surat dari Emak

Sore itu, matahari masih bersinar dengan gagahnya di cakrawala. Anak-anak di ujung gang pun masih asyik bermain petak umpet satu sama lain. Ini memang sebuah kehidupan kota, namun keasikkan bermain anak-anaknyapun tak kalah dengan di desa.

Di saat itu pula seorang gadis asal sebuah desa di pulau seberang Surabaya itupun melangkahkan kakinya memasuki perkampungan yang sedang digunakan anak-anak untuk bermain itu. Gadis dengan nama lengkap Arumi Dewi Sari itupun tersenyum melihat mereka yang sedang bermain. Mengingatkannya akan masa kecilnya dulu.

Masa-masa dimana ia masih di desa. Masa di mana ia belum tahu kerasnya dunia. Masa yang mana hal yang ia tahu hanya bermain saja di desa yang masih damai dan tentram.

Mengenang semua membuat rindunya akan keluarga di kampung semakin membuncah. Tapi ia tak mungkin pulang. Lukanya, masih menganga. Masih belum mampu ia sembuhkan sepenuhnya.

Tepat di depan pintu kontrakkan, ibu sang pemilik rumah menghampiri Arumi.

“mbak Arumi ini tadi ada wesel surat untuk mbak Arumi” ucap ibu tersebut ramah.

Dengan senyum gembira Arumi menerima surat tersebut. Ia yakin surat itu dari emak. Sudah 3 bulan emak tidak membalas suratnya. Jadi, ketika ada wesel surat datang tentulah ia merasa amat bahagia. Rindunya terhadap keluarga tercinta sudah tidak terbendung lagi rasanya.

“terima kasih banyak ya bu” ucap Arumi sopan. Ibu itu hanya mengangguk dan melanjutkan pekerjaannya mengangkut baju-baju yang sudah kering dijemur seharian.

Arumi membuka pintu kontrakkannya dengan perlahan. Ditaruhnya sepatu dan tasnya dengan sembarangan. Biarlah ia bereskan nanti.
Sekarang ada hal yang lebih penting dari pada itu semua. Yakni membaca surat dari emak.

Ia duduk di sofa sederhana yang ada di ruang tamu kontrakkannya. Dengan hati tidak sabar, ia mulai menyobek amplop surat tersebut. Ia tersenyum. Lipatan surat emak selalu saja membuat hatinya gembira. Bagai mana tidak, lipatan surat berbentuk pesawat selalu menjadi faforit emak ketika akan mengirimkan surat padanya. Katanya, itu sebagai tanda cinta emak kepada dirinya. Dimana dirinya yang kecil dulu selalu disetiap hari memaksa emak untuk membuat origami kertas yang berbentuk pesawat. Kata Arumi kecil, biar ia nanti ketika dewasa mampu terbang menggapai mimpinya. Waktu itu, emak hanya tersenyum simpul.

Dibukanya lipatan itu perlahan. Dengan rindu yang sudah menggedor-gedor sanubari, Arumi membaca surat itu.

Assalamualaikum Anakku!.
Gimana kabarmu? Emak harap kamu sehat selalu ya disana.
Rum, kapan pulang? Emak dan bapak rindu. Kamu tidak rindu dengan emak bapakmu yang sudah tua ini?. Pulanglah nak. Sudah 1 tahun lebih kamu tidak pulang dari perantauan.
Emak tahu kamu di sana cari uang, tapi Rum, emak dan bapak juga butuh kamu di sini nak, tidak hanya butuh uangmu saja.
Kalau hanya untuk makanmu saja, emak dan bapak lebih dari mampu nak di sini.
Emak pun tahu, ketidak pulanganmu karena Aryo. Nak, sampai kapan?.
Aryo sudah bahagia dengan jalan yang dipilihnya. Kamu pun juga harus demikian.
Nak, masa lalu itu bukan untuk diratapi, tapi untuk dihadapi. Sudah cukup waktu 1 tahun lebihmu kau habiskan di perantauan.
Sekarang saatnya pulang nak. Kau sudah dewasa. Sudah waktunya untuk membangun rumah tangga.
Biarkan masalalumu nak. Emak yakin, masih banyak laki-laki yang lebih baik di luar sana.
Rum, pulang ya nak. Segera menikah. Mumpung emak dan bapak masih sehat.
Emak tunggu.

Tertanda sayang, emak dan bapak di kampung.

Air mata Arumi luruh membaca surat itu. Surat ini pasti di kirimkan emak 3 atau 4 hari yang lalu. Tapi rasanya seperti ia mendengar langsung emak mengucapkan semuanya saat ini.

Ia menangis pilu. Haruskah ia pulang? Sanggupkah ia?.
Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantamnya semenjak surat emak yang terakhir sebelum ini.

Sudah 2 kali ini emak memintanya untuk pulang.
Permintaan pertama, ia mampu menolak karena emak menggunakan kiasan pernikahan Ratih sepupunya. Ia masih mampu beralasan sibuk pada waktu itu.
Tapi, jika sudah seperti ini, dengan kejujuran yang emak ucapkan, mampukah ia?.
Apa lagi dengan permintaan emak untuknya menikah? Sungguh, ia masih belum mampu.

Trauma itu masih menggerogoti jiwanya. Kegagalan pesta pernikahannya 2 tahun yang lalu masih menjadi momok menakutkan baginya.
Ia menghela nafas lelah. Air matanya masih terus mengalir. Ia benar-benar tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan.
Ia menjerit dalam hati, memanggil Tuhan agar bersedia membantunya.
Ia pun ingin sekali pulang. Ia tidak mau menjadi anak durhaka pada emak. Tapi, hatinya terus menolak.

“Ya Allah, sungguh hamba lemah. Mohon bantu hamba-Mu ini yaa Robbi” doanya dalam hati.

Last Updated on 4 tahun by Redaksi

Oleh tutik muliani

saya adalah seorang penulis yang masih sangat awam. Saya menulis sejak smp. Dan sekarang saya masih berstatus sebagai seorang pelajar. Mutu hidup saya adalah waktu adalah kesempatan yang tak boleh di sia-siakan.

2 komentar

  1. Pretty! This has been an extremely wonderful post.
    Thank you for supplying these details.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *