Langit Senja Bagian 20

Kedua mataku memandang lurus menembus kaca jendela di hadapanku. Senja, dia terbaring di atas salah satu tempat tidur di dalam sana dengan selang-selang dan mesin-mesin yang suaranya bisa kudengar dari sini.

“Siang tadi aku nemuin Senja pingsan di kamarnya. Aku udah berusaha bangunin tapi dia nggak bangun,” kata Arik. Dia berdiri di sebelahku. “Waktu aku cek gula darahnya, di alat cuma bisa kebaca high. Bener aja, sampai sini gula darahnya tinggi banget.” Nada cemas itu masih bisa aku dengar dari suara Arik.

Aku masih menatapnya. Otakku sudah tak bisa memikirkan apa-apa lagi. Padahal baru sebentar tadi aku begitu senang akhirnya aku akan bisa sama-sama dia lagi. Tapi ini…

“Maaf, Rik.” Tiba-tiba kata itu yang keluar dari mulutku.

“Buat?” tanyanya.

“Ini. Semua ini gara-gara aku.”

Aku merasakan Arik menatapku. Aku menoleh padanya. Gadis itu tersenyum pahit.

“Ya. Ini semua emang salah kamu.” Dia menghela napas. “Salah kami juga.”

Aku memandang bingung padanya, tak memahami maksud ucapannya yang terakhir.

“Senja itu sakit, Ta. Udah lama. Diabetes tipe satu, sejak kami masih kecil, ketahuan pas dia koma karena gulanya tinggi banget kaya gini. Harusnya kami lebih bisa ngejaga dia, mencegah ini semua terjadi lagi. Apalagi akhir-akhir ini kondisinya lagi nggak terlalu bagus. Cuma yah…” Dia menggantung ucapannya.

“Diabetes?” tanyaku. Arik mengangguk. “Jadi, setiap sebulan sekali itu….”

Arik mengangguk. “Setiap sebulan sekali dia emang harus kontrol. Bukan karena acara keluarga.”

Aku kemudian bisu. Kepalaku dipenuhi pikiran buruk, kata-kata penuh kutukan pada diriku sendiri, pada kebodohanku yang sudah menyiakan kesempatan, sudah membuang-buang waktu.

“Senja itu sakit dari kecil, harus dapet suntikan insulin tiap hari, harus patuh diet, harus kontrol teratur. Dia kuat, aku tahu. Tapi dua tahun yang lalu kayanya dia mulai jenuh sama semuanya. Dia mulai nggak teratur diet, mulai malas diajak kontrol rutin. Puncaknya tahun kemarin, dia beberapa kali keluar masuk rumah sakit gara-gara gula darahnya nggak terkontrol. Dia beneran udah jenuh, udah nggak pengen hidup lagi.”

Arik melirikku lalu mengulum senyuman pahit.

“Semuanya berubah waktu kami pindah ke sini dan dia ketemu sama kamu.” Arik memberi jeda. “Aku cemburu sama kamu,” katanya.

Dia menoleh padaku lalu kembali membuang muka waktu tahu aku memandanginya.

“Selama ini, temennya Senja itu cuma aku. Cuma aku yang istimewa buat dia.” Dia membersihkan tenggorokannya. “Senja itu sejak nggak bisa ngeliat dan temen-temen deketnya mulai pergi satu-satu, dia selalu mendorong semua orang keluar dari hidupnya. Semua orang kecuali kami. Dia nggak pernah punya cerita tentang temen-temennya, tentang orang lain selain kami. Sampe hari itu.”

Aku menunggunya menyelesaikan cerita.

“Waktu daftar ulang masuk SMA kemarin, dia cerita ke aku tentang kamu.” Arik memandangku tanpa senyuman.

“Daftar ulang?” tanyaku. Dia mengangguk. “Bukannya dia telat masuk sekolah karena baru dateng dari Palembang?”

Arik menggeleng. “Nggak,” jawabnya. “Itu cuma alesannya aja karena dia kudu nginep di rumah sakit pas awal tahun ajaran kemaren.”

Arik kemudian menunduk, mengamati ujung sepatunya.

“Hari itu telingaku panas, hampir mati bosan denger dia cerita tentang kamu terus. Katanya dia jatuh cinta. Katanya dia ketemu cewek beraroma jeruk dengan senyuman yang patah.” Arik tertawa kecil. “Dia lucu banget. Itu pertama kalinya aku melihat dia tertawa kayak gitu setelah sekian lama.”

