, Kandi, buyar sudah lamunanku yang semuanya tentang kamu.

 

 

“E-Eh, sorry, Ndi. Langit malam ini bagus ya?” kataku kikuk seraya memandang ke atas, dan and I wanna say thanks to the stars, karena mereka sempat bersinar, seolah mendukung argumentasiku yang tampak payah di depan wanita pujaanku ini.

Baca:  SANG KUDA LUMPING

 

 

“Iya, banyak bintang…” jawab Kandi.

“Dari tadi aku mengamati lho, aku cari-cari satu bintang yang paling terang, tapi nggak ada,” kataku.

 

 

“La kok bisa?” tanya Kandi.

 

 

“Aku salah alamat, harusnya aku gak nyari jauh-jauh ke atas sana. Orang nyatanya, satu bintang yang paling terang itu ada di sebelahku sekarang…” kataku tulus, seraya memberanikan diri menatap matanya.

 

 

“Eh, dasar, gombal banget sih!” serunya pura-pura jengkel. Tapi pipinya yang bersemu merah tidak bisa dibohongi.

 

 

“Thanks ya, Jun,” katanya tiba-tiba.

 

 

“Untuk apa?” tanyaku.

 

 

“Untuk semua warna indah yang kamu lukiskan di hidup aku. Semenjak sama kamu, aku lebih kayak ngerasa mudah menjalani semua yang terasa susah. Dan semenjak sama kamu juga aku lebih berani membawa personal branding diriku sebagai Adelia Srikandi, si gadis 25 tahun yang normal, bukan sebagai artist yang semua gerak-geriknya harus sesuai pandangan orang. Dan sosok-sosok seperti kamu inilah yang kuhargai dengan sangat keberadaannya,” jelasnya. Aku mengangguk, dan lalu tersenyum. Rasanya aku ingin menyusupkan tanganku dibalik rambut panjang hitam itu. Tapi nanti aja, deh, bentar lagi halal ini kan?

 

 

“Udah selesai kan makannya? Aku mau ngajak kamu ke suatu tempat lagi nih,” kataku.

 

 

“Kemana lagi sih?” Kandi penasaran.

 

“Pokoknya ada, deh, ayok buruan, keburu malam nih,” kataku setengah tak sabar. Gadis yang setahun lebih tua dariku itu mengangguk. Akhirnya, kami keluar dari area hotel itu, dan berangkat menuju ke destinasi selanjutnya.

***

 

“What? Ngapain kamu ngajak aku kesini?” tanyanya yang heran, karena aku membawanya ke pinggir jembatan tempat kita pertama kali bertemu dulu.

 

 

“Karena di tempat ini semuanya dimulai, Ndi. Dari pertama kali aku memutuskan untuk nolongin kamu, dan jadi tempat curhat paling baik untukmu. Dan aku ingin mengakhiri semuanya juga disini…”

 

 

“Mengakhiri semua? Mak-Maksud kamu? Kamu mau ninggalin aku?” tanyanya seraya menundukkan pandangan. Aku tau, ada kaca-kaca yang coba disembunyikan disana, dan aku tak sanggup melihatnya lama-lama.

 

 

“Bukan, Mbak Yu. I wanna marry you!” seruku langsung, saking panik dan gugupnya.

 

 

“Hah? Ap-Apa?” Kandi terkejut. Kini ia mulai berani menatap mataku lagi.

 

 

“Yes… I wanna marry you… Kamu mau gak tak nikahin?” tanyaku semakin tak terkendali. Oh sugar, honey, ice tea. Rasa gugup ini ternyata malah membuatku jadi kayak makhluk yang paling bodoh di dunia.

 

 

“Eh ini serius gak sih?” tanyanya balik. Ampuuuun, gimana jawabnya kalau udah begini cobaaa?

 

 

“Ya serius Ndi, kamu mau gak?” tanyaku sekali lagi.

 

 

“I-Iya, a-aku mau. Ta-Tapi ini bukan prank, kan?”

 

 

“Astaga ya bukanlah!” seruku tak sabar. Kuraih pelan tangan mungil itu. Kukeluarkan sesuatu yang sudah kusimpan lamaaa sekali, lalu kupasangkan di jari manisnya.

 

 

“Me-Menikahlah denganku, Adelia Srikandi…” pintaku seraya mengecup lama jari itu. Dan satu anggukan darinya membuatku melambung tinggi, sampai aku memberanikan diri melakukan yang seharusnya kulakukan dari dulu *eh, aku menciumnya. Tapi cuman di pipi, kok. Lainnya nanti aja kalau udah diresmikan.

 

 

“Thanks for accepting me…” kataku, sesaat setelah kami menguraikan pelukan.

 

 

“Harusnya aku yang makasih, karena kupikir… Nggak ada lagi orang yang bisa menerimaku setulus ini,” katannya pelan.

 

 

“Bukan gak ada, tapi belum. Dan sekarang, kamu telah menemukannya.”

 

 

“Yes, I found you here. Dan sepertinya, Srikandi menjadi istri Arjuna tidak hanya ada dalam cerita pewayangan saja, bukan?” katanya. Aku tertawa, dan memeluknya lagi. Sepertinya, hari-hari setelah hari ini akan menjadi yang paling membahagiakan bagi kita. Aku dan dia akan berbagi dunia, berbagi suka dan-duka yang sama.

 

SELESAI

 

ZELDA MAHARANI

 

Bagikan artikel ini
zelda maharani
zelda maharani

seorang pelajar yang jatuh setengah mati pada seni

Articles: 8

4 Comments

Leave a Reply