Taufiq, Tunanetra Wujudkan Mimpi Keliling Dunia

Taufiq EffendiJakarta, Kartunet.com – “Bu, Taufiq pengen keliling dunia.” Ucapan itu terlontar begitu saja. Taufiq berusia 17 tahun saat itu. Sang ibupun hanya menanggapi kalimat anaknyanya sepintas lalu. Dua tahun sudah Taufiq menjadi tunanetra, selama itu pula ia putus sekolah. Wajar jika kebahagiaannya membuncah ketika akhirnya bisa bersekolah lagi, hingga menuturkan sebuah kalimat sederhana yang dianggap mustahil oleh orang tuanya. Namun, tahun demi tahun terus berlalu. Keping demi keeping puzzle mimpi itu Taufiq kumpulkan tanpa kenal lelah. Usahanya membuahkan hasil. Kalimat sederhana yang ia ucapkan di waktu remaja, kini menjadi nyata.

Memperoleh beasiswa ke luar negeri, mungkin merupakan mimpi banyak orang. Begitu pula dengan Taufiq Efendi. Menjadi tunanetra bukan berarti tidak mungkin meraih prestasi gemilang. Ketekunan dan kerja keras yang ia lakukan untuk meraih keinginannya tidak sia-sia. Tidak tanggung-tanggung, delapan beasiswa luar negeri pun ia taklukan.

“Sebenarnya sih, sudah buta sebelah dari usia 10 tahun,” cerita Taufiq. Ia pernah mengalami kecelakaan di usia 6 tahun. Efek dari kecelakaan itu perlahan merenggut penglihatannya. Awalnya dimulai dari mata kanan, kemudian diikuti mata kirinya pada usia 15 tahun. Walhasil, baru dua bulan menikmati bangku SMA, ia terpaksa putus sekolah.

Taufiq frustasi. Tidak mudah menjalani hidup sebagai penyandang disabilitas, apalagi di usia belia. Hancur rasanya perasaan Taufiq ketika kegelapan yang menyergap membuat dia harus putus sekolah. Keceriaan dalam keluarga seakan pudar, berganti tangis dan luka.

“Nggak selamanya kita bisa mengandalkan orang tua. Kita hanya bisa mengandalkan diri sendiri aja untuk masa depan kita.” Demikian Taufiq mengungkap alasannya bangkit dari keterpurukan. Keinginan agar dapat hidup mandiri dan membahagiakan kedua orang tuanya, membuat Taufiq menguatkan langkah. Terus larut dalam kesedihan tidak akan menghasilkan apa-apa, karena itu ia mulai menata hidupnya kembali.

Dua tahun berlalu, akhirnya Taufiq dapat melanjutkan sekolah di SMA YPI 45 Bekasi dan lulus tiga tahun kemudian. Rasa tertekan dan terpukul terus menghantuinya. Mimpi ke luar negeri telah terpatri dalam benaknya, tapi ia tidak tahu bagaimana cara mewujudkannya. Berbagai masalah sempat ia lalui hingga akhirnya ia berhasil lulus UMPTN dan diterima di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris UNJ pada tahun 2003.

Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina. Agaknya, pepatah itulah yang menuntun Taufiq mengukir cita. Bagi Taufiq, merantau ke negeri orang memberinya banyak pengalaman berharga. Menurut bungsu dari tiga bersaudara itu, pengalaman yang kaya akan membuat kita lebih bijak dalam memaknai hidup. “Nggak hanya di negaranya, dalam perjalanan kita menuju negara itu pun sebenarnya sudah banyak hal yang bisa jadi pelajaran berharga,” ujarnya.

Tahun 2006 menjadi awal sepak terjang Taufiq di kancah internasional. Makalah yang ia buat lulus seleksi untuk dipresentasikan di 4th Asia TEFL International Conference di Jepang. Rasa bangga tentu mewarnai hati Taufiq saat itu. Bagaimana tidak, di antara 449 pemakalah professional internasional bergelar master dan Ph.D, hanya Taufiq satu-satunya pemakalah berstatus mahasiswa. “Kata dekan saya, itu kegiatan akademik yang sangat prestice, karena saat itu hanya saya satu-satunya pemakalah yang tunanetra dengan status mahasiswa S1,” tuturnya.

Tahun berikutnya, Taufiq berhasil menyelesaikan studinya di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris UNJ dengan beasiswa penyelesaian skripsi dari Korean Exchange Bank.  Taufiq yang semasa kuliah aktif mengikuti berbagai kegiatan, berhasil lulus dalam waktu tiga setengah tahun. Tak tanggung-tanggung, predikat cum laude berhasil ia raih. Bahkan, ia dinobatkan sebagai wisudawan terbaik UNJ dengan kreteria akademik dan non akademik.

Tahun 2008, dua bulan setelah pernikahannya dengan Ita Yunita, Taufiq memperoleh beasiswa S2 ke Inggris, yaitu dari Aga Khan University. Waktu itu, sang istri mengalami kehamilan berat sehingga beberapa kali masuk rumah sakit. Akhirnya pihak kampus menyarankan agar Taufiq mengambil cuti kuliah dan kembali ke Indonesia. Meski demikian, ia tidak frustasi. Ia yakin bahwa Tuhan sedang mempersiapkan rencana indah untuk dirinya dan keluarganya.