Aku melihatnya tersenyum pahit, mengingat hari yang dia ceritakan padaku sekarang.

Baca:  Nenekku Pahlawanku

“Dia bilang, dia bakal bikin kamu bahagia, bikin kamu tersenyum dari dalam hati kamu.”

Dadaku terasa sesak sekarang. Semua kenanganku bersama Senja melintas di mataku. Bagaimana bahagianya aku sewaktu dia menemaniku menikmati matahari terbenam. Bagaimana dia selalu bisa membuatku tersenyum.

“Kamu bisa bikin Senja kayak gitu. Yah, aku seneng Senja bisa tertawa kayak hari-hari itu. Cuma… kamu itu milik orang lain. Kamu punya pacar.” Arik menghela napas. “Awalnya aku udah nggak pengen bilang. Cuma aku beneran udah nggak tahan sampe akhirnya sore itu, setelah kamu ke rumah, aku bilang semua ke dia. Aku bilang kamu udah punya pacar. Aku berharap dia berhenti mikirin kamu. Aku kira dia nggak tau. Tapi aku salah. Ternyata dia tahu.”

Ya, aku masih ingat sore itu. Aku masih ingat semua yang aku dengar. Senja sudah tahu tentang aku dan mas Awan.

“Tapi dia bilang, cowok itu nggak bisa bikin kamu bahagia. Makanya dia mau jadi cowok yang bisa bikin kamu bahagia.” Arik menghela napas lagi. “Dia bilang, dia nggak tau sampe kapan dia dikasih hidup. Dia bilang, dia harus bisa bikin kamu bahagia sebelum dia mati.” Arik melihatku dari ujung kepala ke ujung kaki. “Bego!” katanya kemudian.

Kemudian ada jeda lumayan panjang. Arik hanya memandangi Senja yang masih belum sadar.

“Sori soal hari itu,” kata Arik kemudian. Nada suaranya sudah tak sekeras tadi. “Hari itu aku udah kasar sama kamu. Kamu pasti ngerti posisiku. Aku udah hidup bareng-bareng sama dia sejak dari dalam perut umi. Aku udah pernah liat dia ditinggalin sama temen-temen deketnya dulu. Aku udah pernah liat dia jadi bahan cemoohan, dimanfaatin orang yang kita pikir deket sama dia. Aku cuma terlalu takut dia bakal disakitin lagi.”

Aku mengambil napas panjang, berusaha menenangkan perasaanku dan menyiapkannya diri buat mendengar kata-kata Arik selanjutnya.

“Hari itu, setelah kita ketemu di toko buku aku marah banget sama kamu. Kamu itu sama aja kayak yang lain. Kamu cuma kasih harapan ke Senja, padahal..”

“Kamu nggak tau, Rik,” kataku pelan, memotongnya.

“Ya, aku emang nggak tau kayak apa yang sebenernya. Aku pikir kamu udah jadiin Senja mainan. Aku pikir kamu cuma permainin perasaan dia.”

Aku tidak bisa menentukan apa rasa yang ada di dalam hati Arik sekarang, sewaktu dia mengatakan semua itu. Air mukanya begitu datar, tak terbaca.

“Aku tambah benci sama kamu waktu sore itu aku pulang sekolah dan nemu Senja babak belur. Dia cuma bilang kalau dia jatuh waktu pulang sekolah. Tapi aku nggak bego. Aku bisa bedain luka karena jatuh sama dipukulin. Sampe akhirnya aku tahu kalau cowok kamu yang mukulin dia.” Arik mengambil jeda. Dia menghela napas. “Sumpah, Ta. Aku benci banget sama kamu waktu itu. Aku udah nggak bisa mikir apa-apa lagi selain kamu tuh emang nggak baik buat Senja dan aku kudu misahin kalian.”

“Aku ngerti, Rik,” kataku.

Arik menyunggingkan senyuman pahit lagi. Gadis itu berbalik, memunggungi dinding ruang ICU, bersandar di sana.

“Tapi, aku salah, Ta. Nggak seharusnya aku ikut campur, datengin kamu, dan ngomong kayak gitu sama kamu. Gara-gara aku kan kamu akhirnya menjauh dari Senja?”

Aku diam, tak menjawab pertanyaannya.

“Senja itu selalu jadi manusia paling sok kuat sedunia. Udah berapa kali aja dia bilang nggak apa-apa padahal sebenernya dia sakit. Udah nggak keitung berapa kali aja dia selalu berusaha keliatan kuat, padahal sebenernya nggak kayak gitu. Termasuk waktu kamu memilih buat ninggalin dia.”

Ah, Ei benar. Selama ini ternyata aku yang buta. Yang aku tahu cuma kenyataan kalau Senja tak apa-apa, kalau dia tak berubah, dan dia baik-baik saja.

“Dia mulai nyibukin diri buat belajar, mulai kurang istirahat, mulai nggak teratur makan.” Arik menghembuskan napas kesal. “Padahal dia tahu apa bahayanya kalau dia sampe nggak ngatur makan, kalau dia sampe stres, kalau aktivitasnya berlebihan kayak gitu. Tapi tetep aja… Manusia ngeyel itu..”

Air mata sudah mengumpul di pelupuk mataku, siap tumpah. “Aku sayang sama dia, Rik,” kataku, hampir tak bersuara.

Arik menegakkan tubuhnya. Dia menatapku. “Aku tahu,” katanya. “Dan kalian ini pasangan yang bener-bener cocok. Sama-sama bodoh!” katanya sebelum kemudian melangkah meninggalkanku.

Ya, aku memang bodoh. Padahal dari awal Senja sudah membahas ini. Bukan hanya sekali dia bicara soal mati. Berulang-ulang. Dia terus memintaku menghentikan semua basa basi, mengucapkan apa yang perlu aku ucapkan, mengungkapkan apa yang benar-benar aku inginkan karena aku tak tahu kapan waktu akan berhenti. Tapi, aku terlalu tuli dan otakku terlalu bebal untuk mau mendengarnya. Dia berusaha membuatku bahagia. Hanya itu dan aku terlalu buta untuk melihat semua itu.

Baca:  KEBAIKAN YANG DATANG DARI SAMUDRA

Aku menyeret langkah ke arah pintu ruang ICU. Aku tak tahu berapa lama lagi waktu yang kupunya. Aku harus bertemu dengannya. Tapi ternyata melakukan itu semua tak semudah yang kubayangkan. Langkahku terasa begitu berat untuk mendatanginya. Bahkan setelah aku berhasil sampai di sisinya, aku tak bisa apa-apa selain sekuat tenaga menahan tangisku agar tak tumpah. Aku mematung di sisi tempat tidurnya, diam memandangi tubuhnya yang terbaring dan kedua matanya yang terpejam. Lama kemudian, baru aku bisa menggerakkan kedua kakiku, mendekati tempat tidurnya.

“Hai, Ja,” sapaku dengan kedua mata yang sudah mulai basah. Aku lantas duduk di sisi tempat tidurnya. “Sori aku telat,” kataku. “Pasti kamu komen, ‘biasa’. Iya, kan? Atau kamu mau bilang ‘Stok maafku sudah habis’?”

Wajah itu malam ini tak dihiasi senyuman, tak seperti yang biasa aku lihat.

“Aku kangen kamu, Ja,” kataku. “Aku kangen senyuman kamu, kangen tawa kamu, kangen cerita kamu.”

Aku menarik napas panjang, menghirup sebanyak-banyaknya oksigen yang bisa aku hirup, yang bisa aku gunakan buat menghentikan air mataku.

“Temani aku liat sunset lagi ya, Ja?” pintaku. “Aku pengen nganterin matahari pulang bareng kamu lagi. Nanti aku bakal ceritain semuanya ke kamu. Semua yang aku lihat. Semua yang ada di hadapan kita nanti, aku bakal gambarin semuanya buat kamu. Nggak papa kalau nanti kamu mau ketawa. Aku nggak bakal protes.”

Air mata ini tak bisa lagi aku tahan. Dia mulai menetes, menuruni pipiku, tak lagi aku tahan. Aku berharap mereka membawa keluar semua penyesalanku.

“Ja, makasih buat semuanya. Makasih udah berusaha bikin manusia bodoh ini bahagia.” Aku terisak. “Aku sekarang bahagia, Ja. Aku bahagia dan akan terus berjuang buat bahagia.”

Aku kembali menarik napas panjang, berusaha melegakan dadaku dan menghentikan air mataku.

“Aku sayang kamu, Ja. Aku sayang banget sama kamu. Aku bohong waktu bilang kalau aku nggak apa-apa. Aku sakit, Ja. Hatiku rasanya sakit banget tiap kali aku mikirin nggak bakal bisa liat kamu lagi, nggak bakalan bisa sama-sama kamu. Rasanya sakit banget tiap kali liat kamu tapi nggak bisa sama-sama kamu.”

Sebelah tanganku bergerak, menggenggam tangannya.

“Ja, aku bakalan jadi orang yang kuat, yang bakalan perjuangin kebahagiaanku. Tapi, aku nggak bisa kalau nggak ada kamu. Kamu bangun ya, Ja? Jangan tinggalin aku, ya? Aku sayang kamu, Ja. Aku sayang banget sama kamu. Jangan tinggalin aku kayak gini, ya?” Aku menjatuhkan kepala, menyembunyikan wajah di lenganku, di sisinya, dan menangis di sana.

“Rekta.”

Aku mengangkat kepala lalu berbalik dan dengan cepat menghambur ke pelukan umi.

“Maafin Rekta, Tante,” kataku.

“Udah. Rekta kan nggak salah.” Umi mengusap-usap punggungku pelan. “Kita doain yang terbaik buat Senja, ya?”

“Saya sayang banget sama Senja, Tante. Saya…”

“Umi tahu. Dari dulu umi udah tahu kalau Rekta sayang sama Senja. Umi juga yakin Senja tahu itu. Udah. Rekta jangan nangis lagi, ya?” Umi melepaskan pelukannya, menghapus air mataku, lalu menuntunku keluar dari ICU.

Yang terjadi berikutnya adalah aku duduk di salah satu kursi panjang ruang tunggu, berusaha menghentikan tangisku. Mamah yang tadi ikut mengantar ke rumah sakit, sekarang hanya bisa duduk di sebelahku dan memelukku.

“Aku sayang banget sama kamu, Ja,” bisikku pada diriku sendiri.

“Udah, Dek. Doain yang terbaik buat Senja, ya?” bisik mamah.

“Aku sayang banget sama dia, Mah,” kataku lagi. “Aku sayang banget sama dia.”

Entah sudah ke berapa kalinya aku mengatakan ini. Entah sudah ke berapa orang sekarang. Hanya saja, rasanya tetap seperti ini: hampa. Rasanya, berapa kali pun aku katakan, ke seberapa banyak pun orang, rasanya akan tetap sama. Rasanya akan tetap hampa karena kenyataanya aku tidak berusaha melakukan apa-apa tentang itu sewaktu aku seharusnya melakukan sesuatu, sewaktu aku punya kesempatan buat melakukan sesuatu. Dan sekarang semuanya mungkin sudah terlambat, sudah tak akan ada gunanya lagi.

***

♫ I can’t imagine any greater fear than waking up without you here
Though the sun would still shine on, my whole world would all be gone ♫

Lagu itu mengalun pelan dari ponselku. Lalu bayangan tentang malam itu tiba-tiba datang, tentang malam yang dipenuhi dengan rasa takutku kehilangan Senja yang begitu besar itu. Aku menarik napas panjang, berusaha memasang senyuman, menyambut langit senja, memandangi langit sore yang membentang luas di hadapanku. Kedua mataku menatap lurus menembus jendela, menatap langit yang terbentang di sana. Sore ini aku berharap matahari tak pulang terlalu cepat. Aku ingin berlama-lama berada di sini dan memandanginya pulang.

Baca:  surat dari Emak

Aku teringat cerita Senja sore itu, tentang siang dan malam yang saling jatuh cinta tapi tak akan pernah bisa bersama. Tentang bagaimana mereka selalu memanfaatkan setiap momen yang bisa mereka lalui bersama yang tak akan menyakiti pihak lain. Tentang bagaimana setiap sore, malam akan menyambut siang, memujinya, mengucapkan cinta padanya sampai Siang merasa malu dan langitnya memerah. Tentang malam yang selalu berusaha membuat siang bahagia walaupun mereka tak bisa bersatu. Ya, aku ingat semuanya.

♫ Some say love, it is a river that drowns the tender reed.
Some say love, it is a razor that leaves your soul to bleed…
Some say love, it is a hunger, an endless aching need.. ♫

Lagu The Rose kemudian mengalun menggantikan No Place That Far tadi. Aku tersenyum sendiri. Ini adalah lagu yang sama yang mengiringi matahari pulang sore itu sewaktu Senja menemani aku buat pertama kalinya.

“Dia udah pulang?”

Aku menoleh dan tersenyum.

“Belum,” jawabku sambil mematikan pemutar lagu di ponsel lalu melepas earphone dari telinga.

“Kok aku nggak dibangunin?” protesnya.

Senyuman menghiasi wajahku lagi. “Kamu tadi tidur nyenyak banget. Aku nggak berani ngebangunin.”

“Tell me, what it looks like,” katanya. Senja tersenyum. Kedua matanya masih terpejam.

Aku tertawa. “Nggak pake basa-basi?” tanyaku.

Giliran Senja yang tertawa. “Harus?” tanyanya. Dia duduk, bergeser agak menjauhiku, sengaja menyediakan ruang buatku.

Aku tergelak lagi.

“Udah ah ketawanya. Cepet bilang. Sore ini dia kayak apa?”

“Cerah, Ja. Sore ini cerah banget. Sama sekali nggak ada awan. Tapi warna langitnya nggak oranye.” Aku akhirnya ikut duduk di sisinya, di sisa tempat di atas tempat tidurnya, menghadapnya.

“Apa warnanya?”

“Sedikit ungu,” laporku. “Ada biru di merahnya. Orang bilang, biru itu warna sendu. Apa mungkin dia lagi sedih ya, Ja?” tanyaku.

“Dia cuma cemburu,” katanya.

“Cemburu?”

“Iya. Dia cemburu sama kamu.”

“Kenapa?”

“Karena kamu manusia yang luar biasa kuat. Karena kamu sekarang sudah mau perjuangin kebahagiaan kamu. Karena kamu punya aku.”

Aku tersenyum. “Apa, sih?” protesku. Wajahku pasti sudah memerah sekarang.

“Aku suka kalau kamu senyum kayak gini.”

“Udah deh, Ja. Nggak usah gombal!”

Senja tertawa. “Tapi bener kan? Kamu sekarang bahagia?”

“Iya. Aku bahagia, Ja.” Aku memainkan tangannya. “Makasih, ya? Makasih udah hadir di duniaku. Makasih udah ngobrak-abrik hidupku. Makasih kamu nggak pernah nyerah buat bikin aku bahagia. Makasih kamu nggak pernah ninggalin aku.”

“Iya,” jawabnya pendek.

Dia menggenggam tanganku, menghentikanku memainkan tangannya. Aku tersenyum, merasakan jantungku mulai bekerja tak beraturan lagi, sama seperti dulu, sama seperti biasanya.

“Ja,” panggilku.

“Apa?”

“Aku sayang kamu.” Tiga kata itu meluncur cepat dari mulutku lalu jantungku semakin cepat berdenyut. Apalagi sewaktu aku melihatnya menyunggingkan senyum.

“Makasih,” katanya.

“Makasih?” protesku spontan.

Kali ini Senja tertawa. Dia mempererat genggaman tangannya. “Terus aku kudu bilang apa?” tanyanya.

Aku memutar bola mata, memberengut. Tapi kemudian aku sadar, dia tak bisa tahu itu. Jadi akhirnya aku menghela napas kesal.

“Kenapa?” tanyanya.

“I rolled my eyes and frowned,” jawabku.

Senja tertawa lagi. “Sorry, I didn’t see that.”

“Ha ha. Lucu!”

Senja masih saja tertawa.

“Udah, ah. Kamu ketawa terus!” Aku menarik tanganku, bersiap turun dari tempat tidur. Tapi Senja menahanku.

Senja tak langsung mengatakan sesuatu. Untuk sesaat, dia hanya menatapku.

“Bakalan kayak gini,” katanya.

“Kayak gini gimana?” tanyaku tak paham.

“Aku nggak bakalan bisa liat ekspresi wajah kamu.”

“Apa itu penting?”

“Kadang itu penting.”

“Ja, bisa nggak kita nggak mikirin itu dulu.”

“Kenapa?” tanyanya.

Aku tak langsung menjawabnya, hanya memandanginya. Aku sudah tahu ini tak akan mudah. Dari awal ini memang tak mudah.

“Aku cuma pengen nikmatin apa yang ada, ngejalanin apa yang ada dulu aja. Lainnya kita pikirin sambil jalan, ya?” jawabku, akhirnya.

Senja tersenyum dan mengangguk. Dia meremas tanganku pelan.

“Aku pengen denger suara kamu, pengen denger lanjutan tentang langit senja hari ini,” katanya.

Aku menurut dan mulai bercerita tentang langit senja. Tapi kedua mataku tak lagi memandangi jendela rumah sakit, tak lagi memandangi langit yang membentang di sana. Aku lebih memilih memandangi dia, manusia yang wajahnya selalu dihiasi senyuman ini, yang tak ingin kulepaskan lagi.

Tamat (Ternate, 29 Agustus 2015)

Bagikan artikel ini
fmahardini
fmahardini

A Pluviophile who writes fictional stories about random things.

Articles: 20

One comment

Leave a Reply