Ini suatu tragedi yang buat aku nyaris gila, aku mutlak tak percaya. Kenapa orang itu? Aku menyapa, ia tak menjawab. Aku tersenyum, ia malah bergegas lari. Aku mendesah berharap beban di raga terlempar bersama segala serapah yang tertuju untuknya. Ini bukan yang pertama kali, orang yang sama dengan reaksi yang sama pula. Apa salah menyapa orang tak dikenal hanya sekedar untuk beramah tamah?
Jalanan masih lenggang, dan dingin merayap ke sekujur tubuh. Aku tak bisa bertahan, bukan karena dingin. Tapi sosok misteri tadi, meninggalkan sedikit rasa ngeri.
“ Masih pagi kok udahan jogging-nya Nay?”
“ Ia mah, di luar dingin banget.” aku memperlihatkan kedua tanganku yang tampak kisut.
“ Kalo gitu mama siapkan air hangat untukmu mandi!”
Aku hanya mengangguk. Anggukan yang tak tulus. Anggukan yang bebarengan dengan rasa kesal, kesal karena diacuhkan. Kesal karena tanya tak terbalas. Kesal karena malu, Malu karena rasa acuh yang terus menyatu di jiwaku.
Selesai mandi aku buru-buru ke kamar, aku langsung menghadap kaca besar yang melekat di dinding kamar.
“Wahai kaca, katakan kenapa cowok tadi lari terbirit-birit melihatku” ucapku dengan nada sendu.
Tentu kaca itu hanya bergeming. Aku menatap lekat bayangan di kaca itu, wajah cantik, kulit putih bersih, bibir tipis bak lapis legit. Rambut terurai, bercahaya dan lembut bagai sutra. Aku hanya bermaksud ber-ramah tamah padanya, tapi tanpa kata ia melenggang begitu saja. Apa aku pernah berbuat salah padanya? Ah, jangan sampai aku gila gara-gara terus bertanya.
Di kelas, aku bercerita sedetail mungkin pada teman-teman mengenai si misterius itu. Aku tak berharap menemukan jalan buntu. Mereka semua tampak heran.
“Bagaimana bisa, cowok bodoh mana yang mau melewatkan senyum dan sapa sempurna Naya, Si Bidadari Sekolah” ujar Novi yang biasanya tenang, ia tampak mulai penasaran.
“Hahaha.. kasihan banget lo Nay, mungkin anak itu tuli kali. Atau alergi?”
“Maksudmu?” aku menyela karena merasa sedikit dipermainkan oleh mereka.
“Alergi ketemu orang ayu kaya kamu Nay!!” kata-kata mereka sama sekali tak membantu.
Tiba-tiba aku terperangah, dari jendela kaca terlihat sosok cowok tinggi putih, yang membaca buku sambil mondar-mandir tak tentu.
“Lina, itu…..itu……” aku mengangkat telunjukku ke arah cowok yang jadi perbincangan dari tadi.
“Astaga.., pantas kau tak di acuhkan. Kau tak tahu siapa itu?? Aku mengangguk dan tersudut karena ketidaktahuanku.
“Itu Raka, anak dengan gangguan gerak, bisu, dan punya sedikit masalah syaraf di otaknya. Ia di panggil Tuna, karena ia memang satu-satunya anak tuna rungu dan tuna wicara di sekolah kita”
“Ia di kelas 3 IPA, semua orang tak mengerti kenapa ia bisa ada di sini. Mungkin anak pejabat, atau yang lainnya” sahut Ela dengan nada yang terus meninggi.
“Kau kemana saja sih Nay, hal kecil seperti ini tak tahu, kau terlalu sibuk dengan dirimu sendiri dan para fans-fansmu”
Aku terdiam, sepertinya aku tenggelam jauh ke dalam kesunyian. Hingar-bingar suara di sekitarku rasanya menghilang. Aku tak dapat mendengar apa-apa lagi. Bulu kudukku berdiri. Aku lemas, kenapa bisa. sosok sepertinya, yang lebih pantas menjadi tokoh pangeran ternyata memiliki disabilitas.
Aku kembali memandanginya, kali ini benar-benar lekat. Ia memang tampan dengan fisik yang terlihat normal, tapi tak bisa dibenarkan tindakannya. Berdiri tersenyum-senyum sendiri sambil membaca buku. Ia tampaknya acuh pada siapa pun, seperti hidup di dunianya sendiri. Tak satu orang pun di dekatnya. Hampir tak ada yang menganggapnya ada. Hanya satu atau dua siswa yang memperhatikannya, Mereka dengan bangga bergelak tawa melihat tingkahnya. Mereka terbahak, lebih mirip seperti menonton komedi TV. Tiba-tiba aku merasa murka. Bukan karena ia yang pernah mengacuhkanku waktu itu. Tapi entah mengapa aku juga tak begitu tahu.
Aku pulang ke rumah dengan perasaan berat. Aku masih ragu, aku juga pilu. Bagaimana bisa,.. aku kemarin telah mengucap berbagai serapah pada orang yang tak tahu apa-apa karena keterbatasannya. Aku merasa bersalah sekaligus merasa sangat terhina. Aku dengan segala yang ada kadang masih mengeluh, mengumpat, mengatakan bahwa Tuhan tak adil, tak memberi yang ku inginkan. Oh.. aku benar-benar hina. Aku harus melakukan apa untuk menebus dosa.
Malam ini kamarku tampak berbeda, begitu sendu. Langit-langit melirikku dengan tajam, jam dinding terlihat merinding. Nada-nada dari pengeras suara terdiam, mungkin mereka marah karena prasangkaku yang nista. Mata enggan terpejam, teringat wajah rupawan yang tak di hiraukan bahkan di lecehkan. Tapi aku tak sengaja melakukan. Aku tak bisa terdiam, aku benar-benar terangsang melihat lembar buku dan pena. Kugerakkan jari-jari, tapi rasanya tersendat. Kukerahkan semua teori-teori, dan hasilnya hanya tulisan di bawah ini.
Aku minta maaf Raka, untuk tingkahku yang tak pantas.
Kamu mau kan memaafkanku??
Kata-kata yang tak istimewa, tapi jujur menulis barisan kalimat itu membuat keringatku mengelucur. Sampai-sampai aku tak bisa lelap tertidur. Sebentar bangun sebentar tidur. Sebentar bangun sebentar tidur. Aku benar-benar merasa bersalah.
Fajar telah mengusir malam yang gulita. Pagi yang cukup cerah. Aku telah bersiap, ku kencangkan tali sepatu cat hitam putih dan kukenakan topi putih bersih.
“ Mah. .. , aku pergi ya, doakan selamat!! Aku berteriak menghentakkan kehenigan suasana rumah.
“Ia, ia, ga pake teriak kenapa Nay” ia melongok dari dapur dengan muka tampak geram.
Aku melangkahkan kaki perlahan, semakin lama semakin kencang. Sampai di suatu titik, aku mulai terhenti. Bukan karena ada lampu merah, tapi di hadapanku muncul dia. Dia yang dipanggil Tuna,..
Dia membuang muka, tapi aku mendekat tepat di hadapannya. Kupegang tangannya, sekujur tubuhnya bergetar. Dia berusaha melepas tangan tapi segera ku cegah dengan tulisan yang ku gelar dihadapannya. Tulisan yang ku buat semalam. Ia agak tercengang, kemudian perlahan ia merogoh saku dan mengeluarkan buku biru yang tampak lusuh. Ia sibuk dengan benda itu, dan ia menulis sebuah kalimat berbunyi,
Tak ada yang dimaafkan, karena tak ada yang dipersalahkan
Aku menyambut kalimat itu dengan senyum, dan ajaib… kali ini Raka membalasnya dengan senyuman. Senyuman yang kurasa sangat sempurna.
Sejak saat itu, aku mulai terbang jauh dari dunia yang dulu. Mengepakkan sayapku dengan bebas. Ku tangkap makna dan arti jiwa yang melekat pada raga. Dan itu ku mulai dengan menyingkap misteri Raka, Raka yang biasa di panggil Tuna. Jiwa mereka sulit di baca, karena raganya tak mampu mencerminkan jiwa. Mereka tak bersuara, mereka tak mendengar, tapi mereka tetaplah seorang insan. Mereka bisa berfikir, dan mereka tentu bisa merasa. Hati mereka yang berbicara, dan mereka sendirilah yang mampu mencernanya. Tak layak kita memandangnya sebelah mata, karena kita semua adalah sama dimata Sang Pencipta.
editor: Putri Istiqomah Priyatna