Keyakinan dan prasangka positif pada Tuhan memang mampu melapangkan jalan. Taufiq mulai menjadi langganan peraih beasiswa luar negeri. Tak pernah lelah, apalagi bosan. Taufiq terus mencari informasi, berburu beasiswa dari berbagai sumber. Satu demi satu negara dijelajahinya.  Bermacam program beasiswa ia ikuti, di antaranya  ICT training dari Japan Braille Library di Malaysia,  beasiswa dari US Department of State untuk menghadiri Teacher Training and workshop selama tiga minggu di INTO Oregon State University, Corvallis, USA. Persis dua tahun berikutnya, ia mendapat beasiswa lagi dari US Department of State untuk menimba ilmu pengajaran bahasa Inggris selama 10 minggu dari University of Oregon, Eugene USA. Belum habis sampai di situ, Taufiq juga terpilih dalam program Australian Leadership Award yang seharusnya berangkat bulan Agustus tahun ini. Namun agaknya Taufiq terpaksa harus mundur dari program tersebut karena jadwal yang berbenturan, yaitu dengan Pre-Departure Training selama delapan minggu mulai dari 16 Juli hingga 21 September sebelum memulai kuliah di Australia dengan beasiswa dari Australian Development Scholarship.

“Jalan-jalan gratis, dapat ilmu, terus tantangannya ‘kan juga beda kalau kita sekolah di luar negeri,” kata Taufiq ketika ditanya alasannya mengikuti berbagai beasiswa mancanegara. Pria kelahiran 5 Juni 1982 itu kini telah berhasil membuktikan pada kedua orang tuanya bahwa ketunanetraan tidak menghalangi mimpinya keliling dunia. “Sekarang orang tua suka menceritakan prestasi-prestasi saya pada siapa aja. Kalau saya cerita tentang mimpi-mimpi saya yang lain, mereka senyum-senyum aja,” katanya sambil tertawa kecil.

Pria yang beraktivitas sebagai dosen honorer di UNJ, Head Teacher di Center for Civic Education Indonesia, dan menjadi motivator di beberapa seminar ini, berharap agar apa yang ia raih dapat mendorong banyak orang untuk mengejar berbagai beasiswa. Taufiq ingin agar kaum disabilitas dapat bangkit dan  kembali bersemangat untuk menapaki kesuksesan. Selain itu, Taufiq pun berharap agar orang nondisabilitas juga dapat memiliki sikap yang lebih positif dan membangun terhadap kaum disabilitas.

Kisah perjalanan Taufiq meraih sejumlah beasiswa ini telah ia bagi pada sebuah situs beralamat di www.motivasibeasiswa.org. Pada tulisan Taufiq di situs tersebut terdapat  banyak komentar, di antaranya dari Khoirotun Nafsi, mahasiswa Taufiq di UNJ. Ia mengatakan, “Bangga banget punya dosen kayak Bapak. Rasanya sangat berbeda ketika diajar oleh Bapak yang mempunyai banyak kelebihan dan semangat yang tinggi.” Yang lainnya, Ahmad Firdaus turut berkomentar, “Sir, I’m proud of you, I’m proud to be your student. I wanna be more like you.”. Tergambar jelas dalam tuturan tersebut, betapa bangganya kedua mahasiswa itu memiliki dosen seperti Taufiq Efendi, meskipun dia adalah seorang tunanetra.

Bagi Taufiq, pengalaman menuntut ilmu di luar negeri memberikan banyak manfaat.  Tidak hanya kualitas individu yang meningkat, tetapi juga membuat pekerjaan dan  penghasilan yang ia peroleh pun menjadi jauh lebih baik. Mimpi ke luar negeri memang telah tercapai. Namun ternyata, ayah satu puteri ini masih punya mimpi yang lain. Taufiq menuturkan, dirinya ingin berkarir di luar negeri. Peluang yang jauh lebih terbuka, sambutan masyarakat yang lebih baik, serta fasilitas yang lebih mendukung, ingin pula ia rasakan. Taufiq berharap memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri dan memberikan manfaat yang seluas-luasnya. “Saya ingin bermanfaat, tidak hanya untuk tunanetra, tidak hanya untuk Indonesia, tapi juga untuk masyarakat internasional.”

Saat ini Taufiq sedang menggarap novel perdananya. Novel berkisah pengalaman pribadinya itu diharapkan dapat selesai bulan Juli mendatang, karena novel tersebut akan menjadi gerbang pembuka menuju pencapaian sederet mimpi-mimpinya yang lain. Menurut Taufiq, Setiap kesuksesan memang berawal dari mimpi, kemudian dilanjutkan dengan berdoa, berusaha, hingga berjuang sampai batas maksimal yang kita miliki. Dengan memiliki mimpi, lanjut Taufiq, kita akan memiliki arah tujuan hidup untuk dicapai.  “Yang pasti kita harus punya mimpi dulu. Kemudian, yakinlah kita mampu meraih mimpi itu. Karena kalau kita sendiri nggak yakin, siapa lagi yang bisa meyakinkan diri kita?”. (RR)
Editor: Risma

Last Updated on 7 tahun by Redaksi

Oleh Ramadhani Ray

Literature lover, disability issues campaigner, Interest to learn something new through reading, training, and traveling.

1 komentar

  1. Ping-balik: Kisah Taufiq Effendi, Penyandang Disabilitas yang Sukses Lulus Cum Laude dan Dapat 8 Beasiswa Luar Negeri | Youth

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *