Sekjen Inaca: Tunanetra itu Orang Sakit

Jakarta, Kartunet.com – Indonesia National Air Carriers Association (INACA) mengeluarkan tanggapannya terkait masalah penolakan terbang terhadap Deni Yen Martin Rachman (30) Rabu lalu (14/9) oleh Citilink Airlines. Sekjen INACA Tengku Baharuddin mengatakan “orang-orang tunanetra seperti Deny sama seperti orang sakit yang harus selalu didampingi oleh seorang dokter.”

Menanggapi pernyataan Sekjen INACA tersebut, Jaka Ahmad selaku Kepala Biro Komunikasi dan Informasi DPD PERTUNI DKI Jakarta, yang juga seorang tunanetra mengatakan bahwa pernyataan tersebut timbul karena minimnya pengetahuan masyarakat mengenai disabilitas. Diperkuat dengan melekatnya paradigma di masyarakat bahwa penyandang disabilitas atau cacat adalah manusia kelas dua. “Akhirnya perlakuannya pun juga disamakan seperti terhadap orang sakit karena pada nyatanya penyandang disabilitas dipandang sebagai kelompok yang lemah yang harus dibantu seperti dibopong, digendong, dan lain-lain” jelas Jaka.

 

Jaka menganggap pernyataan yang dilontarkan INACA masih wajar walaupun pemikiran tersebut salah. Masyarakat belum paham mengenai disabilitas, ini berawal dari terminology kata cacat menurutnya , yang arti dari kata cacat itu sendiri adalah ada yang rusak, ada yang tidak baik dan ada yang tidak berfungsi.

Jaka juga menjelaskan pengalamannya saat berdiskusi dengan beberapa pilot yang pernah dikenalnya mengenai penanganan penyandang disabilitas. “Para pilot Indonesia yang pernah bertugas di maskapai penerbangan seperti Amerika Airlines tau tentang penanganan penyandang disabilitas, namun ketika kembali lagi ke Indonesia sering ditemukan tidak ada panduan untuk penanganan penyandang disabilitas. Sekalipun ada maskapai nasional yang telah membuat panduan untuk penyandang disabilitas, sayangnya teman-teman penyandang disabilitas tidak diajak dalam menyusun panduan itu. Hal ini disebabkan karena dianggapnya penyandang disabilitas adalah manusia kelas dua yang pemikirannya tidak seluas manusia kelas satu yaitu nondisabilitas” tegas Jaka.

 

Kemudian, Jaka menceritakan pengalamannya ketika terbang menggunakan beberapa maskapai nasional. Jaka pernah bermaksud ke Bali menggunakan maskapai nasional, ia tidak pernah menemui masalah dalam hal pendampingan, namun anehnya ketika hendak kembali ke Jakarta ia malah menemukan masalah. Berdasarkan itu Jaka mengambil kesimpulan bahwa sudah ada peraturan untuk penyandang disabilitas, hanya saja tidak menyebar merata di setiap lini.

 

Kasus lainnya yang Jaka temui adalah ketika ada tunadaksa hendak menaiki pesawat dan membutuhkan bantuan petugas, namun petugas tersebut malah acuh. Yang lebih ironis lagi, ada juga penyandang disabilitas yang diberikan tanda yang terdapat tulisan “TITIPAN” yang dikalungi di leher si penyandang disabilitas.

Beberapa maskapai penerbangan sekelas Citilink Airlines memang memberikan fasilitas untuk tunadaksa, namun mereka memberikan charge lagi untuk fasilitas tersebut. Jaka menyampaikan memang tunanetra perlu pendampingan khusus namun tidak serepot yang digambarkan oleh sekjend INACA.

“Tunanetra memang membutuhkan pendamping tetapi tidak secara terus menerus. Cukup ketika si tunanetra naik ke pesawat dibantu sampai duduk di bangkunya, ketika di dalam pesawat tidak ada yang perlu dikhawatirkan”.

Jaka juga menambahkan bahwa masih sangat minimnya kesadaran yang diwujudkan dengan inisiatif maskapai nasional untuk mendampingi penyandang disabilitas. Padahal Jaka sudah melakukan pelaporan bahwa dirinya adalah penyandang disabilitas netra beberapa hari sebelum keberangkatan.(Laras)

Last Updated on 6 tahun by Redaksi

Oleh Redaksi

We provide information, news, articles, opinion, and tutorial that not only inspire you, but also encourage yu to contribute in building Indonesian inclusive society.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *